B50, Solusi Energi Ramah Lingkungan atau Ancaman Bagi Ketahanan Pangan?
M Dwi Rizqi June 21, 2025 08:40 PM
Di tengah tantangan global seperti krisis iklim, lonjakan harga energi fosil, dan tuntutan transisi energi yang adil, Indonesia mengambil langkah besar dengan memperluas penggunaan biodiesel berbasis kelapa sawit hingga kadar pencampuran 50 persen, atau yang dikenal dengan B50. Kebijakan ini bukan tanpa alasan. Berdasarkan data Kementerian ESDM, program B30 pada 2023 berhasil menghemat devisa hingga USD 4,54 miliar dan menurunkan emisi karbon sekitar 25 juta ton CO₂ ekuivalen. Dengan demikian, percepatan menuju B50 menjadi bagian dari strategi kemandirian energi nasional sekaligus penguatan industri domestik berbasis sumber daya terbarukan.
Peluang Ekonomi dan Sosial dari B50
Peningkatan konsumsi biodiesel sawit membuka peluang besar bagi jutaan pelaku usaha dan petani kelapa sawit di Indonesia. Lebih dari 17 juta orang bergantung hidup pada sektor ini, termasuk petani kecil yang kini menikmati harga tandan buah segar (TBS) lebih stabil. Melalui program kemitraan dan koperasi, petani kecil berpeluang masuk ke rantai pasok energi yang sebelumnya didominasi korporasi besar. Hal ini mendorong hilirisasi komoditas dan pemerataan ekonomi ke daerah-daerah sentra sawit seperti Riau, Kalimantan Barat, dan Sumatera Selatan. Dalam jangka panjang, B50 diyakini dapat mengurangi ketergantungan impor solar dan memperkuat cadangan energi domestik.
Ancaman terhadap Lingkungan dan Ketahanan Pangan
Namun, keberhasilan B50 tidak bisa hanya diukur dari angka ekonomi. Permintaan CPO yang meningkat drastis diperkirakan membutuhkan tambahan sekitar 3 juta ton per tahun jika B50 diterapkan secara nasional. Hal ini berpotensi memperparah alih fungsi lahan, mempersempit lahan pangan, dan memperluas perkebunan sawit ke kawasan bernilai konservasi tinggi. Data Forest Watch Indonesia mencatat hilangnya lebih dari 1,3 juta hektare hutan alam antara 2017-2021, sebagian besar akibat ekspansi perkebunan sawit.
Dampak ekologis dari deforestasi ini sangat serius, mulai dari hilangnya habitat satwa langka, gangguan siklus hidrologi, hingga meningkatnya risiko bencana ekologis seperti banjir dan kekeringan. Konflik agraria pun terus meningkat, dengan 212 kasus baru sepanjang 2023 yang mayoritas terkait sektor perkebunan sawit. Tanpa tata kelola lahan yang adil dan transparan, program energi hijau ini berisiko menimbulkan ketidakadilan sosial baru.
Risiko Ketergantungan dan Tantangan Teknologi
Ketergantungan berlebihan pada sawit juga menciptakan risiko sistemik. Gangguan produksi akibat cuaca ekstrem, serangan hama, atau krisis geopolitik dapat mengancam pasokan bahan bakar domestik. Oleh karena itu, diversifikasi sumber energi terbarukan sangat penting, termasuk pemanfaatan singkong, tebu, limbah pertanian, serta limbah perkebunan seperti POME dan cangkang sawit untuk biogas dan biomassa.
Selain itu, kesiapan teknologi dan infrastruktur menjadi tantangan besar. Tidak semua kendaraan diesel kompatibel dengan kadar biodiesel tinggi, dan beberapa operator melaporkan masalah teknis seperti penyumbatan filter dan korosi. Industri otomotif pun masih mencari keseimbangan antara inovasi ramah lingkungan dan biaya penyesuaian teknis. Penguatan riset dan pengembangan, termasuk kolaborasi dengan perguruan tinggi dan lembaga litbang, menjadi kunci keberhasilan.
Tata Kelola, Transparansi, dan Peran Masyarakat
Keberhasilan B50 juga sangat bergantung pada tata kelola yang baik dan transparan. Sistem data yang kuat mulai dari asal-usul sawit, luas lahan, rantai distribusi, hingga dampaknya terhadap petani kecil harus terintegrasi dengan teknologi seperti citra satelit, sistem informasi geospasial, dan blockchain. Partisipasi masyarakat sipil dan media juga penting untuk menjaga akuntabilitas dan mencegah manipulasi data.
Generasi muda memiliki peran strategis dalam mendorong transisi energi yang adil melalui inovasi teknologi, pelatihan agroekologi, dan kampanye kesadaran publik. Keterlibatan mereka dalam riset, dialog kebijakan, dan advokasi berbasis data akan memperkuat demokrasi energi di Indonesia.
Menuju Transisi Energi yang Berkeadilan dan Berkelanjutan
Pemerintah harus memandang B50 sebagai jembatan menuju diversifikasi energi, bukan sebagai tujuan akhir. Energi surya, angin, air, dan panas bumi harus mendapatkan porsi yang proporsional dalam peta jalan energi nasional. Pengembangan bioetanol dari tanaman lokal seperti sorgum dan singkong dapat menjadi alternatif yang tidak bersaing dengan lahan pangan utama. Insentif fiskal dan pembiayaan hijau perlu diarahkan pada riset dan implementasi energi terbarukan skala mikro agar masyarakat desa juga dapat menjadi produsen energi.
Transisi energi harus dibingkai sebagai proses keadilan sosial dan ekologis. Komitmen Indonesia pada B50 harus diiringi keberanian memperbaiki tata kelola lahan, menghormati hak petani kecil dan masyarakat adat, serta menjaga kelestarian lingkungan. Dengan demikian, energi bersih yang dihasilkan tidak hanya bebas karbon, tetapi juga bebas dari ketimpangan dan kerusakan jangka panjang.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.