TRIBUNNEWS.COM, TEHERAN - Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan lewat akun media Truth Social, pemboman atas tiga instalasi nuklir Iran di Fordow, Natanz, dan Isfahan.
Pengeboman yang diklaim melumpuhkan ketiga fasilitas nuklir itu dilakukan pesawat pembom strategis B-2 Spirit Pentagon.
Trump memastikan semua armada udara yang terlibat telah keluar selamat dari wilayah Republik Islam Iran.
Dalam pidatonya di Gedung Putih, Trump menyatakan ia tidak ingin melanjutkan serangan setelah militernya menghancurkan Fordow, Natanz dan Isfahan.
Pemboman Fordow menggunakan enam bom penghancur bunker dan rudal jelajah Tomahawk ke Natanz dan Isfahan.
Pengumuman Trump ini disambut gembira elite Israel. Mantan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant menyebut Fordow telah lenyap.
Bombardemen atas tiga instalasi nuklir Iran itu menandai terlibatnya Amerika dalam perang Israel melawan Iran.
Seiring pengumuman Trump, semua pangkalan militer dan instalasi diplomatik Amerika di Timur Tengah dalam siaga tertinggi.
Ketiga fasilitas nuklir Iran itu sebelumnya menjadi target utama serangan Israel sejak 13 Juni 2025.
Sebagian menderita kerusakan berat, tetapi lokasi Fordow ada jauh di dalam tanah dan perut gunung, yang tidak bisa dijangkau bom-bom Israel.
Secara teknis, lokasi di kedalaman lebih dari 30 meter hanya bisa dijangkau bom penghancur bunker GBU-57 yang hanya dimiliki Amerika Serikat.
Karena itu Israel sejak dini meminta Trump ikut membantu mereka melumpuhkan fasilitas nuklir Iran yang mereka percaya jadi pusat produksi bom atom Teheran. Keputusan itu akhirnya diambil Trump Minggu 22 Juni 2025 waktu Indonesia Barat.
Ia membawa Amerika terjun dalam perang melawan Iran.
Sejauh ini, sumber Iran mengecilkan dampak serangan Amerika, dan mengatakan bom penghancur bunker hanya merusak dua pintu terowongan Fordow.
Lalu apa kalkulasi Amerika atas ofensif ini? Apa pula konsekuensi dan kemungkinan-kemungkinan berikutya yang akan terjadi?
Teheran memang telah menunjukkan perlawanannya yang luar biasa setelah pasukan udara Israel membombardir mereka sejak 13 Juni 2025.
Balasan rudal dan drone kamikaze Iran ke Israel begitu masif dan menghancurkan, sesuatu yang tidak pernah disaksikan warga Israel sejak berpuluh tahun.
Iran juga sekali lagi mendemonstrasikan kapabilitas rudal balistik hipersonik mereka yang menggetarkan dunia.
Tetapi realitas juga menunjukkan supremasi dan hegemoni Israel di angkasa Timur Tengah begitu mendominasi.
Mereka begitu leluasa melakukan serangan udara jarak jauh melintasi langit Lebanon, Suriah, Yordania, Irak, bahkan Arab Saudi guna menjangkau Iran.
Jet-jet tempur F-16 dan F-35 Adir dengan dukungan pesawat tanker udara Amerika dan Inggris, sukses menggelar bombardemen tanpa henti.
Klaim Iran bahwa mereka berhasil menembak jatuh tiga atau empat jet tempur F-35 Israel hingga hari ini belum terbukti.
Kesuksesan Israel menguasai langit Timur Tengah ini tentu saja berkat dukungan kuat intelijen barat, terutama Amerika dan Inggris.
Sebaliknya, Iran benar-benar kalah dalam perebutan penguasaan langit. Tak satupun jet tempur Iran yang tersisa mampu memberikan perlawanan.
Sistem penangkis serangan udara Iran secara umum juga gagal menahan gempuran dahsyat rudal-rudal presisi dan drone tempur Israel.
Belum lagi, sukses inflitrasi dari dalam Iran membuat operasi rahasia Mossad bisa melenyapkan sederet pejabat militer dan ilmuwan terpenting Iran.
Inilah fakta dan realitas yang harus diterima Iran. Tetapi kematian para jenderal dan ilmuwan Iran adalah martir buat perjuangan mereka melawan tirani barat.
Trump dalam pernyataan pertamanya di media sosial setelah pengumuman pemboman atas Fordow, Natanz, dan Isfahan, meminta Iran mengakhiri perang.
Ini seperti memberi pesan Trump tidak ingin memperpanjang perang, dengan hanya cukup memastikan Fordow, Natanz dan Isfahan, tidak bisa difungsikan lagi.
Ini juga peringatan Trump ke Israel untuk menurunkan tensi serangan, sekaligus membatalkan operasi melenyapkan Ayatollah Ali Khamenei.
Agenda pergantian rezim di Iran seperti yang secara terselubung hendak dilakukan, sepertinya juga menjauh dari rencana elite Amerika.
Jika ini yang dinginkan, maka konflik Israel dan Amerika melawan Iran akan mereda. Tetapi semua akan tergantung keputusan Teheran.
