Triliunan Kembali, UU Perampasan Aset Entah Kemana?
maximus conterius June 19, 2025 02:30 AM

Oleh: Ferlansius Pangalila
Forum Masyarakat Peduli Aset Negara (Formapan)

NILAI Rp 11,8 triliun bukan angka yang kecil, boleh jadi ini adalah jumlah terbesar yang dikembalikan ke negara dari perkara korupsi. Walau angka ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan potensi kerugian negara akibat korupsi dalam kasus Pertamina awal tahun 2025 sebesar Rp 193,7 triliun dan kasus PT Timah tahun 2024 sebesar Rp 300 triliun. Meski demikian nilai yang dikembalikan oleh Grup Wilar ini boleh dianggap sebagai kemenangan negara dalam melawan korupsi atau hanya sebagai ilusi keberhasilan?
 
Uang Kembali, Keadilan Kemana?

Sekilas adalah kemenangan, masyarakat boleh senang dulu, namun menimbulkan pertanyaan fundamental terkait keadilan substansial yang merupakan tujuan penegakan hukum. Hal ini bisa menjadi preseden buruk, bahwa kejahatan korupsi oleh korporasi dapat ditebus dengan uang kapan saja, tanpa pertanggungjawaban hukum. Keadilan bukan sekadar soal uang kembali. Ia adalah proses memastikan siapa pun yang melanggar hukum harus bertanggung jawab.

Kecurigaan muncul ketika sebelumnya kasus ini diputus onslag oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang belakangan diduga menerima suap sebesar Rp60 miliar. Dan masih dalam tahap kasasi di Mahkamah Agung, karena jaksa menuntut agar korporasi mengembalikan kerugian negara, meski terdakwa lepas dari ancaman pidana. 
 
Ironisnya, meski masih menunggu putusan kasasi, tiba-tiba Grup Wilmar mengembalikan uang sebesar Rp 11,8 triliun tersebut. Apakah boleh negara menerima pengembalian kerugian negara dari pihak yang belum inkracht dinyatakan bersalah? Atau ini hanya sebagai strategi untuk melunakkan proses hukum yang sementara berjalan, bertujuan mengubah keadilan sebagai komodifikasi yang dapat dinegosiasi?
 
Jika koruptor cukup mengembalikan kerugian dan kemudian lepas dari jerat pemidanaan, lantas apa artinya legitimasi hukum pidana? Hukum pidana kehilangan daya korektifnya, negara justru dilemahkan terhadap kejahatan korporasi karena terlalu banyak drama dan kompromi. 

Keterlibatan Grup Wilmar, Permata Hijau dan Musim Mas merupakan korupsi yang dilakukan oleh korporasi, memang bukan perkara pidana sederhana. Selalu melibatkan jaringan yang rumit, relasi kuasa dan ruang negosiasi yang tidak ditemukan pada pelaku kejahatan biasa. Di Indonesia, pertanggungjawaban pidana korporasi masih sulit diterapkan untuk korporasi besar. Individu sering dikorbankan, sementara struktur korporasi tetap utuh tak tergoyahkan. Tidak ada efek jera. Dalam hal ini, uang dikembalikan tapi aktor intelektual (struktur korporasi) tetap aman dari jerat pidana.

Direktur Penuntutan Kejaksaan Agung Sutikno (tengah) bersama Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar (kedua kiri), Kepala Pusat penerangan Hukum (Kapuspenkum) Harli Siregar (ketiga kiri) dan sejumlah pejabat terkait menunjukkan barang bukti uang sitaan saat konferensi pers kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO) di Gedung Bundar Jampidus Kejaksaaan Agung (Kejagung), Jakarta, Selasa (17/6/2025). Kejagung menyita Rp11,8 triliun lebih yang merupakan penyerahan dari lima terdakwa korporasi dalam Wilmar Group terkait kasus korupsi ekspor CPO.
Direktur Penuntutan Kejaksaan Agung Sutikno (tengah) bersama Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar (kedua kiri), Kepala Pusat penerangan Hukum (Kapuspenkum) Harli Siregar (ketiga kiri) dan sejumlah pejabat terkait menunjukkan barang bukti uang sitaan saat konferensi pers kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO) di Gedung Bundar Jampidus Kejaksaaan Agung (Kejagung), Jakarta, Selasa (17/6/2025). Kejagung menyita Rp11,8 triliun lebih yang merupakan penyerahan dari lima terdakwa korporasi dalam Wilmar Group terkait kasus korupsi ekspor CPO. (Tribunnews/Jeprima)

