Regulasi dan Jebakan Fraud dalam JKN
wahyu andrianto June 22, 2025 03:40 PM
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan program yang dirancang untuk memastikan akses kesehatan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Namun, seiring implementasinya, program ini tak luput dari isu fraud yang mengancam keberlangsungan dan integritasnya. Fraud dalam konteks JKN merujuk pada segala bentuk tindakan penipuan atau penyimpangan yang disengaja untuk mendapatkan keuntungan finansial atau material secara tidak sah dari sistem JKN.
Fraud dalam JKN dapat diartikan sebagai tindakan penipuan atau penyimpangan yang disengaja dengan tujuan mendapatkan keuntungan finansial atau material secara tidak sah dari sistem JKN. Pelaku fraud bisa jadi adalah fasilitas kesehatan (faskes), tenaga medis, tenaga kesehatan, peserta JKN, bahkan terkadang melibatkan pihak tertentu di dalam sistem JKN. Beberapa modus operandi fraud yang sering ditemukan dalam implementasi JKN adalah Phantom Billing, Upcoding, Double Billing, Unbundling, Medically Unnecessary Services, Pemalsuan Identitas atau Dokumen oleh Peserta, dan Collusion.
Klaim Fiktif (Phantom Billing) adalah salah satu bentuk fraud yang paling mudah dipahami dan sering terjadi. Klaim fiktif merujuk pada pengajuan klaim untuk pelayanan atau tindakan medis yang sama sekali tidak pernah diberikan kepada pasien. Contoh, sebuah klinik mengajukan klaim ke BPJS Kesehatan untuk tindakan operasi minor pada seorang pasien, padahal pasien tersebut hanya datang untuk pemeriksaan rutin dan tidak menjalani operasi apapun. Atau, mengajukan klaim untuk pasien yang namanya tercantum tapi tidak pernah datang sama sekali.
Upcoding adalah praktik mengajukan klaim dengan kode diagnosis atau tindakan yang lebih mahal dari yang sebenarnya dilakukan. Meskipun pelayanan memang diberikan, tetapi kode yang digunakan tidak sesuai dengan kondisi atau prosedur yang sebenarnya. Contoh, seorang dokter mendiagnosis pasien dengan batuk biasa, tetapi mengkodekannya sebagai pneumonia (radang paru-paru) yang memerlukan perawatan lebih intensif dan biaya lebih tinggi. Atau, melakukan tindakan minor tapi mengklaimnya sebagai tindakan mayor.
Duplikasi Klaim (Double Billing) terjadi ketika penyedia layanan kesehatan mengajukan klaim yang sama lebih dari satu kali untuk layanan atau tindakan medis yang sama pada pasien yang sama. Contoh, rumah sakit mengajukan klaim untuk rawat inap seorang pasien pada tanggal tertentu, lalu beberapa waktu kemudian mengajukan klaim yang sama lagi untuk periode rawat inap yang sama. Hal ini juga bisa terjadi jika klaim diajukan ke BPJS Kesehatan dan juga ke asuransi swasta untuk layanan yang sama.
Fragmentasi Klaim (Unbundling) adalah praktik memecah-mecah prosedur medis atau layanan yang seharusnya diklaim sebagai satu kesatuan menjadi beberapa komponen terpisah, dengan tujuan untuk mendapatkan pembayaran yang lebih tinggi. Contoh, mengklaim satu paket operasi yang sudah termasuk biaya anestesi dan obat-obatan, faskes mengklaim biaya operasi, biaya anestesi, dan setiap jenis obat-obatan secara terpisah.
Penyediaan Layanan yang Tidak Perlu (Medically Unnecessary Services), melibatkan pemberian layanan, tes, atau prosedur medis yang tidak diperlukan secara medis bagi kondisi pasien, hanya untuk dapat mengajukan klaim dan mendapatkan pembayaran. Contoh, seorang dokter menganjurkan pasien untuk menjalani serangkaian tes laboratorium yang mahal padahal hasil tes sebelumnya sudah cukup, atau melakukan tindakan operasi yang sebenarnya bisa diatasi dengan pengobatan non-invasif.
Pemalsuan Identitas atau Dokumen oleh Peserta. Contoh, menggunakan kartu JKN orang lain (kerabat, teman) untuk mendapatkan layanan kesehatan, atau memalsukan surat rujukan dari faskes tingkat pertama untuk bisa langsung mengakses layanan di rumah sakit tanpa prosedur yang benar.
Kolusi (Collusion) adalah kerja sama antara dua atau lebih pihak (misalnya, faskes dengan pasien, atau faskes dengan oknum di BPJS Kesehatan) untuk melakukan penipuan. Contoh, Faskes bekerja sama dengan pasien untuk mengajukan klaim fiktif, di mana pasien mendapatkan bagian dari pembayaran klaim tersebut. Atau, oknum internal memfasilitasi klaim fraud dengan imbalan tertentu.
Meskipun Indonesia telah memiliki kerangka regulasi yang cukup komprehensif untuk JKN, termasuk upaya pencegahan fraud, pada praktiknya masih terdapat lubang dan tantangan, terutama terkait definisi dan kategorisasi tindakan yang dapat disebut fraud. Celah ini sering kali menjadi celah bagi oknum tidak bertanggung jawab untuk melakukan penyimpangan. Secara umum, regulasi JKN mengacu pada definisi fraud dalam konteks hukum pidana (penipuan, penggelapan, korupsi) atau peraturan perundang-undangan lain yang relevan. Namun, dalam konteks spesifik layanan kesehatan dan JKN, seringkali ditemukan celah atau ketidakjelasan yang mempersulit penegakan hukum. Seringkali sulit membedakan apakah suatu kesalahan dalam klaim disebabkan oleh kesengajaan (fraud), kelalaian (negligence), atau kesalahan administratif murni. Misalnya, upcoding bisa saja terjadi karena ketidaktahuan dokter mengenai kode yang benar, atau memang disengaja untuk mencari keuntungan. Regulasi perlu memberikan panduan yang lebih jelas tentang kapan suatu kesalahan bergeser menjadi tindakan fraud.
