Perlukah Metode Pengukuran Kemiskinan BPS Direvisi? (3)
Yanu Endar Prasetyo June 17, 2025 02:40 PM
Kemiskinan bukan semata soal kekurangan uang, melainkan tentang ketidakmampuan individu untuk hidup sesuai dengan standar yang dianggap layak oleh masyarakat sekitarnya. Setelah melihat bagaimana sejarah pengukuran garis kemiskinan di Amerika Serikat dan Eropa, India dan Tiongkok, sekarang kita mencoba melihat bagaimana Australia dan Selandia Baru (New Zealand) mendefinisikan serta mengukur kemiskinan di negaranya masing-masing.
Mengapa kedua negara ini penting? Sebab, keduanya sampai saat ini tidak memiliki “ukuran resmi” yang berlaku nasional seperti negara lain. Australia masih mengandalkan data dan metode dari riset independen untuk memantau kemiskinan. Selandia baru juga memantau perkembangan kemiskinan secara parsial, misalnya lewat survei , yang mampu menangkap dinamika orang yang masuk dan keluar dari kemiskinan.
Belajar dari Australia
Dalam konteks Australia, kemiskinan dipahami sebagai kondisi ketika seseorang atau keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal, pakaian, pendidikan, dan kesehatan. Tak hanya itu, kemiskinan juga berarti terpinggirkan dari aktivitas sosial yang umum dilakukan kebanyakan orang—seperti mengikuti kegiatan sekolah, membayar tagihan tepat waktu, atau sekadar hidup dengan rasa aman dan nyaman.
Australia, meskipun masuk dalam 34 negara terkaya di dunia, masih menghadapi tantangan serius dalam mengatasi kemiskinan. Data dari laporan menyebutkan bahwa sekitar 3,3 juta orang, atau 13,4% dari populasi, hidup di bawah garis kemiskinan, termasuk 761.000 anak (16,6%). Kemiskinan ini diukur dengan pendekatan relatif, yaitu berdasarkan 50% atau 60% dari median pendapatan rumah tangga setelah disesuaikan (equivalised disposable income).
Median sendiri adalah nilai tengah. Artinya, setengah dari rumah tangga memiliki pendapatan lebih tinggi, setengah lainnya lebih rendah. Contohnya, jika median pendapatan rumah tangga adalah $1.000 per minggu, maka garis kemiskinan 50% adalah $500/minggu dan garis kemiskinan 60% adalah $600/minggu. Dengan demikian, orang yang pendapatannya di bawah angka tersebut dianggap hidup dalam kemiskinan relatif.
Ukuran ini mencerminkan gagasan bahwa semakin seseorang berada jauh dibawah rata-rata, berarti ia tidak memiliki sumber daya cukup untuk menjalani kehidupan layak secara sosial.
Pengukuran kemiskinan di Australia bersifat , yakni menggunakan dan standar hidup langsung (outcome-based). Pendekatan berbasis pendapatan mengandalkan indikator seperti proporsi pendapatan terhadap median nasional (setelah dikurangi biaya perumahan, mengingat perumahan merupakan komponen pengeluaran terbesar bagi kebanyakan rumah tangga).
Sedangkan pendekatan standar hidup langsung berfokus pada pengalaman nyata dari kemiskinan, seperti kurangnya kebutuhan pokok, keterbatasan akses pendidikan dan layanan kesehatan, serta perasaan stres finansial yang berkelanjutan.
Studi-studi terbaru juga menyoroti bahwa Kelompok paling rentan antara lain adalah keluarga orang tua tunggal (35% hidup dalam kemiskinan), anak-anak dalam keluarga semacam itu (44%), penyewa rumah (terutama yang berusia lanjut), dan bahkan pekerja bergaji rendah yang menghadapi biaya hidup tinggi.
