Tragedi Gaza dan Pentingnya Membangun SDM Yang Punya Rasa
Danang Aziz Akbarona June 17, 2025 10:21 AM
Tulisan ini adalah sepenggal kisah tentang kekejaman yang melampaui batas nalar kemanusiaan. Inilah tragedi kemanusiaan paling buruk sepanjang sejarah peradaban dunia : penjajahan Israel atas bangsa Palestina.
Gaza hari ini bukan sekadar sebuah wilayah geografis. Ia telah menjelma menjadi simbol paling tragis dari kehancuran peradaban modern. Di tanah sempit yang terkepung dari segala penjuru itu, sejarah mencatat luka yang tak pernah benar-benar sembuh. Gaza adalah tubuh yang terus berdarah, namun tak pernah benar-benar mati—karena di dalamnya hidup perlawanan yang tak bisa dipadamkan.
Namun justru karena perlawanan itulah, Gaza dihukum. Dengan cara yang bahkan sejarah pun mungkin tak sanggup menuliskannya tanpa menggigil. Di sana, manusia dilucuti hak hidupnya, dibunuh bukan karena kesalahan, tapi karena keberadaan. Anak-anak dibunuh dalam pelukan ibunya. Rumah sakit dibom. Sekolah dihancurkan. Kamp pengungsi dijadikan target. Orang-orang terkubur hidup-hidup bersama mimpi-mimpi kecil yang tak sempat tumbuh. Mereka tidak mati karena perang; mereka dimusnahkan oleh sistem kekuasaan yang membenarkan pembantaian atas nama pertahanan.
Inilah wajah baru dari genosida modern. Bukan hanya darah yang mengalir, tapi juga kehancuran psikologis berjamaah, di mana setiap manusia hidup dalam ketakutan yang abadi, dalam ketidakpastian apakah esok masih bisa bernapas. Gaza telah menjadi laboratorium penderitaan: tempat segala bentuk pelanggaran kemanusiaan diuji, dilanggengkan, lalu didiamkan. Dan yang paling menyakitkan dari semuanya adalah: dunia melihat, dunia tahu, tapi dunia diam.
Sejarah pernah mencatat kekejaman yang tak terperi—penjajahan, perbudakan, pembantaian massal. Tapi Gaza adalah ironi paling gelap dari zaman yang mengklaim telah beradab. Di tengah segala kecanggihan teknologi, diplomasi internasional, dan tumpukan deklarasi HAM, Gaza memperlihatkan kebusukan moral umat manusia: bahwa tidak semua nyawa dianggap setara, bahwa penderitaan bisa ditawar dengan kepentingan politik, bahwa hak hidup bisa dinegosiasikan di meja-meja kekuasaan.
Di Gaza, dunia gagal menjadi manusia. Lembaga-lembaga internasional yang dulunya berdiri untuk mencegah kejahatan terhadap kemanusiaan kini menjadi saksi bisu. Negara-negara besar yang konon menjunjung nilai-nilai demokrasi dan perdamaian justru memperkuat tangan-tangan penjagal. Tak ada suara yang cukup nyaring untuk menghentikan rudal. Tak ada air mata yang cukup deras untuk memadamkan api kebencian.
Dan yang paling menyedihkan: anak-anak Gaza tumbuh bukan dengan lagu-lagu masa kecil, tetapi dengan dentuman bom sebagai pengantar tidur. Mereka belajar mengenali kematian sebelum mengenal warna pelangi. Mereka hafal nama senjata lebih cepat daripada alfabet. Gaza telah merampas masa depan bahkan sebelum masa depan itu sempat dirancang.
Jika ada satu bab tergelap dalam sejarah peradaban manusia modern, maka itu adalah Gaza. Ia bukan sekadar krisis politik atau konflik wilayah. Ia adalah kejatuhan martabat manusia dalam bentuknya yang paling menyakitkan. Gaza adalah pengingat bahwa manusia bisa begitu rendah hingga merayakan penderitaan orang lain, membenarkan kekerasan dengan narasi keamanan, dan menutup mata dari derita hanya karena ia tidak terjadi di depan rumah sendiri.
Hilangnya Rasa Kemanusiaan Dunia
Gaza adalah aib dunia. Dan selama dunia membiarkannya terus terjadi, sejarah akan menulis: bahwa di masa ketika peradaban telah mencapai langit, nurani manusia justru terkubur paling dalam di tanah Gaza
Dari titik gelap inilah muncul pertanyaan penting yang harus dijawab oleh seluruh bangsa: seperti apa manusia yang sedang kita bentuk? Apa yang akan kita wariskan pada generasi mendatang ketika dunia memperlihatkan bahwa menjadi kuat lebih penting dari menjadi adil dan beradab? Apakah kita sedang mencetak generasi yang cerdas secara akademik, mahir secara teknologi, tapi hampa secara nurani? Apakah pendidikan kita hari ini masih menyisakan ruang untuk mengajarkan rasa empati, keadilan, dan keberpihakan pada kebenaran?