Di Sanaa Yaman, kelompok Houthi sudah memberikan ancaman akan menyerang semua target militer Pentagon di Laut Merah jika Amerika menyerang Iran.
Houthi Yaman beberapa waktu lalu telah membuat Presiden Trump menyerah, dan meninggalkan agenda menggempur kelompok itu.
Kelompok lain pro-Iran di Irak dan Lebanon memberikan ancaman sama, tetapi fakta politiknya mereka akan sulit melakukan secara leluasa di negaranya.
Washington telah mengancam kelompok Hizbullah Lebanon untuk tidak bertindak gegabah. Membantu Iran menurut Amerika akan menjadi lonceng kehancuran kelompok itu.
Sementara negara-negara Arab dan Teluk, termasuk Turki, sejauh ini hanya berhenti pada retorika, dan ini tidak akan berarti banyak.
Artinya, tanpa gerakan politik kongkret, Iran hanya akan berjuang sendirian menghadapi duet maut Israel-Amerika.
Iran benar-benar akan sendirian scara fisik dan militer. Presiden Rusia Vadimir Putin memang sebelumnya telah memperingatkan Trump untuk tidak menyerang Iran.
Tetapi Rusia dengan urusannya di Ukraina yang belum selesai, tidak akan bertindak lebih jauh, misal sampai terjun ke peperangan membantu Iran.
Begitu pula Tiongkok, mitra kuat Iran yang tetap menyarankan diplomasi secara adil untuk menghentikan konflik.
Posisi China terhadap Iran dalam konteks ekonomi memang sangat signifikan, sebagai importir terbesar minyak Iran.
Ladislav Zemánek, peneliti nonresiden di China-CEE Institute dan pakar Valdai Discussion Club menyebutkan, kemitraan Tiongkok-Iran kuat tapi tetap terbatas.
Misalnya dalam situasis ekstrem setelah Amerika terjun dalam peperangan, lalu Iran memblokade Selat Hormuz yang sangat vital, ini jelas akan mengancam ekonomi China.
Selat Hormuz adalah jalur sempit untuk lebih dari 25 persen lalulintas minyak global dan sepertiga pengiriman gas alam cair ke dunia.
Terhntinya lalulintas migas ini pastinya akan mengguncang industry Tiongkok, dan Beijing sudah pasti akan mengubah strateginya tanpa Iran.
Demikian pula, misalnya Iran menarik diri dari traktat Non Proliferasi Nuklir atau NPT, ini akan menantang komitmen China terhadap multilateralisme dan tatanan hukum internasional.
Penyelarasan ekonomi dan militer yang lebih erat antara Teheran dan Beijing juga dapat membebani hubungan yang sudah tegang dengan Washington.
Beijing tidak ingin konfrontasi terbuka. China lebih suka menampilkan dirinya sebagai aktor global yang bertanggung jawab, berkomitmen pada diplomasi dan de-eskalasi.
Citra itu menjadi pusat jejaknya yang meluas di Timur Tengah. Perannya dalam menengahi pemulihan hubungan tahun 2023 antara Iran dan Arab Saudi merupakan tonggak sejarah, tetapi pengaruhnya terhadap Teheran tetap terbatas.
Sebagai pemain yang relatif baru dalam diplomasi regional, kepentingan Tiongkok tidak hanya rentan terhadap agresi Israel tetapi juga terhadap potensi kesalahan langkah Iran.
Dalam konteks keseluruhan di tengah pertempuran Israel-Amerika melawan Iran, Beijing dan Moskow pasti masing-masing akan menavigasi persaingannya sendiri dengan Washington.
Iran pastinya akan melanjutkan perlawanan secara maksimal, sepanjang stok rudal dan kapabilitas militer mereka masih bertahan.
Apakah perkembangan terbaru ini akan memicu perang regional, tampaknya kemungkinan itu kian mengecil melihat sikap dan reaksi negara-negara Arab dan Teluk.
Israel akan segera mengurangi serangan ke Iran, dan mungkin akan berhenti sama sekali setelah Trump membantu membom tiga fasilitas nuklir Iran.
Sebaliknya, jika berlanjut Iran tetap akan sendirian melawan Israel dan Amerika.
Memasuki minggu kedua perang Israel-Iran, drama politik Timur Tengah ini melengkapi lintasan sejarah dunia akan kerentanan yang dimiliki penghuni planet ini.
Pertarungan bersenjata dengan korban jiwa dan kerusakan hebat yang ditimbulkannya, tetap menjadi pilihan utama kekuatan paling hegemonik di dunia ini.
Donald Trump mendeklarasikan diri sebagai pemimpin Amerika yang cinta damai, tetapi nyatanya itu sebuah kemunafikan penuh.
Amerika tidak pernah berubah di tangan siapapun pemimpinnya. Mentalitas kapitalis imperialis, dan cara-cara pemaksaan, adalah ideologi politik mereka.
Iran mungkin akan kalah dalam pertarungan ini. Tetapi mereka telah memenangi citra perjuangan untuk melawan kezaliman.(Tribunjogja.com/Setya Krisna Sumarga)