Self-Love Lebih Valid dari Clubbing: Renaisans Tubuh Bugar, Mental Segar
Luthfi Ridzki Fakhrian June 17, 2025 07:00 PM
Hari ini di kota-kota besar Indonesia seperti Jakarta, Bandung, hingga Bali, tubuh seolah mengalami periode renaisans—sebuah periode kelahiran kembali yang di kenal bangsa eropa dalam sejarahnya, analogi tersebut tentu tidak berlebihan karena hari ini masyarakat kita seolah juga melami renaisans dalam artian terlahir kembali untuk mencari makna eksistensial melalui peluh dan gerak. Fenomena ini terlihat dari semakin menjamurnya komunitas lari pagi, gym, pilates, yoga, senam, padel, tenis hingga tren bersepeda malam. Dari ruang remang clubbing yang sangat sarat euforia artifisial, masyarakat urban kini mulai beralih ke ruang terbuka, studio kebugaran, atau lapangan padel untuk mencari kenikmatan yang lebih otentik dan jujur. Pergeseran ini menandai perubahan besar dalam lanskap budaya tubuh.
Dalam perspektif antropolog Victor Turner yang termuat di buku The Ritual Process: Structure and Anti-Structure (1969), gaya hidup atau ritual yang hadir selalu menjadi sebuah medium sosial untuk menegaskan nilai-nilai komunitas. Bila clubbing dahulu menjadi bentuk liminalitas yakni transisi sementara dari rutinitas, maka hari ini tubuh yang berpeluh dalam olahraga menjadi seolah menjadi gaya hidup dan ritual baru, semacam simbol dari otonomi dan kontrol atas diri sendiri. Tubuh tidak lagi dibawa pada ekstase artifisial, tapi diarahkan pada transformasi personal yang sadar.
Max Scheler dalam Formalism in Ethics and Non-Formal Ethics of Values (1916), juga menekankan bahwa nilai-nilai tidak berasal dari rasio semata, melainkan dari pengalaman konkrit. Dalam konteks ini, tubuh yang aktif dan berkeringat adalah sumber utama dari nilai itu sendiri. Olahraga hadir dan menjadi bentuk praksis dari sebuah nilai, seperti ketekunan, pengendalian diri, dan disiplin—semuanya hadir dalam setiap repetisi dan detak jantung.

Euforia Alami: Psikologi Peluh dan High yang Otentik

Merujuk pada psikologi olahraga yang diterangkan oleh John J. Ratey dalam Spark: The Revolutionary New Science of Exercise and the Brain (2008), aktivitas atau kegiatan fisik diketahui melepaskan berbagai neurotransmitter seperti endorfin, dopamin, dan serotonin. Kondisi yang disebut Runner's High, Lifter’s High hingga Pump menjadi bukti bahwa tubuh manusia memiliki kapasitas untuk memproduksi kenikmatan secara mandiri, tanpa stimulan eksternal seperti alkohol atau narkotika.
Perbedaan paling mendasar dari "High" yang didapatkan dari clubbing dengan yang muncul dari olahraga adalah keberlanjutannya. Jika euforia clubbing berujung pada kelelahan mental dan kecemasan, maka olahraga memberi efek jangka panjang berupa peningkatan harga diri, pengelolaan emosi, dan stabilitas psikologis. Sebuah studi yang oleh Lynette L. Craft dan Frank M. Perna berjudul The Benefits of Exercise for the Clinically Depressed (2004), telah menunjukkan bahwa olahraga aerobik dapat berdampak sangat signifikan terhadap pengurangan gejala depresi ringan hingga sedang.
Kita bisa menginterpretasikan ini dalam kerangka filsafat eksistensial, bahwa tubuh bukan sebatas objek pasif, tetapi ia merupakan aktor yang aktif dalam pencarian makna. Jean-Paul Sartre sendiri menyebut manusia sebagai sebuah proyek terbuka, yang bisa diterjemahkan bahwa ketika seseorang memilih untuk bangun pagi dan lari, atau selama seminggu tiga kali pergi ke gym, maka ia sedang menciptakan dirinya yang baru setiap harinya. Dengan adanya peluh secara langsung akan lahir ekspresi kehendak bebas, yang bukan sekadar dari hasil kerja otot.

