AS Ikut Israel Serang Iran, RI Harus Bersiap Hadapi Dampak Ini
GH News June 22, 2025 03:03 PM

Perang antara Israel dan Iran kini melibatkan langsung Amerika Serikat (AS) yang meluncurkan serangan terhadap tiga situs nuklir Iran. Kondisi ini menjadi alarm serius bagi Indonesia.

Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan Indonesia tidak boleh diam karena dampak perang ini tidak hanya mengguncang Timur Tengah, tetapi juga menggoyang fondasi ekonomi dan geopolitik negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Pemerintah dinilai perlu mempersiapkan langkah darurat hadapi lonjakan minyak dunia.

"Indonesia tidak boleh menonton dalam diam. Pemerintah Indonesia harus segera bertindak, bukan sekadar membuat pernyataan normatif. Presiden dan jajarannya harus mempersiapkan langkah darurat menghadapi lonjakan harga minyak dunia," kata Syafruddin, Minggu (22/6/2025).

Syafruddin memandang ketergantungan Indonesia pada impor energi akan menjadi beban fiskal besar jika harga minyak tembus US$ 100 per barel. Harga minyak mentah Brent acuan global telah naik 18% sejak 10 Juni 2025, mencapai level tertinggi hampir lima bulan di US$ 79,04 pada 19 Juni 2025 usai serangan Israel ke Iran.

"Menunda revisi kebijakan subsidi energi hanya akan memperparah defisit APBN," tuturnya.

Selain itu, Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan disebut harus memperkuat koordinasi stabilisasi rupiah. Dengan kondisi saat ini, potensi capital outflow akibat gejolak global dapat menekan nilai tukar dan mengerek inflasi.

"Intervensi moneter harus disertai penajaman komunikasi kebijakan agar pasar tetap tenang," imbuh Syafruddin.

Senada, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan meluasnya konflik di Timur Tengah bisa mendorong naiknya harga minyak secara signifikan. Lonjakan biaya impor BBM akan menyebabkan inflasi harga yang diatur pemerintah melonjak saat daya beli sedang lesu.

"Ini bukan inflasi yang baik, begitu harga BBM naik, diteruskan ke pelaku usaha dan konsumen membuat pertumbuhan konsumsi rumah tangga melambat," beber Bhima dihubungi terpisah.

Jika perang berlangsung lebih lama, target pertumbuhan ekonomi di level 5% dinilai semakin sulit tercapai. Pasalnya situasi eksternal terlalu berat, ditambah adanya efisiensi anggaran pemerintah.

"Proyeksinya jika perang berlangsung lebih lama, ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh 4,5% year on year tahun ini. Makin berat mencapai target 8% pertumbuhan ekonomi karena situasi eksternalnya terlalu berat," ujar dia.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.