Pulau-Pulau Kecil di Indonesia dalam Ancaman Tambang
kumparanNEWS June 17, 2025 10:04 AM
Tak hanya Raja Ampat, 35 pulau kecil Indonesia berpotensi terdampak pertambangan. Bila ‘Raja Terakhir’ saja dikeruk, bagaimana nasib pulau-pulau kecil lainnya?
***
Yamir, warga Dompo-Dompo Jaya, Kecamatan Wawonii, Kab. Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, mengingat-ingat kembali perjuangan ia dan penduduk tempat tinggalnya untuk mempertahankan wilayah mereka dari perusahaan tambang setelah ramai isu tambang nikel di Raja Ampat.
Yamir merasa bernasib sama, sebab Pulau Wawonii yang menjadi ruang hidupnya mirip dengan Raja Ampat: sama-sama pulau kecil dan terancam dampak pertambangan.
Yang beda adalah sorotannya. Raja Ampat jadi pusat perhatian karena ia kerap menjadi wajah timur Indonesia. Ia dikenal di dunia karena keanekaragaman hayati dan keindahan alamnya, termasuk di bawah laut. Raja Ampat dianggap sebagai surga terakhir di bumi, ‘raja’ terakhir.
Pulau Wawonii juga punya keindahan bawah laut. Ia memiliki kekayaan alam hasil perkebunan seperti cengkeh, jambu mete, hingga pala. Tapi, sedikit orang yang tahu bahwa beberapa warga di sana telah berjuang sejak tahun 2019 untuk menyelamatkan pulau hunian mereka dari perilaku ekstraktif.
Yamir tak menyangka buah upaya mereka menyelamatkan Wawonii dari ancaman tambang selama bertahun-tahun jadi salah satu dasar kampanye Greenpeace di Raja Ampat. Yamir dan warga Wawonii sebelumnya telah memenangkan perkara hukum di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan sebuah putusan penting, bahwa pulau-pulau kecil tak boleh ditambang.
Warga Wawonii memang telah melakukan ragam upaya untuk menjauhkan tambang nikel dari ruang hidup mereka. Yamir dkk pernah mengadu ke Pemprov Sulawesi Tengah, melapor ke lembaga terkait di Jakarta, hingga menempuh jalur hukum ke MK dan Mahkamah Agung (MA).
Mereka mengajukan kasasi ke MA terkait kasus gugatan pembatalan dan pencabutan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) milik perusahaan nikel PT GKP yang mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Pulau Wawonii.
Warga melawan kedatangan perusahaan tambang tersebut karena dianggap mengancam sumber penghidupan mereka, dan dinilai berpotensi melahirkan kerusakan lingkungan di pulau kecil tersebut.
Perbesar
Penambangan. Ilustrasi: Poppy Pix/Shutterstock
Warga Wawonii kemudian menggugat IPPKH PT GKP ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dengan nomor registrasi 167/G/TF/2023/PTUN.JKT. Proses persidangan berjalan hingga akhirnya warga Wawonii menuai kemenangan di tingkat kasasi.
Dalam perkara kasasinya, Majelis Hakim membatalkan putusan judex facti Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta No.367/B/2023/PT.TUN.JKT. Sebaliknya, hakim agung menguatkan putusan PTUN Jakarta yang mulanya memenangkan warga Wawonii.
MA mengabulkan permohonan kasasi warga Pulau Wawonii. Hakim memutus agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membatalkan IPPKH PT GKP. Putusan kasasi diketok pada 7 Oktober 2024.
Beberapa bulan sebelumnya, 21 Maret 2024, warga Wawonii juga merasakan kemenangan kecil karena uji materi UU Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) sebagaimana telah diubah dengan UU No.1/2014 ditolak majelis hakim MK.
Perbesar
Uji materi UU No. 27 tahun 2007 di MK. Foto: Mahkamah Konstitusi RI
Dalam uji materi UU No. 27/2007 itu, PT GKP meminta MK menyatakan Pasal 35 huruf (k) UU No.1/2014 tak berkekuatan hukum.
Bunyi pasal tersebut adalah “dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang: melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya”.
Intinya, PT GKP meminta pasal tersebut tak diberlakukan. Tapi permohonannya ditolak majelis hakim. Putusan MK dengan nomor registrasi perkara 35/PUU-XXI/2023 itu malah mempertegas bahwa pulau kecil dan wilayah pesisir tak boleh ditambang karena rentan merusak ekosistem lingkungan.