Tubuh sebagai Modal: Antara Status, Jejaring, dan Gaya Hidup

Tren olahraga hari ini tidak bisa dilepaskan dari transformasi gaya hidup urban dan dinamika kelas sosial. Di Jakarta Selatan misalnya, saat menjadi anggota komunitas lari, sepeda, gym, pilates, yoga, senam, tenis atau padel mereka bukan hanya mencari kesehatan, tetapi juga tentang pencarian identitas dan jejaring. Pierre Bourdieu dalam Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (1984), menyebut hal ini sebagai sebuah modal simbolik, yang berarti bahwa gaya hidup telah menjadi sebuah tanda kebudayaan kelas dan alat untuk menegaskan status dan posisi sosial.
Komunitas olahraga kini telah menawarkan lebih dari sekadar kebugaran. Menurut James S. Coleman dalam Jurnalnya berjudul Social Capital in the Creation of Human Capital (1988), bahwa komunitas olahraga telah hadir dan menyediakan sebuah ruang untuk bertemu rekan kerja, partner bisnis, atau bahkan pasangan hidup. Bahkan dengan menjadi bagian dari komunitas ini dapat memperluas akses terhadap modal sosial. Aktivitas seperti gowes bareng, lari bareng, gym date atau padel date menjadi ajang menunjukkan stamina, konsistensi, bahkan gaya berpakaian—yang semuanya mengandung nilai jual yang sangat simbolik.
Namun, penting untuk kita tetap berpikir dan bersikap secara kritis, bahwa ketika tubuh hanya menjadi sebuah komoditas dan olahraga hanya sebatas sebuah alat yang menjadi pertunjukan, maka kita harus bertanya dan mencerna ulang, siapa yang sebenarnya secara benar-benar berdaulat atas tubuh itu? Dalam budaya digital hari ini, tentu sangat tidak jarang peluh hanya dijadikan sebatas konten, tubuh seoalah hanya menjadi etalase. Di sinilah sebenarnya letak titik ambivalensi, olahraga yang sangat tentu bisa menjadi pembebasan, tapi dilain sisi ia juga dapat dan sangat bisa menjadi tekanan sosial yang baru.

Kolaborasi dalam Gerak: Komunalitas dan Olahraga Berpasangan

Olahraga seperti padel, tenis, gym date yang dilakukan secara berpasangan hari ini dapat dilihat memiliki sebuah dimensi sosial yang unik. Dibandingkan dengan olahraga yang hanya dilakukan sendiri atau individual, karena dengan berpasangan aktivitas tersebut dapat menuntut komunikasi, koordinasi, dan empati. George Herbert Mead dalam perspektif sosiologi interaksionisme simbolik di bukunya yang berjudul Mind, Self and Society (1934), menjelaskan bahwa setiap tindakan maupun aksi yang dilakukan dalam olahraga secara berpasangan merupakan representasi nyata dari makna yang dinegosiasikan secara real time.
Di sinilah letak dari olahraga berpasangan menjadi semacam dari laboratorium sosial. Saat kita bermain padel, tenis atau gym date, seseorang belajar dalam membaca gestur, menahan ego, dan menyesuaikan setiap ritme yang ada. Setiap aktivitas yang dilakukan akan menjadi semacam dialog tubuh yang penuh akan makna dan simbol. Bahkan, konflik dan emosi yang muncul kemudian dalam aktivitas olahraga berpasangan dapat juga menjadi bagian dari pembelajaran afektif yang sangat sulit ditiru oleh interaksi pasif dan terbatas di media sosial.
Lebih jauh lagi, olahraga berpasangan dapat mencerminkan apa yang disebut Martin Buber sebagai I-Thou relationship, yakni sebuah relasi yang tidak hanya menempatkan orang lain sebagai objek, tetapi justru menempatkan orang lain tersebut yang berdiri sebagai subjek yang setara. Dalam konteks urban hari ini yang serba transaksional, ruang-ruang ini menjadi sangat langka dan tentunya sangat berharga. Aktivitas olahraga tentu bukan hanya sebatas hasil akhir, tapi juga tentang bagaimana kita hadir sepenuhnya bermakna untuk yang lain.