Menariknya, sekitar 7% orang yang tinggal di rumah tangga dengan pendapatan utama dari upah tetap berada dalam kemiskinan, mencerminkan munculnya fenomena working poor—orang yang bekerja namun tetap tidak mampu keluar dari jerat kemiskinan.
Selama , perubahan drastis terlihat ketika pembayaran tunjangan sosial ditingkatkan secara temporer. Tingkat kemiskinan menurun ke level terendah dalam 17 tahun—dari 14,6% pada kuartal Maret 2020 menjadi 12% di kuartal Juni—menandakan bahwa kebijakan pendapatan memiliki dampak signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat.
Namun demikian, Australia masih belum memiliki ukuran resmi kemiskinan yang diakui secara nasional. Inisiatif seperti mendorong adanya proses terbuka dan berbasis data yang melibatkan pengalaman hidup masyarakat miskin, pakar, serta organisasi masyarakat sipil dalam merumuskan ukuran kemiskinan resmi. Pendekatan multidimensi yang lebih luas—yang menggabungkan indikator pendidikan, kesehatan, perumahan, dan partisipasi sosial—didorong sebagai langkah lanjutan setelah tercapainya konsensus atas ukuran berbasis pendapatan.
Selandia Baru: Indikator Kemiskinan Relatif, Aktual, Hingga Pengalaman Hidup
Selandia Baru, sebagai negara dengan tradisi negara kesejahteraan yang kuat, memiliki tantangan kompleks dalam memahami dan mengukur kemiskinan. Kemiskinan di negeri ini tidak hanya dianggap sebagai masalah kekurangan materi, tetapi juga menyangkut kehilangan martabat, pilihan, dan partisipasi dalam masyarakat. Oleh karena itu, pendekatan pengukuran kemiskinan di Selandia Baru telah mengalami t
Sebelum era 2000-an, Selandia baru fokus pada Pendapatan. Selama beberapa dekade, kemiskinan diukur terutama melalui pendekatan ekonomi, khususnya berdasarkan pendapatan rumah tangga. Seperti banyak negara maju lainnya, garis kemiskinan ditetapkan sebagai persentase dari pendapatan median rumah tangga setelah disesuaikan (equivalised income). Dua ambang batas yang umum digunakan adalah 60% dari median pendapatan sebagai batas kemiskinan relatif dan 50% dari median pendapatan untuk menggambarkan kemiskinan yang lebih dalam (deep poverty).
Penghitungan ini sering menggunakan unit rumah tangga atau individu dewasa pertama sebagai dasar, dan mencakup kelompok usia (anak-anak, lansia, dan dewasa muda) serta status pekerjaan.
Indikator ini secara efektif menunjukkan siapa yang tertinggal secara ekonomi, namun memiliki kelemahan karena tidak mencerminkan secara penuh kondisi kehidupan nyata orang-orang miskin, terutama mereka yang menghadapi deprivasi non-finansial seperti tidak memiliki tempat tinggal yang layak atau akses pendidikan dan kesehatan yang memadai.
Lalu, di era 2001–2009, muncul berbagai pengukuran kemiskinan dengan dimensi sosial. Perhatian mulai bergeser dari sekadar kekurangan pendapatan ke arah . Ini dipengaruhi oleh kajian internasional serta meningkatnya advokasi masyarakat sipil.
Laporan-laporan dari dan mulai menggunakan indikator deprivasi material, seperti: tidak mampu membayar pemanas saat musim dingin, tidak memiliki sepatu atau pakaian yang layak untuk anak-anak, dan tidak mampu mengundang tamu atau merayakan ulang tahun anak. Ada juga indikator lain seperti mengalami kesulitan keuangan berulang (overdue bills, pinjaman konsumtif), rumah terlalu penuh (overcrowding) atau terlalu lembab.
Upaya ini membuka ruang untuk melihat kemiskinan sebagai kehilangan peluang dan kapabilitas, bukan sekadar kekurangan uang. Indikator ini juga memberi pemahaman tentang kemiskinan aktual (lived poverty) dan digunakan sebagai komponen penting dalam pembuatan kebijakan kesejahteraan.
