Tambang di Simpang Jalan
Eko Prasetyo June 18, 2025 09:02 PM
Debat publik tentang pertambangan di Indonesia terus menghangat, seperti yang tergambar dalam perbincangan antara Ulil Abshar Abdalla dan Iqbal Damanik dalam sebuah tayangan televisi pada Juni 2025. Di sana tergambar dua kutub ekstrem. Satu menganggap tambang sebagai ancaman ekologis dan sosial, sementara yang lain melihatnya sebagai keniscayaan pembangunan, selama dikelola secara bertanggung jawab. Di tengah keduanya, tersisa satu pertanyaan yang tak pernah benar-benar dijawab secara jujur: benarkah tambang di Indonesia menghadirkan kemaslahatan?
Secara naratif, tambang diklaim sebagai jalan menuju kemajuan, menciptakan lapangan kerja, mendukung transisi energi bersih, serta mendatangkan devisa. Namun ironi muncul ketika kita menengok realitas di lapangan. Kasus nikel di Raja Ampat, misalnya, menunjukkan bagaimana tambang justru menjadi sumber deforestasi dan kerusakan ekosistem di wilayah dengan keanekaragaman hayati tertinggi dunia demi memproduksi baterai kendaraan listrik yang disebut “ramah lingkungan”.
Lebih jauh lagi, data dari studi CELIOS dan Greenpeace yang berjudul “Kesejahteraan Semu di Sektor Ekstraktif” menunjukkan bahwa desa-desa tambang justru lebih tertinggal daripada desa non-tambang dalam berbagai aspek. Minimnya fasilitas pendidikan, akses layanan kesehatan yang terbatas, hingga tingginya frekuensi bencana banjir adalah gambaran ketimpangan yang nyata. Ketika warga yang hidup di atas emas dan nikel justru menderita secara struktural, maka janji tambang sebagai mesin kesejahteraan patut dipertanyakan.
Konflik agraria, penggusuran, kriminalisasi warga, dan kerusakan ekologis telah menjadi pola yang berulang di kawasan pertambangan. Maka, bukan hanya tambang yang harus diuji, tetapi juga sistem yang menopangnya: dari distribusi manfaat hingga model pengelolaan yang memberi karpet merah pada modal, tetapi meninggalkan rakyat di ruang tunggu penderitaan.

Penjaga Amanah ke Pelayan Kekuasaan?

Konstitusi Indonesia dengan tegas menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun dalam praktiknya, negara kerap hanya berperan sebagai fasilitator kepentingan investasi, bukan penjaga kepentingan rakyat. Model pengelolaan tambang yang tidak transparan, sentralistik, dan minim partisipasi publik mencerminkan deviasi serius dari semangat Pasal 33 UUD 1945.
Warga yang mempertahankan tanah leluhurnya kerap dianggap pengganggu pembangunan. Mereka dikriminalisasi dengan pasal-pasal karet, seolah bertahan hidup di tanah sendiri adalah tindakan melawan hukum. Sementara itu, proses konsultasi publik acapkali hanya menjadi formalitas administratif.
Simbol keterpurukan hukum ini terlihat dari praktik simbiosis mutualistik antara pengusaha dan penguasa. Dalam struktur kekuasaan yang timpang, hukum menjadi alat pelanggeng kepentingan elite. Tumpul ke atas, tajam ke bawah—demikian hukum bekerja dalam banyak kasus tambang bermasalah di Papua, Kalimantan, dan Sulawesi. Jika hukum hanya menjadi alat legitimasi bagi perampasan ruang hidup rakyat, maka kita tengah menghadapi krisis keadilan ekologis dan sosial sekaligus.
Dalam kerangka keagamaan, kisah Nabi Muhammad SAW yang mencabut kembali pemberian tambang garam kepada Abyad bin Hammal menjadi cermin penting. Rasulullah mengoreksi pemberian itu setelah diberi tahu bahwa yang diberikan adalah sumber daya strategis yang menyerupai "air yang mengalir". Ini mengajarkan bahwa pengelolaan sumber daya tidak bisa dilakukan secara serampangan. Ada tanggung jawab besar yang melekat pada setiap keputusan atas tanah dan sumber daya alam.
Lebih lanjut, dalam sidang Mahkamah Konstitusi, M. Arif Budimanta menekankan pentingnya nilai-nilai Al-Maun (keberpihakan pada kelompok tertindas), Al-Ashr (merespon waktu untuk memberikan solusi secara rasional dan berkemajuan yang diwujudkan dengan gerakan nyata, bukan gerakan yang retorika), dan Ta’awun (kemampuan kerja sama gotong-royong dalam memberikan kebaikan) sebagai fondasi etis dalam kebijakan sumber daya alam. Semua nilai ini berpijak pada keberpihakan kepada kaum tertindas, respons rasional dan berkemajuan terhadap waktu, serta gotong-royong dalam membangun maslahat bersama.

Bukan Soal Izin, Tapi Soal Etika dan Keadilan

Konsep maslahat dalam tradisi Islam menekankan kebermanfaatan yang nyata, merata, dan berkelanjutan. Maslahat tidak dapat diklaim hanya karena tambang menghasilkan pendapatan negara. Maslahat harus dirasakan oleh rakyat secara langsung, dan tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada manfaatnya.
Namun, realitas saat ini menunjukkan bahwa prinsip maslahat lebih sering dikorbankan atas nama pertumbuhan ekonomi. Ketika tambang merusak hutan, mencemari sungai, dan merampas tanah adat, maka yang muncul bukan maslahat, melainkan mudarat.
Tidak ada tambang besar yang sepenuhnya bersih. Bahkan di negara-negara maju dengan regulasi ketat, tambang tetap meninggalkan jejak karbon dan limbah beracun. Maka ketika muncul pertanyaan: “Apakah tambang itu pasti jahat?”, publik sebaiknya balik bertanya: “Apakah pernah ada tambang yang sepenuhnya maslahat?”
Namun ini bukan ajakan untuk menolak tambang secara total. Energi dan logam adalah kebutuhan peradaban. Tetapi pengelolaannya harus dibingkai dalam etika keberlanjutan dan keadilan. Reformasi tata kelola diperlukan secara menyeluruh: izin yang partisipatif, audit lingkungan yang jujur, perlindungan masyarakat adat, hingga distribusi manfaat yang adil.
Kita harus menyusun ulang narasi tambang. Tidak cukup hanya berbicara tentang nilai ekspor atau angka investasi. Harus ada indikator baru: kesejahteraan warga sekitar, kualitas lingkungan, dan keberlangsungan hidup generasi mendatang. Pertanyaan kunci yang perlu terus digaungkan adalah: maslahat bagi siapa?
Kemaslahatan sejati tidak dibangun di atas penderitaan warga dan kehancuran ekosistem. Ia tumbuh dari sistem yang adil, ekologis, dan berpihak pada masa depan. Maka sebelum negara membuka izin tambang baru, seharusnya ia menjawab satu hal dengan jujur—bukan maslahat untuk pasar, bukan maslahat untuk elite, tapi maslahat untuk rakyat dan bumi Indonesia.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.