Kemenangan Yamir dkk tersebut kemudian menjadi salah satu dasar penolakan tambang di pulau-pulau kecil Raja Ampat. Greenpeace dan pemerhati lingkungan menilai penerbitan IUP untuk sejumlah perusahaan di Raja Ampat menyalahi aturan, sebab pulau-pulau Raja Ampat tergolong pulau kecil.
Perbesar
Foto satelit Pulau Manuran, Raja Ampat. Foto: Copernicus Sentinel-2 L2A
Kendati sama-sama pulau kecil, tapi nasib Pulau Wawonii tak seberuntung Raja Ampat yang beberapa IUP langsung dicabut. Pulau Wawonii, meskipun sudah menang kasasi tapi masih dihantui eksplorasi penambangan.
Menurut Yamir, perusahaan tambang belum benar-benar angkat kaki dari pulau kecil mereka. Lahan perkebunan dan mata air warga pulau Wawonii masih terancam dampak pertambangan.
“Kami sebagai masyarakat (Wawonii), kami menginginkan hasil-hasil putusan yang selama ini kami menangkan dan juga menjadi salah satu acuan di Raja Ampat itu akan diperlakukan sama seperti Raja Ampat,” ucap Yamir, Minggu (15/6).
35 Pulau Kecil Dikaveling Izin Tambang
Raja Ampat dan Pulau Wawonii hanya bagian kecil dari puluhan pulau kecil yang terancam dikeruk tambang. Berdasarkan data yang dipublikasikan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) per Juni 2025, setidaknya 35 pulau kecil di Indonesia yang terancam kegiatan tambang. Puluhan pulau tersebut dikaveling dengan izin pertambangan dari berbagai komoditas, seperti emas, nikel, dan sebagainya.
Perbesar
Sebaran pulau kecil yang terkaveling izin tambang. Foto: JATAM (Jaringan Advokasi Tambang)
Jatam mencatat, 397 izin pertambangan dengan luas total konsesi 547.562,16 hektare yang mencaplok di sekitar 35 pulau kecil tersebut. Ini tersebar di seluruh wilayah pesisir dan kepulauan, dari Sumatera hingga Papua.
Kepala Divisi Hukum dan Kebijakan Jatam, Muhammad Jamil, menyebut temuan mereka adalah alarm bencana. Pertambangan di pulau kecil, lanjut dia, merupakan petaka bagi masyarakat dan seluruh kehidupan di dalamnya.
Pulau kecil memiliki kerentanan sangat tinggi terhadap perubahan bentang alamnya. Hutan di pulau kecil merupakan benteng perlindungan alami bagi masyarakat dan keanekaragaman hayati, dari menjaga iklim mikro, mengatur tata kelola air, menjaga sumber pangan dan sumber air, hingga menjadi salah satu benteng pertahanan alami dari bencana seperti rob hingga tsunami.
Pertambangan di pulau kecil juga dianggap akan menghancurkan ruang penghidupan warga. Aktivitas pertambangan, apapun komoditasnya, berpotensi menghancurkan sumber air, sumber pangan, sumber obat-obatan herbal tradisional, serta berbagai ruang produksi tradisional warga pulau kecil.
“Pertambangan di pulau kecil sesungguhnya merupakan kejahatan kemanusiaan dan lingkungan,” ujar Jamil.
Perbesar
Pulau kecil. Ilustrasi: Shutterstock
Menjamurnya IUP di beberapa pulau kecil tersebut memantik pertanyaan pada pengambil kebijakan, bagaimana mereka menerbitkan izin-izin tersebut padahal pulau kecil dilarang ditambang berdasarkan Pasal 35 huruf (k) UU No.1 Tahun 2014.
Pada aturan yang sama, di Pasal 23, disebutkan bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk konservasi; pendidikan dan pelatihan; penelitian dan pengembangan; budidaya laut; pariwisata; usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari; pertanian organik; dan/atau peternakan.
Pulau kecil yang dimaksud dalam undang-undang itu adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 kilometer persegi atau 20.000 hektar.
Mengacu ketentuan tersebut Pulau Gag lokasi IUP PT Gag Nikel di Raja Ampat dan Pulau Wawonii seharusnya tak dikaveling dengan izin tambang. Keduanya masih tergolong pulau kecil dengan luas masing-masing, Pulau Gag hanya 6.500 hektare dan Wawonii sekitar 715 km2 atau 71.500 hektare.
Perbesar
Area tambang PT GAG Nikel di Pulau Gag, Raja Ampat. Foto: PT. GAG Nikel
Ketua Ikatan Ahli Lingkungan Hidup Indonesia (IALHI), Prof. Prabang Setyono, mengatakan, secara regulasi Indonesia sebenarnya tidak kekurangan. Pulau kecil tersebut sudah cukup dibentengi dengan undang-undang tapi aturan seolah diabaikan.
