Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menuduh Iran telah mencapai kapasitas teknis untuk memproduksi sembilan bom nuklir.
Pernyataan ini digunakannya untuk membenarkan serangan militer Israel ke Iran pada Jumat (13/6) lalu. Namun, klaim Netanyahu memicu pertanyaan: Apakah Iran memang sudah sedekat itu dengan senjata nuklir?
Mengutip Guardian, dalam keterangannya, Netanyahu menyebut Teheran telah mencapai terobosan teknis yang diperlukan untuk membuat bom.
Menurut Israel, informasi ini telah disampaikan ke Amerika Serikat.
Tapi penilaian komunitas intelijen AS berbeda.
Pada 25 Maret lalu, Direktur Intelijen Nasional AS, Tulsi Gabbard, menyampaikan bahwa Iran tidak secara aktif mengejar senjata nuklir.
Meski demikian ia pun mengakui ada “pengikisan tabu” dalam diskursus publik Iran terkait senjata nuklir, serta peningkatan stok uranium yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk negara tanpa senjata nuklir.
Temuan IAEA
Perbesar
Ilustrasi reaktor nuklir Iran. Foto: AFP/MAJID ASGARIPOUR / MEHR NEWS
Laporan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) pekan ini juga memperlihatkan data berbeda dari klaim Israel.
Laporan sepanjang 22 halaman itu tidak menyatakan Iran berada di ambang pembuatan senjata nuklir, namun juga tidak dapat memastikan bahwa program nuklir Iran sepenuhnya bersifat sipil.
IAEA mencatat, Iran telah memperkaya uranium hingga 60%—mendekati 90% yang diperlukan untuk senjata nuklir.
Jumlah uranium tersebut, jika diproses lebih lanjut, cukup untuk membuat sembilan hulu ledak.
Namun, lagi-lagi belum ada bukti bahwa proses tersebut telah dilakukan.
Sejak 2019, IAEA menyelidiki jejak uranium buatan manusia di tiga lokasi yang tidak dideklarasikan: Varamin, Marivan, dan Turquz Abad.
Ketiganya terkait dengan program rahasia Iran yang diyakini berakhir pada 2003.
Menurut Direktur Jenderal IAEA Rafael Grossi, Iran berulang kali gagal memberikan jawaban yang kredibel dan menghambat proses verifikasi dengan membersihkan lokasi investigasi.
Iran pun belum memberikan akses ke data dari fasilitas produksi sentrifugal sejak Februari 2021, termasuk rekaman kamera pengawas.
Ketegangan Sejak Kesepakatan Nuklir 2015 Dibatalkan
Perbesar
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump dan Presiden Iran, Ayatulloh Ali Khamenei. Foto: Reuters, AFP
Kini Parlemen Iran tengah menyiapkan rancangan undang-undang yang memungkinkan negara itu keluar dari Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (NPT).
Iran menyebut sikapnya sebagai respons terhadap penarikan sepihak AS dari perjanjian nuklir 2015 oleh Presiden Donald Trump.
Sejak itu, Iran terus meningkatkan program pengayaan uraniumnya.
Laporan IAEA terbaru mencatat bahwa stok uranium yang diperkaya hingga 60% meningkat dari 274,8 kg pada Februari menjadi 408,6 kg pada Mei.
Selain itu, Iran juga memiliki cadangan uranium yang diperkaya pada level 20% dan 5%, cukup untuk tambahan 13 bom jika diproses lebih lanjut.
Selama ini Iran berulang kali menegaskan bahwa program nuklirnya ditujukan untuk tujuan damai. Bahkan, pemimpin tertinggi Ayatollah Ali Khamenei pernah mengeluarkan fatwa yang melarang senjata nuklir.
Tapi laporan IAEA mencatat sejumlah mantan pejabat Iran menyatakan negaranya kini memiliki semua kemampuan teknis untuk memproduksi senjata nuklir, jika pilihan itu diambil secara politik.
Grossi memperingatkan, jika Iran memutuskan untuk mempersenjatai hulu ledak misilnya, prosesnya bisa memakan waktu hanya dalam hitungan bulan.
Mayoritas cadangan uranium Iran disimpan di fasilitas nuklir Isfahan.
Tak ada detail tentang lokasi penyimpanan atau dampak akibat serangan Israel di tempat tersebut, tapi stok urnanium Iran diketahui disegel oleh badan internasional.