Cinta Pertama Tak Pernah Ada: Membongkar Mitos Romansa Tinjauan Interdisipliner
Nazam June 17, 2025 03:20 PM
Sejak dulu, dari layar kaca hingga lirik lagu, kita seringkali dijejali gambaran bahwa cinta pertama adalah sesuatu yang sangat spesial—sebuah kenangan istimewa yang takkan pernah terlupakan. “First love never dies,” katanya.
Pernyataan yang menyebutkan bahwa seseorang tidak bisa melupakan cinta pertamanya, baik pria ataupun wanita ini sangat populer dan begitu mengakar di budaya romansa kita, sampai-sampai banyak orang yang meragukan pasangannya sendiri dan bertanya-tanya dalam benak mereka: "Apakah pasanganku benar-benar sudah melupakan cinta pertamanya?"
Cinta pertama biasanya terjadi di masa remaja atau awal dewasa, saat sedang pencarian jati diri disertai emosi yang sangat menggebu. Wajar jika momen itu terasa (bukan merasa) begitu membekas. Tapi benarkah kenangan itu takkan pernah tergantikan?
Menariknya, jika kita memahami cara kerja otak manusia, proses mengingat tidaklah sesederhana menyimpan file lalu menemukannya kembali seperti di komputer. Neurosains modern melalui penelitian Retrieval of Emotional Memories (Buchanan, 2007) - sebuah tinjauan komprehensif tentang pengaruh emosi pada pembentukan ingatan manusia, mengungkap bahwa pengalaman emosional yang intens seperti cinta pertama memang lebih mudah tertanam dalam memori kita. Namun, Buchanan secara khusus menekankan bahwa ingatan tersebut bersifat dinamis dan terus berevolusi seiring waktu serta konteks dan situasi yang berbeda. Penelitian ini menyoroti mekanisme neurobiologis yang melibatkan tiga area kunci otak: (1) Amigdala yang memberikan warna emosional pada memori, (2) Hippocampus sebagai pusat penyimpanan ingatan-membentuk dan mengkonsolidasikan memori, (3) Korteks prefrontal yang memodifikasi ingatan saat diakses kembali.
Artinya, meskipun kerangka dasar kenangan tentang cinta pertama atau bahkan mantan kemarin yang baru saja berpisah mungkin tetap ada, tetapi intensitas emosional dan detail spesifiknya dapat berubah secara alami seiring berjalannya waktu. Proses ini semakin efektif ketika kita secara aktif bergerak maju membangun pengalaman baru, memungkinkan otak untuk terus mereorganisasi atau menata ulang ingatan lama dengan pembaharuan yang lebih segar.
Lalu, mengapa cinta pertama terasa begitu sulit dilupakan? Psikologi kognitif menjelaskan bahwa otak kita bereaksi kuat terhadap hal-hal baru (efek novelty). Saat pertama kali jatuh cinta, hormon dopamin dansenyawa kimiawi tubuh lainnya—yang terkait dengan rasa senang akan dilepaskan dalam jumlah yang besar (Good, 2025). Kemudian, faktor lain yang memperkuatnya adalah kecenderungan kita untuk mengidealkannya. Idealisasi cinta ini disebut juga sebagai romantic nostalgia, yakni kecenderungan psikis manusia untuk menyaring dan meromantisasi kenangan masa lalu. Pakar hubungan asmara dan konseling perkawinan, Lori Jean Glass dilansir (Pivot, 2024) menyebutkan bahwa ingatan manusia cenderung menyaring hal-hal negatif dan hanya menyimpan momen-momen positif.
Alhasil, kita sebenarnya tidak mengingat cinta pertama kita sebagaimana adanya, tetapi lebih sebagaimana yang kita ingin ingat. Proses psikologis inilah yang membuat banyak orang terus memendam perasaan khusus untuk cinta pertama mereka, meskipun hubungan tersebut mungkin tidak sesempurna yang sedang diingat pada sebagaimana adanya lagi.
Berdasarkan penjelasan dua disiplin ilmu di atas, dari neorusains hingga psikologi telah mematahkan klaim yang menyatakan bahwa cinta pertama tidak bisa dilupakan. Seiring berjalannya waktu, pengalaman hidup dan kematangan emosional akan membantu kita untuk memahami cinta secara lebih utuh.
Lalu, bagaimana selanjutnya? Jika hubungan di masa remaja sering didorong oleh gejolak perasaan, hubungan di usia dewasa biasanya dibangun dari hal-hal yang lebih substansial—seperti komitmen, saling pengertian, dan keselarasan nilai-nilai pribadi. Dengan kata lain, kedalaman emosi dalam hubungan yang lebih matang hari ini justru melebihi apa yang pernah kita rasakan di cinta pertama dahulu.
