Peninggalan Belanda di Indonesia Jadi Destinasi Wisata
Mohamad Jokomono June 22, 2025 03:40 PM
Peninggalan Belanda di Indonesia Jadi Destinasi Wisata sejarah antara Belanda dan Indonesia, betapa pun dahulu sekali pernah begitu sarat teraling dengan wajah keji imperialisme. Lambat laun seiring dengan perjalanan waktu pun tidak lagi terjalin dengan relasi yang hanya berisikan tentang deskripsi konflik.
Apalagi setelah waktu kian melangkah jauh dari saat-saat awal kemerdekaan. Ketika telah berganti dari satu generasi ke generasi berikutnya. Jarak ketegangan secara emotif itu pun kian hari kian mengalami dinamika perubahan. Generasi kini, mungkin hanya memandangnya sebagai bagian dari fakta sejarah di masa lalu.
Dewasa ini aset-aset bangunan peninggalan Belanda yang telah dinasionalisasi, di berbagai daerah telah dijadikan Kawasan Kota Lama untuk jujukan destinasi wisata. Tidak ada lagi, sikap nasionalisme sempit, yang menilai kekaguman terhadap keindahan pesona arsitektur kolonial sebagai tindakan yang tidak nasionalis.
Sebut saja di Semarang. Ada Kawasan Kota Lama yang dijuluki orang sebagai Little Netherland. Arsitektur khas Eropa dan tata letak yang memiliki kemiripan dengan kota-kota di Negeri Belanda.
Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) Immanuel Semarang (Gereja Blenduk), salah satu bangunan dengan arsitektur khas Eropa di Kawasan Kota Lama Semarang. (Sumber: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) Immanuel Semarang (Gereja Blenduk), salah satu bangunan dengan arsitektur khas Eropa di Kawasan Kota Lama Semarang. (Sumber: Shutterstock)
Dahulu kala di masa pemerintahan kolonial Belanda, Kawasan Kota Lama Semarang merupakan pusat perdagangan dan administrasi. Berkembang sejak abad ke-17, saat Belanda merintis pembangunan benteng di tempat tersebut.
Pada mulanya merupakan tempat permukiman orang-orang Belanda dan Eropa lainnya yang menjalani profesi sebagai pedagang.
Keramaian sebagai pusat perdagangan di Kawasan Kota Lama Semarang tampak pada abad ke-18 dan ke-19. Hal ini memantik perhatian pedagang dari berbagai belahan dunia.
Termasuk orang-orang Tionghoa dan Arab, kemudian berbondong-bondong mendatanginya. Mengadu peruntungan dengan menjalin relasi bisnis dengan mitra-mitra Eropa yang dapat membesarkan usaha perniagaannya.
Kini Kawasan Kota Lama Semarang tidak sepi dari kunjungan wisatawan baik mancanegara maupun domestik. Keindahan arsitektur bangunan-bangunan kunonya menjadi daya tarik yang tidak henti-hentinya.
Sekadar berswafoto dengan latar belakang bangunan kolonial. Atau, mencari suasana yang sedikit memiliki warna berbeda dari rutinitas kehidupan.
Atau lagi, sembari menunggu jadwal keberangkatan kereta api, karena lokasinya yang berdekatan dengan Stasiun Tawang Semarang, mereka berkesempatan meluangkan waktu untuk mampir sebentar di Kota Lama.
Kerkop Jadi Tempat Wisata
Tidak hanya Kawasan Kota Lama menjadi destinasi wisata dengan pesona arsitektur kolonial. Akan tetapi, demikian pula dengan “kerkop”. Tentu saja, yang memiliki dukungan momen sejarah penting di belakang realitas pembangunannya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi VI Dalam Jaringan (KBBI VI Daring) yang tertandai sebagai ragam cakapan (ragam santai dalam percakapan antarteman atau dengan keluarga sendiri), mengusung arti “kuburan orang Eropa”.
Kata “kerkop” merupakan struktur pengucapan bahasa Indonesia, dari kata bahasa Belanda, yaitu “kerkhof”. Kata ini sebetulnya merupakan gabungan kata “kerk” yang berarti “gereja” dan kata “hoff” (halaman).
Dengan demikian, secara harfiah, artinya “halaman gereja”. Dan, dimaknai lebih sesuai dengan realitas berbahasa sebagai “kuburan” atau “permakaman”.
Salah satu bagian dari Kerkop Peucut di Banda Aceh. (Sumber: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu bagian dari Kerkop Peucut di Banda Aceh. (Sumber: Shutterstock)
Kerkop Peucut di Banda Aceh merupakan permakaman militer Belanda terbesar di luar Negeri Kincir Angin itu. Dengan luas 3,5 hektare dan lokasinya yang berada di pusat kota, dewasa ini menjadi destinasi wisata. Terutama bagi wisatawan asal Belanda yang hendak mengenang leluhurnya.
Kerkop Peucut menjadi saksi bisu dari kegagahan perlawanan para pejuang Aceh terhadap sepak terjang tentara Belanda dalam Perang Aceh yang berlangsung dari rentang 1873 hingga 1904. Sekitar 31 tahun dan ini bukan perlawanan yang singkat.
Di Kerkop Peucut telah bersemayam dalam damai, sebanyak 2.200 orang tentara Belanda yang meregang nyawa akibat keterlibatan mereka dalam kancah peperangan yang pada seluruh prosesnya berada di atas bara perlawanan yang tidak mudah terpadamkan.
Tidak tanggung-tanggung, di Kerkop Peucut yang berdiri di jantung kota Banda Aceh. Dimakamkan di situ dua perwira tinggi Belanda berpangkat mayor jenderal (mayjen), yaitu Johan Harmen Rudolf Köhler dan Johannes Ludovicius Jakobus Hubertus Pel.
Mayjen Johan Harmen Rudolf Köhler merupakan pemimpin tentara Belanda dalam pelaksaan invasi yang pertama kali di Tanah Rencong pada 1873. Dia meninggal terkena tembakan dari pejuang Aceh di halaman Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.
Sementara itu, Mayjen Johannes Ludovicius Jakobus Hubertus Pel meninggal di bivak. Pondok (tempat bermalam) sementara di tengah hutan (bagi tentara) di wilayah Aceh dalam kecamuk peperangan itu.
Tokoh militer Belanda lainnya, meski tidak meninggal dalam Perang Aceh, tetapi karena tikaman rencong di bagian perutnya, oleh seorang pembesar di Aceh yang tidak puas dengan keputusan hukumnya di landraad (pengadilan negeri).
Dia adalah Wilhem Benhard Johann Antoon Scheepens yang lahir pada 13 April 1868 dan meninggal pada 17 Oktober 1913 di Sigli, Aceh. Kapten infanteri dan perwira Militaire Willems-Orde ini dimakamkan juga di Kerkop Peucut.
Kerkop-kerkop di daerah lain yang hingga kini masih ada, seperti Kerkop Peneleh di Surabaya, Kerkop Makalam di Jambi, Kerkop di Tanjungpinang. Sementara itu, ada pula yang telah beralih fungsi untuk kepentingan ruang publik yang lain.
***
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.