Salah satu tantangan terbesar dalam regulasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terkait fraud adalah keterbatasan cakupan regulasi untuk mengantisipasi modus fraud baru. Lingkungan layanan kesehatan, teknologi, dan kreativitas oknum yang tidak bertanggung jawab terus berkembang, sehingga regulasi seringkali tertinggal satu langkah di belakang. Umumnya, regulasi dibuat sebagai respons terhadap masalah atau celah yang sudah teridentifikasi atau kasus yang sudah terjadi. Artinya, suatu modus fraud harus muncul dan menimbulkan kerugian dulu, barulah pembuat kebijakan menyadari perlunya regulasi untuk mengatasinya. Proses pembuatan dan pengesahan regulasi (peraturan pemerintah, peraturan menteri, atau peraturan BPJS Kesehatan) membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Sementara itu, modus fraud bisa menyebar dengan cepat. Kemajuan teknologi informasi (TI) dan inovasi medis membuka peluang baru bagi praktik fraud. Misalnya, penggunaan rekam medis elektronik, telemedicine, atau aplikasi kesehatan digital dapat dimanipulasi dengan cara yang belum terpikirkan saat regulasi awal dibuat. Modus phishing atau social engineering yang menargetkan data peserta atau penyedia layanan juga bisa menjadi pintu masuk bagi fraud yang sulit diantisipasi oleh regulasi konvensional.
Salah satu lubang dan tantangan signifikan dalam efektivitas regulasi JKN untuk memerangi fraud adalah kurangnya koordinasi yang optimal antar lembaga terkait, khususnya antara BPJS Kesehatan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan Aparat Penegak Hukum (APH) seperti Kepolisian dan Kejaksaan. Tanpa koordinasi yang kuat, upaya pencegahan dan penindakan fraud menjadi ter-fragmented dan kurang efektif. Ketika terindikasi adanya fraud, seringkali terjadi saling tunggu antara BPJS Kesehatan yang melakukan audit awal, Kemenkes yang menunggu hasil audit BPJS untuk pembinaan, dan APH yang memerlukan laporan resmi serta bukti yang kuat dari kedua lembaga sebelumnya. Proses pelaporan dan penyerahan bukti dari satu lembaga ke lembaga lain memakan waktu lama, memperlambat proses investigasi dan penindakan.
Salah satu "lubang" signifikan yang menghambat efektivitas regulasi JKN dalam memberantas fraud adalah keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dan teknologi yang tersedia untuk melakukan pengawasan dan investigasi. Regulasi secanggih apapun tidak akan berjalan optimal tanpa dukungan SDM yang kompeten dan teknologi yang memadai. Mengelola dan memberantas fraud dalam sistem sebesar JKN membutuhkan tim yang mumpuni. Jumlah auditor, verifikator klaim, dan investigator yang dimiliki BPJS Kesehatan, Kementerian Kesehatan, dan bahkan unit khusus di APH (jika ada) seringkali tidak sebanding dengan volume transaksi, jumlah fasilitas kesehatan, dan potensi kasus fraud yang sangat besar di seluruh Indonesia. Tidak semua SDM memiliki latar belakang atau pelatihan yang memadai dalam forensik medis, audit klaim spesifik, atau investigasi keuangan kesehatan.
Salah satu "lubang" serius dalam kerangka regulasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang menghambat efektivitas pemberantasan fraud adalah adanya tumpang tindih atau inkonsistensi antar regulasi. Kondisi ini menciptakan kebingungan, ketidakpastian hukum, dan celah yang dapat dimanfaatkan oleh oknum pelaku fraud. Regulasi terkait JKN tidak hanya dibuat oleh satu lembaga. Ada Undang-Undang, Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), Peraturan BPJS Kesehatan (PerBPJS), hingga pedoman-pedoman teknis dari berbagai asosiasi profesi. Setiap lembaga memiliki domain dan kepentingan yang berbeda, sehingga regulasi yang dibuat kadang tidak selaras sepenuhnya dengan yang lain.
Salah satu "lubang" yang sering terabaikan namun penting dalam efektivitas regulasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam mencegah fraud adalah kurangnya literasi dan pemahaman peserta JKN itu sendiri. Peserta yang tidak memahami hak, kewajiban, dan prosedur yang benar dalam sistem JKN dapat secara tidak sengaja atau sengaja menjadi bagian dari praktik fraud, atau bahkan menjadi korban. Peserta adalah ujung tombak program JKN. Ketika mereka tidak memiliki pemahaman yang memadai, berbagai masalah bisa timbul. Banyak peserta tidak sepenuhnya memahami apa saja hak mereka sebagai peserta JKN (misalnya, jenis layanan yang ditanggung, prosedur rujukan yang benar, hak untuk mendapatkan informasi). Mereka juga kurang memahami kewajiban mereka, seperti membayar iuran tepat waktu, memperbarui data, atau menggunakan kartu sesuai prosedur.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.