Sekolah Ada, Guru Tidak Ada: Krisis Tenaga Pendidik di Pelosok Indonesia
Muhammad Lodhi Firmansyah June 21, 2025 12:40 PM
Kekurangan guru di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) bukan hal baru. Masalah ini terus berulang meskipun bangunan sekolah terus dibangun. Guru-guru ASN lebih banyak terkonsentrasi di kota-kota besar, sementara di pelosok, sekolah-sekolah kerap hanya memiliki satu atau dua guru saja untuk semua mata pelajaran.
Berikut ini adalah tiga alasan utama mengapa krisis guru di pelosok Indonesia terus terjadi dan diabaikan:
1. Akses Sulit, Fasilitas Minim
Banyak bukan karena kurang semangat, tapi karena realitas di lapangan jauh dari kata manusiawi. Untuk menjangkau sekolah, tak jarang mereka harus berjalan kaki berjam-jam, menyeberang sungai, atau melewati hutan tanpa akses kendaraan. Bahkan ada desa yang tidak memiliki sinyal telepon, apalagi listrik atau air bersih. Guru bukan sekadar datang untuk mengajar, mereka juga harus bertahan hidup dalam kondisi ekstrem. Ketika akses menuju sekolah seperti medan tempur, wajar jika hanya sedikit yang sanggup bertahan.
2. Insentif Rendah, Pembayaran Tak Pasti
Jika mengabdi di pelosok dianggap sebagai bentuk pengorbanan, maka idealnya negara memberikan penghargaan yang setimpal. Namun kenyataannya, banyak guru honorer di daerah terpencil hanya menerima bayaran sekitar dengan jangka waktu yang tidak menentu. Jumlah yang bahkan tak cukup untuk kebutuhan pokok. Lebih buruk lagi, gaji itu sering terlambat, bisa sampai berbulan-bulan. Bayangkan, seseorang harus mengajar seluruh mata pelajaran dari pagi hingga siang, lalu menanam singkong atau berdagang kecil-kecilan untuk bertahan hidup. Mereka tidak hanya bekerja dengan upah rendah, tapi juga hidup dalam ketidakpastian. Sulit berharap pada sistem yang bahkan tidak mampu memastikan kapan seorang guru bisa membeli beras berikutnya.
3. Status Kerja yang Menggantung
Bertahun-tahun mengajar tanpa kejelasan status adalah kenyataan pahit bagi banyak guru honorer di pelosok. Mereka mengabdi dalam diam, berharap pada janji-janji pengangkatan yang kadang datang, kadang hilang. Setiap tahun hanya menjadi angka dalam statistik, tanpa tahu kapan statusnya akan berubah. Tidak ada jaminan karier, tidak ada kepastian masa depan. Sementara di kota-kota besar, guru ASN dengan tunjangan lengkap berkumpul, para pengajar di pelosok justru menjadi “penjaga sekolah” yang terus berharap akan diangkat menjadi pegawai tetap. Sistem ini tidak hanya tidak adil, tapi juga menyakitkan. Karena di tengah semangat untuk mencerdaskan bangsa, mereka justru dipaksa bertahan dalam kabut ketidakpastian.
Penutup
Krisis guru di daerah 3T bukan hanya soal jumlah, tapi soal keadilan. Kita tidak kekurangan orang-orang hebat yang ingin mengajar, tapi kita kekurangan sistem yang mendukung mereka untuk bertahan. Jika ingin pendidikan merata, maka kebijakan harus menjangkau hingga titik terjauh negeri ini. Karena pendidikan yang baik bukan hanya soal gedung sekolah yang berdiri, tapi soal siapa yang berdiri di depan kelas.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.