TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pernyataan Ketua Komisi III DPR Habiburokhman yang menganggap Mahkamah Konstitusi (MK) seringkali membatalkan produk legislasi DPR (Kompas, 17/6/2025) mencerminkan sebuah masalah fundamental dalam pemahaman arsitektur ketatanegaraan Indonesia.
Pernyataan itu menjadi bentuk ketidakpahaman terhadap mekanisme check and balances dalam sistem negara demokratis.
Keluhan tersebut tidak saja menunjukkan resistensi terhadap fungsi konstitusional MK, tetapi juga mengindikasikan adanya "kutukan legislasi", suatu kondisi di mana lembaga legislatif merasa risau dengan peran pengawas konstitusional, bukannya memperbaiki kualitas produk hukumnya.
Dalam paham konstitusionalisme modern, sistem pemisahan kekuasaan (separation of powers) yang dikembangkan John Locke dan Montesquieu tidak dimaksudkan untuk menciptakan supremasi satu cabang kekuasaan atas yang lain, melainkan untuk memastikan setiap cabang kekuasaan dapat saling mengawasi dan membatasi (checks and balances).
MK sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman, memiliki fungsi konstitusional untuk memastikan produk undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi. Keberadaan MK bukan sebagai lawan politik, tetapi sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution).
Secara historis, embrio gagasan pendirian MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman didorong banyaknya produk legislasi yang bermasalah, namun tidak tersedia mekanisme formal untuk mengoreksi konstitusionalitasnya.
Sejarah ketatanegaraan Indonesia sebelum reformasi memperlihatkan bagaimana produk legislasi dapat menjadi instrumen otoriter tanpa ada mekanisme koreksi yang efektif.
Untuk itu, Amendemen Ketiga UUD 1945 menghadirkan MK sebagai respons terhadap kebutuhan akan lembaga yang dapat melakukan judicial review terhadap undang-undang. Tujuannya memastikan bahwa produk legislasi tidak bertentangan dengan konstitusi.
Hal yang begitu tampak dari pernyataan Habiburokhman adalah pandangan ia dalam menempatkan lembaga kekuasaan negara dalam relasi konfrontatif yang seolah-olah tidak sehat. MK dipandang sebagai ancaman terhadap keberlakuan undang-undang yang telah dibahas berbulan-bulan di DPR.
Paradigma ini mencerminkan pemahaman yang keliru tentang fungsi lembaga negara dalam sistem demokrasi konstitusional. Dalam konsep ketatanegaraan, hubungan antara lembaga legislatif dan yudikatif bukanlah hubungan zero-sum game, di mana keberhasilan satu lembaga berarti kegagalan lembaga lain.
Padahal, hubungan pembentuk undang-undang (positive legislature) dan MK (negative legislature) merupakan relasi komplementer yang keberadaannya bertujuan untuk menjaga supremasi konstitusi.
Kasus kontroversial yang tampak mengilustrasikan hal tersebut adalah wacana RUU Pilkada yang dilakukan dalam waktu kurang kurang sehari usai MK mengubah syarat pencalonan pilkada melalui putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024.
Faktanya, DPR tidak mengakomodasi keseluruhan substansi dari kedua putusan tersebut. Meskipun wacana revisi tersebut gagal, fenomena ini memperlihatkan bagaimana DPR cenderung memperlakukan putusan MK sebagai hambatan, bukan sebagai panduan konstitusional yang harus dipatuhi.
Sikap ini mencerminkan mentalitas legislative supremacy yang tidak sejalan dengan prinsip konstitusionalisme modern dan sistem ketatanegaraan yang telah dibangun di Indonesia.
Hal ini tentunya menjadi kutukan legislasi yang menimpa DPR saat ini. Kutukan ini bukanlah akibat dari fungsi konstitusionalitas MK, melainkan refleksi dari persoalan legislasi belakangan.
Data menunjukkan bahwa sebagian besar undang-undang yang dibatalkan MK memiliki kelemahan mendasar sebagai pasal krusial yang bertentangan dengan konstitusi, ketidakjelasan rumusan norma, atau bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Dalam paradigma legislasi modern, sebuah undang-undang yang baik setidak-tidaknya harus memenuhi tiga kriteria; validitas formal (dibuat sesuai prosedur), validitas material (tidak bertentangan dengan norma yang lebih tinggi), dan efektivitas sosial (sesuai kebutuhan masyarakat).
Masalah kualitas legislasi saat ini tidak terlepas dari faktor-faktor sistemik seperti dominasi kepentingan politik jangka pendek dalam proses legislasi, lemahnya kajian akademik dan nirpartisipasi dalam penyusunan undang-undang.
Fenomena political business cycle dalam legislasi yang merumuskan produk hukum berdasarkan pertimbangan politik alih-alih pada kebutuhan substansial, menjadi masalah pokok pada rendahnya kualitas undang-undang yang dihasilkan.
Hal itu tampak sekali dengan pengesahan 3 (tiga) produk undang-undang 2025 yang jadu dari proses pembentukan yang baik, di antaranya UU 1/2025 tentang Perubahan Ketiga UU BUMN, UU 2/2025 tentang Perubahan Keempat UU Minerba, dan UU 3/2025 tentang Perubahan UU TNI.
Dari tiga produk UU yang telah diundangkan, UU BUMN dan UU TNI masih digantungkan nasib keberlakuannya di MK. Dua UU tersebut diuji secara formil karena diduga proses pembentukannya nirpartisipasi dan tergesa-gesa.
Untuk keluar dari kutukan legislasi, pembentuk undang-undang perlu melakukan transformasi mendasar dalam pendekatan legislasinya.
Pertama, perlu ada perubahan mindset dari legislative supremacy menuju constitutional democracy, di mana supremasi konstitusi diakui sebagai prinsip tertinggi.
Kedua, menjadikan kerja legislasi sebagai kerja kolektif (collective system) antara Pemerintah, DPR, dan warga negara. Selama ini ruang partisipasi masyarakat bersifat eksklusif. Terbukti dengan pelibatan formal yang kehadirannya terbatas kepada “undangan” sebagai pihak-pihak yang berkepentingan saja.
Padahal, partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang merupakan hak setiap warga negara yang dijamin langsung oleh undang-undang. Hal itu jelas diatur secara eksplisit melalui Pasal 96 ayat (1) dan ayat (3) UU 13/2022 dan peraturan derivatif lainnya.
Lebih mendesak lagi, DPR perlu mengembangkan budaya legislative quality yang mengutamakan pada substansi persoalan. Prinsip due process of law-making yang mengedepankan pendekatan empiris, konsultasi publik yang bermakna, dan kajian akademik mendalam harus menjadi standar dalam setiap proses legislasi.
Dengan demikian, MK tidak lagi dipandang sebagai "pembatal" produk legislasi, melainkan sebagai partner dalam menjaga kualitas konstitusional sistem hukum nasional.
Pada akhirnya, pernyataan Habiburokhman mencerminkan krisis legislasi di Indonesia. pernyataan yang menunjukkan kuatnya mentalitas kekuasaan yang enggan diawasi dan dikritik.
Dalam demokrasi yang matang, kritik dan pengawasan termasuk dari MK seharusnya dipandang sebagai mekanisme perbaikan. Hanya dengan mengubah paradigma inilah DPR dapat keluar dari kutukan legislasi dan menjalankan fungsi legislasinya secara optimal.
***
*) Oleh: A. Fahrur Rozi, Pegiat Demokrasi dan Konstitusi.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi TIMES Indonesia.
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.