Pacul Sentil Fadli Zon soal Pemerkosaan Massal 98: Jangan Sok Bener Sendiri
kumparanNEWS June 17, 2025 06:42 AM
Wakil Ketua MPR RI sekaligus Ketua DPP PDIP Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul menyentil pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut pemerkosaan massal 1998 hanya belum ada bukti sejarahnya.
“(Penulisan ulang sejarah) itu subjektivitas akan mempengaruhi. Ini yang disadari, jangan kemudian sok bener-beneran, nggak bisa ya. Jadi jangan sok bener sendiri,” kata Pacul saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Senin (16/6).
Menurut Pacul subjektivitas ketika sejarah di tulis ulang itu pasti terjadi dan bergantung dari sudut pandang siapa yang tengah menulis.
Untuk itu khusus untuk kasus pemerkosaan massal 1998, Pacul meminta pemerintah untuk berkaca pada fakta sejarah ketika Presiden Habibie mengeluarkan pernyataan resmi soal pemerkosaan.
Salah satu penggalan pernyataan Habibie adalah, Habibie mengakui adanya bukti-bukti otentik mengenai kekerasan seksual terhadap perempuan. Pacul pun meminta Fadli Zon untuk membaca dokumen itu.
“Waktu itu Presiden Habibie de jure Presiden, statementnya apa? Ya silakan dibaca, saya nggak mau kontradiksikan lah sampean baca, itu Presiden de jure, kan begitu,” katanya.
Pacul pun menantang Fadli Zon untuk membuktikan pernyataannya mengenai pemerkosaan massal 1998 adalah rumor. Sebab menurutnya menulis ulang sejarah bukan ngotot-ngototan pendapat, namun harus berlandaskan fakta.
“Bahwa subjektivitas Pak Pak Fadli Zon mau mengambil cara yang berbeda, ya dipersilakan, nanti kan ditabrakkan dengan ayat fakta, kita kan susah hari ini kalau kita hanya ngotot-ngototan tok,” kata Pacul.
“Jadi kalau hanya ngotot-ngotot, ya kita bikin sejarah kita sendiri dengan fakta yang kita punya sendiri, kan begitu aja, just a simple as that,” tuturnya.
Sebelumnya, Fadli Zon menyatakan bahwa peristiwa kerusuhan Mei 1998 memang menimbulkan banyak perspektif, termasuk terkait istilah “perkosaan massal” yang hingga kini masih diperdebatkan. Ia menilai penggunaan istilah tersebut perlu kehati-hatian karena tidak disertai data kuat seperti nama korban, waktu, tempat kejadian, atau pelaku dalam laporan TGPF.
Meski begitu, ia menegaskan tidak sedang menegasikan keberadaan kekerasan seksual terhadap perempuan, baik pada masa lalu maupun masa kini.
“Saya tentu mengutuk dan mengecam keras berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi pada masa lalu dan bahkan masih terjadi hingga kini. Apa yang saya sampaikan tidak menegasikan berbagai kerugian atau pun menihilkan penderitaan korban yang terjadi dalam konteks huru hara 13-14 Mei 1998,” ungkap Fadli dalam keterangannya, (16/6).
“Sebaliknya, segala bentuk kekerasan dan perundungan seksual terhadap perempuan adalah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan paling mendasar, dan harus menjadi perhatian serius setiap pemangku kepentingan,” tegasnya.
Fadli menjelaskan pernyataannya bukan untuk menyangkal keberadaan kekerasan seksual, namun untuk menekankan bahwa sejarah perlu bersandar pada fakta-fakta hukum dan bukti yang telah diuji secara akademik dan legal.