Pertanyaan ini bukan hanya retoris. Ini adalah panggilan moral yang sangat mendesak. Kita hidup dalam dunia yang membutuhkan lebih dari sekadar kecerdasan intelektual. Kita membutuhkan manusia-manusia yang memiliki moral compass, yang tahu membedakan benar dan salah, yang berani berdiri untuk yang tertindas, dan yang mampu menangis saat melihat penderitaan orang lain. Dalam teori pendidikan karakter, seperti yang dikemukakan oleh Thomas Lickona (1991), manusia yang beradab adalah mereka yang tidak hanya memiliki kemampuan berpikir kritis, tetapi juga integritas moral, rasa tanggung jawab sosial, dan komitmen terhadap nilai-nilai universal.
Begitu pula tokoh seperti Ki Hadjar Dewantara menegaskan dalam karya berjudul Pendidikan (2004) bahwa tujuan pendidikan bukan hanya mencerdaskan otak, tetapi juga membentuk budi pekerti. Pendidikan yang benar, kata beliau, adalah pendidikan yang menghidupkan rasa (selain cipta dan karsa): rasa hormat, rasa malu, rasa belas kasih. Ini selaras dengan gagasan Martha Nussbaum (2011) tentang "capabilities approach" — bahwa manusia seharusnya dibentuk untuk mampu merasakan, memahami, dan bertindak dalam kerangka kemanusiaan yang luas, bukan sekadar menjadi mesin ekonomi yang efisien.
Maka, tragedi Gaza seharusnya menjadi cermin bagi seluruh dunia: apakah kita sudah benar dalam mendidik dan membentuk manusia? Sudahkah kita mencetak SDM yang bukan hanya “punya otak”, tapi juga “punya rasa”? Sebab, dunia hari ini bukan kekurangan orang pintar. Dunia kekurangan orang baik yang berani bertindak karena mereka merasa pedih melihat penderitaan sesama. Kecerdasan tanpa empati adalah bencana. Kemajuan teknologi tanpa kemajuan hati nurani hanya akan melahirkan kekuasaan yang membinasakan, bukan yang menyelamatkan.
Membangun SDM Yang Punya Rasa
Di tengah keputusasaan inilah kita tak boleh berhenti berharap. Harapan itu tidak datang dari luar, tapi dari dalam: dari upaya kita membentuk generasi baru yang punya rasa, yang belajar mencintai sejak dini, yang dibiasakan menolong, mendengarkan, dan mengulurkan tangan. Yang selalu nanar setiap melihat penindasan dan penistaan kemanusiaan. Dunia tak akan berubah jika manusia di dalamnya tak berubah. Dan perubahan manusia dimulai dari rasa — rasa yang jujur, rasa yang tulus, rasa yang peduli.
Meski tertatih kita tetap berbangga hati ketika nurani mulai bergaung di berbagai penjuru dunia, menyatukan mereka yang tak lagi sanggup diam menyaksikan derita Gaza. Bukan hanya di negara muslim tapi juga negara-negara sekuler. Bukan hanya di Timur tapi juga di Barat. Bukan hanya di tempat ibadah dan pengajian, tapi juga di kampus-kampus terbaik dunia. Mereka kompak turun ke jalan, menggelar aksi solidaritas, menggalang donasi, menjadi relawan kemanusiaan, bahkan menggugat pemimpin negaranya dengan suara lantang, meski dibungkam dan direpresi.
Lebih jauh lagi, ada yang memilih datang langsung ke perbatasan Gaza, seperti Pelayaran Gaza Freedom Frotila dan Global March to Gaza, yang meneriakkan pembebasan dengan dada terbuka, meski di hadapan mereka terarah moncong senjata milik Israel dan para sekutunya. Mereka tidak mau hanya menjadi penonton, tetapi para penyala harapan yang membuktikan bahwa kemanusiaan belum mati.
Gaza mengajarkan kita bahwa pendidikan tanpa rasa adalah hampa. Dan dunia tanpa manusia yang punya rasa, adalah dunia yang akan terus mengulang kekejaman yang sama. Maka marilah kita bangun masa depan dengan SDM yang punya rasa — agar dunia ini kembali menjadi tempat yang layak bagi kemanusiaan.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.