Ruang Kota dan Infrastruktur Peluh: Jalan, Ruang Terbuka Hijau, dan Ideologi

Kegiatan olahraga tentunya tidak akan mungkin hadir dan tumbuh tanpa adanya keberadaan sebuah ruang. Dan di sinilah peran dari dimensi politik tentang kebugaran akan muncul. Kota-kota di Indonesia yang hadirdalam mendukung gaya hidup sehat, dengan keberadaan jalur sepeda, taman terbuka hijau, dan lapangan olahraga, tentunya secara implisit dapat mendukung hadirnya demokratisasi tubuh masyarakat. Mereka yang menyediakan ruang bagi masyarakat dapat membuat masyarakat vmerayakan tubuhnya secara merdeka.
Namun, dalam kenyataannya di lapangan yang terjadi masih sangat timpang. Di banyak kota, secara fakta yang ada Ruang Terbuka Hijau masih sangat minim, polusi tinggi, dan infrastruktur olahraga lebih banyak dinikmati kelas menengah atas. Kajian oleh ITDP (Institute for Transportation and Development Policy) pada tahun 2023, telah menunjukkan bahwa hanya sekitar 12% wilayah Jakarta yang ramah bagi pesepeda, bukan hanya itu bahkan Ruang Terbuka Hijau di Jakarta menurut DLH Jakarta pada tahun 2023, baru ada sekitar 9,98%, padahal menurut UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, RTH ideal adalah 30% dari total luas wilayah, jadi hari ini Jakarta masih kurang sekitar 20,02% RTH dari target ideal 30%. Persoalan tersebut tentu bukan sekadar isu fasilitas, tapi juga persoalan tentang keadilan spasial dan hak atas tubuh yang sehat bagi seluruh masyarakat.
Dalam kerangka yang disusun oleh Michel Foucault di buku Discipline and Punish: The Birth of the Prison (1995), disebutkan bahwa tubuh ialah sebuah lokasi kekuasaan. Ketika ruang olahraga hanya bisa dan dapat diakses melalui biaya tinggi atau koneksi sosial, maka kehadiran dari tubuh yang sehat menjadi sebuah hak yang sangat istimewa. Oleh karena itu, mendorong sebuah negara dan swasta dalam menyediakan ruang olahraga inklusif, dapat hadir bukan hanya karena program kesehatan, tapi juga dari sebuah tuntutan etika sosial.

Filsafat Peluh: Autentisitas dan Otonomi dalam Budaya Tubuh

Akhirnya, kita kembali pada pertanyaan yang mendasar, yakni untuk apa kita melakukan semua ini? Mengapa seseorang haruslah bangun pukul lima pagi demi berlari, atau meluangkan waktu padatnya selama seminggu tiga kali hanya untuk pergi ke gym dan studio pilates?
Jawabannya mungkin ada pada kebutuhan mendasar setiap manusia tentang membuat dirinya merasa otentik dan menjadi dirinya sendiri. Charles Taylor dalam The Ethics of Authenticity (1991), menjelaskan secara tegas bahwa dalam dunia modern yang serba mediatik dan penuh simulasi, setiap manusia merindukan pengalaman yang nyata. Peluh adalah salah satu bentuk keaslian itu.
Tubuh yang bergerak adalah tubuh yang sadar. Ia tidak didikte algoritma ataupun impresi digital, melainkan hadir dengan merespons gravitasi, irama jantung, dan suara napasnya sendiri. Di tengah budaya yang memuja citra, tubuh atletik yang dibentuk melalui usaha menjadi simbol dari perlawanan terhadap kemalasan, konsumsi, dan instanisme.
Dengan demikian, olahraga di era urban bukan hanya soal tubuh yang sehat, tetapi juga tubuh yang sadar dan merdeka. Ia menjadi bentuk filsafat praktis "a lived ethic" yang menolak tegas kemunduran, menyambut kedewasaan, dan menegaskan kehendak untuk hidup lebih utuh.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.