Hal ini didukung oleh penelitian tentang pola hubungan romansa (Rauer dkk., 2013). Studi tersebut menunjukkan kebanyakan orang menjalani beberapa hubungan sebelum menemukan pasangan yang tepat. Cinta pertama hanyalah satu bab dalam perjalanan panjang pencarian jodoh. Proses ini alami dan wajar, karena setiap hubungan mengajarkan pelajaran berbeda tentang diri sendiri dan apa yang kita butuhkan dari pasangan. Jadi, kehilangan cinta pertama bukanlah akhir segalanya, dan tidak seharusnya kita merindukannya apalagi menyesali perpisahannya. Justru, itu mungkin awal dari kebangkitan untuk menemukan cinta yang lebih mendewasa.
Dari perspektif filsafat eksistensialisme, klaim cinta pertama tak terlupakan justru mengingkari kebebasan manusia untuk terus becoming (kemenjadian) di mana manusia tidak memiliki esensi atau sifat yang tetap, melainkan membentuk dirinya sendiri melalui pilihan dan tindakannya untuk menciptakan makna kehidupannya sendiri. Sartre dalam Being and Nothingness (1943/1992) menegaskan bahwa esensi manusia terletak pada proyek-proyek masa depannya, bukan pada kenangan yang terpatri. Terpaku pada cinta pertama sama seperti sedang menulis ulang bab lama yang berulang-ulang, alih-alih melanjutkan cerita baru. Hal ini disebut sebagai bad faith (itikad buruk) karena mengkhianati kehidupan masa kini atas keyakinan nasib yang sudah ditentukan oleh masa lalu. Senada dengan hal itu, Nietzsche mungkin menyebut fenomena ini sebagai bagian dari monumental history yang membelenggu: dengan terus meromantisasi masa lalu, kita telah menghambat munculnya Ubermensch (menjadi manusia yang seutuhnya), karena terlalu sibuk menoleh ke belakang, bukan menciptakan masa depan.
Pada akhirnya, pernyataan yang menyebut bahwa cinta pada orang pertama tidak terlupakan mungkin lebih berfungsi sebagai romantisasi budaya romansa sebagai klaim yang menghibur (orang yang cinta pertama dan terakhirnya mampu bertahan di satu orang pertama) atau klaim yang menunjukan keputusasaan dari seseorang yang emosinya sedang tidak stabil serta sebagai bahan komersialisasiperfilm-an dan musik percintaan ketimbang kebenaran ilmiahnya itu sendiri. Realitanya, otak kita dirancang untuk beradaptasi, memori kita terus berevolusi, dan hati kita punya kapasitas luar biasa untuk merasakan berbagai jenis cinta di setiap fase kehidupan, baik yang mampu bertahan menjalin hubungan dengan cinta pertama atau yang sudah menjalin dengan beberapa orang sepanjang hidupnya.
Dengan demikian, menyadari hal ini juga akan membantu kita membebaskan diri dari tekanan budaya (berbagai konten media sosial) yang tidak realistis dalam menebar informasi, memvalidasi seseorang yang kebetulan sedang patah hati hingga menimbulkan kepercayaan semu bagi individu yang mengkonsumsinya, dan terjadilah siklus berulang (konten yang diproduksi pun lebih banyak meromantisasi masa lalu, menciptakan pesismistik terhadap hubungan romansa).
Kenangan pada cinta pertama memang mungkin masih bisa ada di sudut memori kita. Namun seiring waktu, maknanya akan berubah—entah memudar, atau bertransformasi menjadi pelajaran berharga atas pengalaman hidup. Namun, saya tidak menghakimi perasaan mereka yang masih berjibaku dengan masa lalunya, entah pada cinta pertama atau mantan kemarin sorenya. Nyatanya, semua ini adalah pilihan antara percaya pada mitos atau fakta ilmiah yang dapat mengembalikan esensi cinta dan memperbaharui kehidupan sebagaimana mestinya hari ini.
Jadi, bagi siapapun yang merindukan cinta pertama atau yang percaya pada mitos tak terlupakannya (termasuk bagi yang kesulitan melupakan mantan kemarin yang sudah kesekian kalinya), serta bagi yang sedang meragukan pasangannya. Berdasarkan temuan literatur singkat lintas disiplin, dari kajian ilmiah hingga filosofis menyimpulkan bahwa kenangan pada cinta orang pertama telah terdistorsi oleh waktu dan proses neurobiologis: fluktuasidopamin dalam sistem reward otak dan reorganisasi memori di hippocampus (pusat penyimpanan ingatan). Seperti yang dikatakan Sartre, "Kita bukanlah tawanan masa lalu." Tubuh dan pikiran kita dirancang untuk berubah sesuai kodrat alamiahnya, begitu pula cara kita mencinta.
Oleh karena itu, don't worry, be happy! Dunia romansa itu luas, dan mungkin cinta yang paling tak terlupakan justru adalah cinta yang sedang kita jalani hari ini atau esok hari, yang akan membentuk kita tumbuh jadi versi terbaik diri sendiri. Cheers to that!