Urgensi UU Perampasan Aset

Kisah pengembalian uang kerugian negara akibat korupsi oleh Grup Wilmar, mesti menjadi momentum untuk mendesak pengesahan Undang-Undang Perampasan Aset. UU ini sudah terlalu lama sebagai rancangan/draft, masuk keluar dari daftar prioritas di DPR RI, padahal UU ini sangat penting untuk memungkinkan negara merampas aset hasil kejahatan tanpa harus menunggu vonis pidana.
 
Banyak contoh pelaku kelas kakap kerap melarikan diri, mengulur proses hukum, bahkan memanipulasi sistem hukum, akibatnya aset yang diperoleh secara melawan hukum tetap berada dalam kekuasaan mereka, dinikmati dan bahkan diwariskan ke orang-orang terdekatnya. Ironisnya, jika pun ada yang dipidana, dari balik jeruji, mereka masih bisa mengatur keuangan, mengendalikan bisnis, atau bahkan membiayai politik dalam berbagai pesta demokrasi. 

Padahal, negara dapat menyita harta hasil korupsi tanpa menunggu vonis pidana, asal bisa dibuktikan bahwa harta itu didapat secara tidak sah, dengan menggunakan mekanisme non-conviction based asset forfeiture. Fokus utamanya adalah pada karakteristik aset itu sendiri, bukan pada perbuatan pidana seseorang.
 
Perampasan aset ini bukan pelanggaran HAM atau balas dendam politik sebagaimana yang sering terdengar pada aksi penolakan pengesahan UU ini. Justru perampasan aset merupakan bentuk keadilan restoratif dan korektif, yang mana hak masyarakat dipulihkan dari kerugian struktural akibat kejahatan ekonomi. 

Tanpa UU Perampasan Aset ini, keadilan tidak pernah tercapai, selalu tersandera proses hukum pidana yang panjang dan rawan intervensi dan potensi korupsi berulang (contoh suap hakim). Jika menunggu vonis pidana, negara hanya meminta, bukan merampas. Bahkan ketika uang dikembalikan seperti kasus di atas, status hukumnya tetap samar tidak jelas, tidak memiliki kekuatan hukum tetap, terkesan suka rela, ganti rugi, atau justru tawar menawar alias barter hukum secara diam-diam. Tanpa UU Perampasan Aset ini, pengembalian tersebut bisa direvisi dan dimanipulasi. 

Jika korporasi bisa menghindari sanksi pidana dengan cukup membayar kerugian, maka kejahatan kerah putih akan terus berulang. Pelakunya orang terpelajar yang tahu persis bahwa sistem hukum bisa dinegosiasi, asal punya uang. Maka hukum pun kehilangan wibawa.

Urgensi pengesahan UU Perampasan Aset adalah soal kedaulatan hukum. UU ini bukan sekadar alat penyitaan, melainkan pilar untuk memastikan bahwa hukum tidak kalah oleh uang. Bahwa negara hadir bukan hanya untuk menagih, tapi juga untuk menegakkan keadilan.

Triliunan sudah kembali. Tapi tanpa UU Perampasan Aset, kita hanya menyelesaikan gejala, bukan akar masalah dari penegakan hukum akibat Korupsi. Dan keadilan, sekali lagi, entah ke mana? (*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.