Bank Dunia (World Bank) menyarankan agar Indonesia tetap menggunakan garis kemiskinan dan data resmi Badan Pusat Statistik (BPS). Data itu dinilai paling sesuai untuk merancang program perlindungan sosial dan kebijakan pengentasan kemiskinan lainnya.
Pernyataan Bank Dunia itu menanggapi garis kemiskinan terbaru yang berdampak pada lonjakan jumlah orang miskin di Indonesia. Ukuran garis kemiskinan itu berbeda dengan standar nasional BPS.
"Untuk pertanyaan tentang kebijakan nasional di Indonesia, garis kemiskinan nasional dan statistik kemiskinan yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) adalah yang paling tepat," tulis Bank Dunia dalam Lembar Fakta atau Factsheet bertajuk 'The World Bank's Updated Global Poverty Lines: Indonesia', Senin (16/6/2025).
Sebagaimana diketahui, Bank Dunia mengubah garis kemiskinan internasional menyesuaikan standar paritas daya beli atau purchasing power parities (PPP) 2021, dari sebelumnya PPP 2017. Ini dirancang untuk membandingkan negara-negara dengan standar global dan memantau kemajuan di seluruh dunia dalam pengentasan kemiskinan.
"Garis-garis tersebut direvisi secara berkala untuk memastikan bahwa pengukuran mencerminkan kondisi global," tulis Bank Dunia.
Dengan PPP 2021, Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan ekstrem sebesar US$ 3,00 per hari (setara dengan sekitar Rp 546.400 per bulan setelah memperhitungkan biaya hidup di Indonesia). Sebelumnya dengan standar PPP 2017 ialah senilai US$ 2,15.
Selain garis kemiskinan ekstrem, juga ada garis kemiskinan untuk standar negara berpendapatan menengah ke bawah atau LMIC sebesar US$ 4,20 per hari (sekitar Rp 765.000 per orang per bulan), dan negara berpendapatan menengah atas atau UMIC US$ 8,30 per hari (sekitar Rp 1.512.000 per orang per bulan).
Menurut garis kemiskinan ekstrem internasional yang baru itu, Bank Dunia menganggap 5,4% penduduk Indonesia miskin pada 2024 dari total penduduk 285,1 juta jiwa, 19,9% miskin menurut garis kemiskinan LMIC, dan 68,3% miskin menurut garis kemiskinan untuk negara UMIC.
Indonesia telah dikategorikan sebagai negara UMIC oleh Bank Dunia pada 2023 setelah pendapatan per kapitanya menembus US$ 4.810 pada tahun itu. Dengan demikian Bank Dunia menganggap jumlah orang miskin di Indonesia pada 2024 setara 68,3% dari total penduduk atau 194,72 juta jiwa, naik dibandingkan standar PPP 2017 sejumlah 171,91 juta jiwa.
"Sebagai akibat dari ambang batas yang lebih tinggi, sebagian besar negara mengalami peningkatan dalam angka kemiskinan internasional mereka, seperti halnya Indonesia," tulis Bank Dunia.
Bank Dunia mengaku sengaja membuat ukuran kemiskinan yang berbeda dari definisi kemiskinan nasional yang digunakan oleh sebagian besar pemerintahan dunia. Pasalnya tujuannya digunakan untuk hal yang berbeda.
"Definisi kemiskinan nasional dan internasional sengaja dibuat berbeda karena digunakan untuk tujuan yang berbeda," tulis Bank Dunia dalam Lembar Faktanya.
Menurut Bank Dunia, garis kemiskinan nasional ditetapkan oleh pemerintah dan dikhususkan untuk konteks kondisi negaranya sendiri. Garis kemiskinan itu biasanya digunakan untuk menerapkan kebijakan di tingkat nasional, seperti menargetkan dukungan bagi masyarakat miskin.
Sedangkan standar garis yang dibuat Bank Dunia ditujukan untuk membandingkan negara-negara dengan standar global dan memantau kemajuan di seluruh dunia dalam pengurangan kemiskinan.
"Garis kemiskinan nasional Indonesia tetap menjadi ukuran yang paling relevan untuk diskusi kebijakan khusus negara, sementara ukuran kemiskinan global yang baru dimaksudkan untuk membandingkan Indonesia dengan negara lain," tulis Bank Dunia.
Bank Dunia menegaskan tidak ada definisi tunggal tentang kemiskinan yang dapat memenuhi semua tujuan. Garis kemiskinan internasional yang diterbitkan oleh Bank Dunia sesuai untuk pemantauan kemiskinan global dan membandingkan Indonesia dengan negara lain atau standar global.