Sekolah Boleh Gratis, Tapi Kenapa Masih Banyak yang Tak Bisa Belajar?
Muhammad Al Rafa June 18, 2025 07:40 PM
Setiap tahun, pemerintah menyatakan bahwa pendidikan dasar dan menengah di Indonesia gratis. Melalui skema Bantuan Operasional Sekolah (BOS), sekolah-sekolah negeri tidak lagi menarik SPP dari siswanya. Di atas kertas, ini terlihat sebagai langkah maju dalam menjamin hak warga negara atas pendidikan. Bahkan, Pasal 31 UUD 1945 dengan tegas menyebut bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Tapi realitasnya di lapangan masih jauh dari harapan.
Banyak anak-anak di daerah terpencil harus menempuh perjalanan berjam-jam hanya untuk sampai ke sekolah. Ada yang berjalan kaki puluhan kilometer, menyusuri bukit, bahkan menyeberangi sungai menggunakan rakit sederhana. Di wilayah perkotaan, kendalanya lain: keluarga miskin kesulitan membelikan seragam, sepatu, atau membayar biaya transportasi harian. Pendidikan memang tidak dipungut biaya langsung, tapi kebutuhan-kebutuhan pendukung belajar tetap harus ditanggung oleh orang tua. Bagi keluarga yang hidup pas-pasan, semua itu tetap terasa berat.
Masalah lain yang juga tidak kalah penting adalah soal kualitas pendidikan yang tidak merata. Ada sekolah-sekolah di kota yang punya fasilitas lengkap, dari laboratorium, perpustakaan digital, hingga akses internet cepat. Tapi masih banyak sekolah di desa atau daerah tertinggal yang dindingnya rapuh, atapnya bocor, dan kekurangan guru. Bahkan tidak sedikit yang masih menggabungkan tiga kelas dalam satu ruang karena keterbatasan tenaga pengajar. Dalam kondisi seperti itu, sulit untuk menyebut bahwa semua anak mendapatkan pengalaman belajar yang setara.
Polemik juga terjadi saat siswa ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Sistem seleksi seperti zonasi sering dianggap menimbulkan ketidakadilan. Siswa dengan nilai tinggi bisa tergeser hanya karena alamat rumahnya tidak sesuai dengan batas zonasi. Di tingkat perguruan tinggi, biaya kuliah juga menjadi tantangan tersendiri. Skema Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang awalnya dimaksudkan untuk menyesuaikan kemampuan ekonomi mahasiswa, dalam praktiknya sering dinilai tidak transparan. Banyak mahasiswa yang merasa golongan UKT-nya terlalu tinggi, tapi sulit mengajukan keberatan karena mekanismenya rumit dan memakan waktu.
Meski ada program beasiswa seperti KIP Kuliah atau bantuan dari daerah, tidak semua siswa atau mahasiswa bisa mengaksesnya. Sebagian tidak tahu informasi, sebagian lagi tidak lulus verifikasi karena persoalan administratif. Akibatnya, banyak anak muda yang terpaksa berhenti sekolah atau menunda kuliah karena alasan biaya, meskipun secara akademik mereka mampu.
Semua ini menunjukkan bahwa jaminan hukum soal hak atas pendidikan belum sepenuhnya terwujud dalam praktik. Pendidikan memang sudah ditetapkan sebagai hak konstitusional, tapi pelaksanaannya masih sering terganjal oleh sistem yang belum merata, kebijakan yang belum adil, dan realitas sosial ekonomi yang kompleks. Hukum bisa menjamin di atas kertas, tapi akses terhadap pendidikan yang layak masih menjadi perjuangan banyak keluarga di Indonesia.