“Regulasi itu nggak kurang-kurang. Cuma yang menjadi persoalan itu adalah bagaimana mengawal implementasi regulasi,” kata Prabang kepada kumparan, Jumat (13/6).
Di sisi lain, Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada (PSLH UGM) Prof. Djati Mardiatno melihat bahwa aturan PWP3K masih ada bolongnya. Terdapat pasal lentur yang mungkin ditafsirkan untuk melancarkan izin pertambangan, termasuk di hulunya: kajian lingkungan hidup strategis (KLHS).
KLHS terkait dengan rencana pembangunan atau tata ruang. KLHS memungkinkan menentukan sebuah pulau kecil menjadi rencana pertambangan. Tergantung prioritas pengambil keputusan.
“KLHS itu safeguard di hulunya itu di situ. Sehingga kalau sampai kemudian ada penambangan nikel di pulau-pulau kecil, ya, mestinya kita bisa lihat bagaimana kajian KLHS-nya itu, kalau ada,” jelas Djati, Jumat.
Perbesar
Kasatgas Koordinasi dan Supervisi KPK Wilayah V Dian Patria. Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
Selain Jatam, Direktorat Koordinasi dan Supervisi KPK turut melakukan pemantauan isu pertambangan, khususnya di wilayah timur Indonesia. Kepala Satuan Tugas Korsup Wilayah V KPK Dian Patria membeberkan, tahun-tahun kemarin pihaknya pernah melakukan pemetaan pertambangan di kawasan hutan dan pulau kecil.
Temuannya, tambang yang ada di barisan dengan kawasan hutan mencapai sekitar 5,1 juta hektare. Dalam diskusi bersama Greenpeace di bilangan Jakarta, Kamis (12/6), Dian berujar, “Mungkin yang di pulau kecil luasnya ada 350 ribu.”
Dian yang bergerak di bagian Indonesia timur aktif memantau karut-marut perizinan dan sejumlah masalah pertambangan. Bahkan hingga saat ini ia selalu dapat pengaduan dan keluhan dari warga Wawonii.
Bagi Dian, pendapatan negara dari tambang nikel tak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang dilahirkan. Ia pernah ke Wawonii dan Pulau Obi, pulau kecil yang juga dikeruk tambang.
“Bagaimana coklatnya [warna] laut-laut di sana. Kalau kita bicara kerugian, kita dapat [untung] berapa sih sebenarnya [dari tambang] dibandingkan dengan [biaya untuk] memulihkan karang, lingkungan yang rusak. Jadi itu mungkin enggak seberapa,” ujarnya.
Butuh puluhan hingga ratusan tahun mengembalikan alam bawah laut setelah rusak karena tambang.
Perbesar
Pulau Wayag di Raja Ampat. Foto: Shutterstock
Selamatkan Pulau Kecil sebelum Tenggelam
Direktur Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Ahmad Aris membenarkan bahwa pulau dilarang untuk ditambang berdasarkan UU PWP3K. Termasuk pulau-pulau di Raja Ampat.
Bahkan, kata Aris, pihaknya pulau di Raja Ampat disebut sebagai micro island atau di United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) disebut tiny island. Itu yang membuat Raja Ampat harus dihindarkan dari pertambangan.
Pulau di Raja Ampat disebut pulau sangat kecil ini adalah pulau yang ukurannya di bawah 100 kilometer persegi atau di bawah 10.000 hektar. Khusus untuk pulau sangat kecil tersebut, KKP mengeluarkan Permen KP 10 tahun 2024 tentang pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya.
“Di Permen ini, itu close untuk tambang pulau yang ukurannya di bawah 10.000 hektare atau di bawah 100 km persegi. Jadi memang nggak boleh kegiatan tambang,” ujar Aris.
Kata Prabang, pulau kecil memang semestinya tidak boleh dikeruk. Seharusnya pulau-pulau yang seperti itu jangan dibebani dengan beban lingkungan yang namanya ekstraktif. Sebab potensi kerusakan yang ditimbulkan tidak bisa dipulihkan dengan hanya satu-dua periode pemerintahan.
Pulau kecil adalah penjaga ekosistem lingkungan satu-satunya di pulau tersebut.
“Lingkungan rusak itu kan tidak bisa dilupakan; hanya bisa dirasakan, dan masyarakat di situ yang akan merasakan,” tutup Prabang.