Peran Apoteker dalam Pengendalian Unit Cost Obat Pelayanan BPJS Kesehatan
Anton Dewanto Purnomo June 17, 2025 02:40 PM
Sejak diberlakukannya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui BPJS Kesehatan, pengendalian biaya pelayanan kesehatan menjadi isu strategis nasional. Salah satu tantangan yang krusial adalah efisiensi pembiayaan obat—yang menyumbang porsi signifikan terhadap biaya klaim. Di sinilah peran Apoteker menjadi sangat sentral, bukan sekadar sebagai pengelola obat, tetapi juga sebagai mitra strategis dalam mengefisiensikan unit cost obat.
Sebagai tenaga kesehatan yang memiliki keahlian di bidang farmasi, Apoteker dapat berkontribusi secara nyata melalui dua strategi utama: pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai (BMHP); serta pelayanan farmasi klinis melalui pendekatan medication therapy management (MTM).
1. Optimalisasi Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alkes, dan BMHP
Efisiensi biaya tidak bisa dilepaskan dari pengelolaan logistik sediaan farmasi yang baik. Apoteker memiliki kompetensi untuk menerapkan inventory control yang tepat—mulai dari perencanaan kebutuhan berbasis data utilisasi, pemilihan item yang rasional dan sesuai formularium nasional, hingga sistem distribusi internal yang efisien.
Kesalahan dalam pengelolaan ini dapat menimbulkan pemborosan yang berdampak langsung pada beban biaya pelayanan kesehatan. Apoteker juga berperan dalam memastikan bahwa obat generik bermutu digunakan secara optimal tanpa mengorbankan mutu pelayanan. Ini sejalan dengan prinsip cost-effectiveness dalam sistem JKN.
2. Pelayanan Farmasi Klinis melalui Medication Therapy Management (MTM)
Salah satu strategi penting dalam pengendalian unit cost obat yang sering terlewatkan adalah penerapan Medication Therapy Management (MTM), yaitu suatu pendekatan layanan farmasi klinis yang terstruktur dan berfokus pada optimalisasi hasil terapi obat pasien. Dalam praktik MTM, Apoteker tidak sekadar “mendistribusikan obat”, melainkan menjadi pharmaceutical care provider yang aktif mengevaluasi, mengintervensi, dan memantau terapi pasien secara berkelanjutan.
Melalui MTM, Apoteker bekerja sama secara kolaboratif dengan dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk memastikan bahwa setiap obat yang digunakan benar-benar diperlukan, tepat indikasi, tepat dosis, serta aman bagi pasien. Apoteker melakukan drug therapy review, mengidentifikasi potensi masalah terkait obat seperti interaksi obat, duplikasi terapi, efek samping, hingga ketidakpatuhan pasien dalam penggunaan obat. Semua ini berkontribusi pada pencegahan drug-related problems (DRPs) yang dapat meningkatkan biaya pengobatan secara tidak langsung.
Praktik MTM juga mendorong penggunaan obat secara lebih rasional dan efisien. Sebagai contoh, pada pasien dengan penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, atau gagal ginjal—yang umumnya menerima banyak jenis obat—Apoteker dapat membantu menyusun regimen terapi yang lebih sederhana namun tetap efektif. Ini sangat penting dalam konteks BPJS Kesehatan yang menggunakan sistem pembayaran berbasis paket (INA-CBGs), di mana overutilisasi atau penggunaan obat yang tidak tepat langsung berdampak pada cost overrun di fasilitas kesehatan.
Tidak hanya itu, MTM juga menjadi alat edukasi bagi pasien. Apoteker berperan memberi konseling mengenai cara penggunaan obat yang benar, efek samping yang mungkin timbul, hingga pentingnya kepatuhan. Edukasi yang baik mendorong pasien untuk menggunakan obat secara benar, yang pada akhirnya menurunkan risiko kunjungan ulang, rawat inap, atau komplikasi akibat penggunaan obat yang tidak tepat. Semua hal ini berarti penghematan biaya, bukan hanya bagi BPJS Kesehatan, tetapi juga bagi pasien dan sistem kesehatan secara keseluruhan.
Sayangnya, praktik MTM ini belum sepenuhnya diintegrasikan dalam sistem layanan primer maupun rumah sakit di Indonesia. Masih banyak fasilitas kesehatan yang memandang pelayanan farmasi sebagai fungsi administratif belaka. Padahal, secara global, MTM telah menjadi standar pelayanan farmasi berbasis mutu dan efisiensi. Bahkan di negara-negara maju, peran Apoteker dalam MTM diakui sebagai faktor kunci dalam menurunkan beban pembiayaan sistem jaminan kesehatan nasional mereka.
Dengan memperkuat posisi Apoteker dalam tim kesehatan, dan menjadikan MTM sebagai bagian integral dari alur layanan pasien, kita bisa menekan angka pemborosan obat sekaligus meningkatkan mutu pelayanan yang diterima peserta JKN. Ini bukan utopia, melainkan keniscayaan yang bisa diwujudkan melalui reformasi kebijakan, pelatihan berkelanjutan, serta penguatan regulasi profesi.