Dalam laporan , pendekatan kualitatif juga digunakan untuk menggambarkan wajah kemiskinan dari perspektif orang-orang yang mengalaminya. Temuan-teman utama meliputi stigma dan rasa malu yang terus-menerus, keterbatasan pilihan hidup, beban mental akibat tekanan ekonomi, dan tersingkir dari ruang sosial karena tidak mampu berpartisipasi penuh.
Salah satu narasi menyentuh menyebutkan bahwa kemiskinan bukan hanya soal tidak bisa membeli makanan, tapi juga ketidakmampuan untuk memberi hadiah ulang tahun kepada anak sendiri atau sekadar mengikuti kegiatan masyarakat.
Salah satu tonggak penting lain dalam perang terhadap kemiskinan di Selandia Baru adalah disahkannya Child Poverty Reduction Act 2018, yang mewajibkan pemerintah untuk menetapkan target pengurangan kemiskinan anak dengan menggunakan berbagai ukuran: relatif, absolut, dan indikator deprivasi.
Sumber: https://oag.parliament.nz/2025/child-poverty
zoom-in-whitePerbesar
Sumber:
Selandia Baru juga mengembangkan dan kerangka kerja yang mencakup indikator non-ekonomi seperti kesehatan mental, keterhubungan sosial, akses terhadap pendidikan, dan lingkungan hidup. Selandia Baru menunjukkan bahwa pengukuran kemiskinan bukanlah soal teknis belaka, melainkan komitmen moral untuk memahami dan mengatasi ketimpangan sosial secara menyeluruh.
Apa yang Kita Bisa Pelajari?
Indonesia dapat belajar dari pendekatan Australia dan Selandia Baru dalam hal membangun sistem pengukuran kemiskinan yang tidak hanya berbasis pendapatan, tetapi juga mempertimbangkan pengalaman hidup dan dimensi multidimensi lainnya. Di kedua negara tersebut, pengukuran kemiskinan telah bergeser dari pendekatan absolut menuju pendekatan relatif yang menyesuaikan dengan standar hidup mayoritas masyarakat.
Ini penting karena garis kemiskinan berbasis median pendapatan dapat menunjukkan sejauh mana seseorang tertinggal secara sosial. Indonesia, yang selama ini masih dominan menggunakan pendekatan absolut dari BPS, dapat mulai mengintegrasikan ukuran relatif untuk menggambarkan kemiskinan yang tersembunyi di wilayah perkotaan maupun pedesaan.
Kedua negara tersebut juga memberikan pelajaran penting mengenai pentingnya mengukur deprivasi material dan sosial—seperti keterbatasan akses terhadap pendidikan, perumahan layak, kesehatan mental, dan partisipasi sosial.
Selandia Baru, misalnya, menunjukkan bagaimana pengalaman hidup masyarakat miskin dijadikan bagian dari indikator resmi melalui survei dan konsultasi publik. Australia melalui inisiatif P juga membuka ruang bagi masyarakat sipil dan peneliti untuk merancang pengukuran kemiskinan yang lebih responsif terhadap realitas.
Hal ini menunjukkan bahwa pengukuran kemiskinan bukanlah proyek teknokratis semata, melainkan bagian dari demokratisasi kebijakan sosial.
Terakhir, Indonesia dapat mencontoh langkah kebijakan yang berbasis target dan akuntabilitas publik, seperti Undang-Undang di Selandia Baru yang mengharuskan pemerintah menetapkan target pengurangan kemiskinan anak dan melaporkan kemajuannya setiap tahun.
Sementara Australia memperlihatkan bahwa reformasi kebijakan sosial seperti peningkatan tunjangan dapat secara signifikan menurunkan angka kemiskinan dalam waktu singkat.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.