Solusi Sampah Berbasis Rakyat
GH News June 20, 2025 01:05 PM

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Di satu sudut desa, seorang ibu rumah tangga memungut sisa plastik dari halaman depan rumahnya-bukan karena ia tak punya pekerjaan lain, tetapi karena tumpukan sampah dari kota tak kunjung diangkut. Pemandangan ini bukan fiksi. Ia nyata. Dan ia terjadi di Kabupaten Tangerang hari ini. 

Bagi masyarakat pedesaan, terutama perempuan, sampah bukan hanya masalah lingkungan. Ia adalah simbol dari sistem yang abai, dari kebijakan yang tidak menyentuh pinggiran, dan dari pembangunan yang tak menjangkau semua warga secara adil.

Dalam lanskap pembangunan daerah, persoalan sampah kerap dipandang sebagai urusan teknis, terbatas di lingkup Dinas Lingkungan Hidup dan petugas kebersihan. Padahal, jika ditelisik lebih dalam, krisis pengelolaan sampah adalah krisis tata kelola, krisis keadilan ekologis, dan yang sering dilupakan, krisis kesetaraan gender. 

Di desa-desa Kabupaten Tangerang, saya menyaksikan sendiri bagaimana perempuan menjadi garda terdepan dalam mengelola limbah rumah tangga, memilah sampah, bahkan memulung sebagai bagian dari usaha bertahan hidup. Namun, kerja mereka masih tak terlihat, tak diakui sebagai kekuatan dalam sistem yang ingin dibangun.

Karena itu, ketika Pemerintah Kabupaten Tangerang mulai menaruh perhatian serius terhadap isu ini, di antaranya dengan mengaktifkan 16 TPS 3R dan memproyeksikan target zero waste pada 2029 bagi saya ini adalah langkah progresif yang patut diapresiasi. 

Upaya ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak hanya bersikap reaktif atas penutupan TPA Jatiwaringin, tetapi mulai membangun model pengelolaan yang berbasis pengurangan, pemanfaatan kembali, dan daur ulang. 

Arahan agar seluruh perangkat daerah, ASN, hingga camat bersinergi dalam gerakan kebersihan wilayah menjadi indikasi bahwa masalah ini kini dianggap lintas sektoral, bukan urusan satu dinas semata.

Namun sebagaimana banyak agenda pembangunan lainnya, niat baik pemerintah akan rentan stagnasi jika tidak diperkuat oleh keberanian politik dan partisipasi masyarakat yang bermakna.

Penulis mencatat satu pernyataan penting dari Ustur Ubadi, anggota DPRD Kabupaten Tangerang dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa yang menyebut kondisi persampahan sebagai “darurat” dan mendorong penguatan sistem seperti sanitary landfill dan pengelolaan yang berbasis edukasi. 

Di tengah banyaknya suara elite yang diam atau cenderung normatif, pernyataan ini menjadi highlight penting. Bukan hanya karena keberaniannya, tetapi karena ia memberi penegasan bahwa persoalan sampah bukan soal teknis semata, melainkan soal martabat tata kelola.

Untuk memastikan agenda ini tidak sebatas slogan, Pemerintah Kabupaten Tangerang perlu segera mengambil langkah-langkah strategis dan terukur: mulai dari mengalokasikan anggaran khusus untuk pelatihan kader lingkungan di tingkat desa.

Mendorong tumbuhnya bank sampah berbasis insentif ekonomi bagi perempuan dan pemuda, hingga memperluas kemitraan dengan komunitas lokal dan pesantren dalam kampanye pengurangan sampah berbasis agama dan kearifan lokal.

Peta jalan menuju zero waste akan lebih realistis jika dibangun dari bawah, dari desa-desa yang selama ini telah melakukannya secara informal.

Sebagai inspirasi, Kabupaten Banyumas di Jawa Tengah telah membuktikan bahwa pengelolaan sampah berbasis masyarakat bisa bekerja. Melalui program Sedekah Sampah, pembentukan TPST berbasis desa, dan sistem insentif komunitas, Banyumas mampu menekan beban TPA sekaligus memberdayakan perempuan sebagai pelaku utama perubahan. 

Sistem ini tidak hanya menata ulang cara kita memperlakukan limbah, tetapi juga membalikkan logika: bahwa masyarakat bukan objek kebijakan, tetapi penggerak solusi.

Sampah adalah cermin dari cara kita memperlakukan bumi dan sesama. Jika ingin membangun Kabupaten Tangerang yang benar-benar gemilang, maka langkahnya bukan sekadar menyapu bersih permukaan, tetapi mengubah paradigma sampai ke akarnya dengan rakyat desa sebagai titik tolak, dan keadilan ekologis sebagai cita-cita bersama.

***

*) Oleh : Raden Siska Marini, Aktivis Pengarustamaan Gender dan Pembangunan Pedesaan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

___________
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.