Bayang-bayang Senja Pak Darto
Syarif Yunus June 21, 2025 06:40 PM
Usia 35: Sibuk Mengejar Hari Ini
Namanya Darto, 35 tahun, pegawai swasta di sebuah perusahaan distribusi alat rumah tangga di Jakarta. Setiap pagi ia naik motor ke kantor, mengurus pengiriman, mengejar target, dan pulang dengan rasa lelah yang ia anggap “lumrah.” Ia tak sempat berpikir jauh, terutama soal masa pensiun.
Tabungannya tidak banyak. Penghasilannya habis untuk cicilan rumah subsidi, uang sekolah dua anak, dan kadang membantu orang tua di kampung. Investasi? Belum. Dana pensiun? Belum sempat.
“Masih lama pensiun. Nanti saja,” begitu katanya setiap kali teman kantor membahas DPLK.
Ia sempat ditawari ikut program pensiun mandiri oleh HR, tapi ia tolak halus. “Duit segini aja pas-pasan, gimana mau nyisihin?” pikirnya. Begitulah Darto menjalani hari-harinya di usia produktif. Bekerja tekun, gajinya untuk berbegai keperluan. Tapi sayang, tidak siap untuk berhenti bekerja atau pensiun.
Usia 50: Dunia Bergerak, Darto Tertinggal
Lima belas tahun berlalu sudah. Kini usia Darto 50 tahun. Rambutnya mulai memutih. Jabatan tidak naik, karena kantor mulai lebih memilih anak muda lulusan baru yang bisa kerja dua kali lebih cepat dengan gaji lebih murah. Darto pegawai senior dan tetap melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya.
Anak pertamanya kuliah di luar kota. Darto terpaksa ambil kredit lagi, untuk biaya kuliah anaknya. Sementara cicilan rumah belum lunas karena sempat ambil top-up pinjaman. Utang koperasi kantor pun selalu memotong gaji yang diterimanya. Tabungan darurat nihil, selalu terkuras setiap hari raya lebaran. Dunia bergerak begitu cepat, tapi Darto tetap tertinggal urusan tabungan hari tua.
Di grup WhatsApp alumni, ramai dibahas soal iuran pensiun, DPLK, dan persiapan purnakarya. Darto hanya diam. Ia tidak tahu harus mulai dari mana. Rasanya seperti ketinggalan kereta terakhir. Tidak ada yang bisa dilakukan untuk masa pensiunnya. Entah, mau gimana soal hari tua?
Usia 63: Waktu yang Tidak Bisa Diulang
Darto pensiun di usia 58 setelah kantornya merger dan ia mendapat PHK dengan pesangon seadanya. Lima tahun berlalu. Kini ia tinggal di rumah yang sudah tua, hanya bersama istrinya. Anak-anak sudah berkeluarga, sibuk dengan hidup masing-masing. Bahkan kondisi ekonomi anaknya pun tidak bisa membantunya setiap bulan. Hanya alakadarnya saja.
Di hari tuanya, Darto tidak punya penghasilan tetap. Sebagai pensiunan pegawasi swasta pun tidak ada uang pensiun. Uang pesangon saat di PHK sudah habis di tahun ketiga. Kini, Darto kadang membantu tetangga jadi tukang antar galon atau bantu istri bikin kue. Tapi usia tidak lagi sekuat dulu. Mata mulai kabur. Kaki sering nyeri. Fisiknya terlalu cepat lelah di hari tua.
Suatu sore, ia duduk di teras, menatap langit jingga. Di tangannya ada surat dari temannya dulu, Pak Rudi, yang kini hidup tenang dengan pensiun rutin dari DPLK. Setiap bulan, Rudi mengirim kabar dari tempat wisatanya di Yogya, atau dari rumah cucunya. Pak Rudi, hidupnyaman dan tenang di hari tuanya, berbeda dengan Darto yang akhirnya merana di masa pensiunnya.
Darto tersenyum getir. Bukan karena iri, tapi karena menyesal. Ia tahu, bukan gaji yang membuatnya tidak punya dana pensiun. Tapi keputusannya untuk menunda punya dana pensiun. Darto menyesal di hari tua.. Bekerja rajin selagi muda tapi harus dibayar mahal dengan nestapa di masa pensian.. “Apa artinya bekerja bila tidak siapkan masa pensiun sendiri” ujar batinnya menyesali.
Catatan Senja
Di sebuah buku tulis usang, Darto pun menulis: “Kalau kau masih muda, sisihkan untuk dirimu yang bakal tua. Karena nanti, kamu akan ingin membalas semua kerja kerasmu hari ini.
Tapi waktu tidak bisa ditukar, hanya bisa disesali. Siapkan masa pensiunmu sendiri”
----
Makna Cerita
Cerita tentang Darto, seorang pekerja usia 35 tahun yang belum memiliki dana pensiun menjadi represetnasi yang mewakili kebanyakan pekerja. Kisah yang menyentuh kehidupan masa tuanya akibat mengabaikan Keputusan penting di usia produktif. Cerita ini menggambarkan kenyataan banyak pekerja usia 30–40-an yang merasa “belum sempat” menyiapkan pensiun. Tidak adanya dana pensiun bukan hanya berdampak finansial, tapi juga emosional karena merasa menjadi beban atau tertinggal. Maka pesan moralnya: sedikit demi sedikit lebih baik daripada tidak sama sekali untuk siapkan hari tua. Dana pensiun bukan untuk hari ini, tapi untuk kita nanti setelah tidak bekerja lagi. Salam #YukSiapkanPensiun #CerpenPensiunan #DPLKSAM
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.