TIMESINDONESIA, GERSIK – Dengan kepayahan, seorang nenek menaiki bus. Ia harus berdesak-desakan dengan jemaah lain, berebut naik. Sementara, ia kesulitan melepas tas yang dibebankan di punggungnya. Ia harus melepaskan tasnya dulu, agar memudahkan kakinya menapaki tangga masuk bus. Ia seorang diri, karena anaknya terpisah kafilah darinya.
Potret seperti ini, mudah ditemukan pada puncak haji kemarin. Seorang lansia yang terpisah dari pendampingnya. Pun suami yang seharusnya bisa membersamai istrinya, harus merelakan sang istri berjuang seorang diri, dengan segala kerepotan barang bawaan serta beratnya prosesi sejak wukuf di Arofah, mabit di Muzdalifah, hingga lempar jumroh di Mina.
Ternyata, kita tidak belajar dari kesalahan. Penempatan hotel sejak di Makkah yang memencarkan jemaah sesama KBIH dan Kloter, bahkan banyak lansia, difabel yang terpental dari pendampingnya, pun suami dan istri yang terpisah hotel. Ternyata, kondisi itu juga masih sama terjadi pada pengorganisasin jemaah haji pada proses Armuzna atau puncak haji. Bahkan lebih ekstrim lagi.
Bagaimana tidak, pengelompokkan yang sudah terbentuk dalam organisasi KBIH dan Kloter sejak di tanah air, dioplos dalam beberapa, bahkan belasan kafilah. Armuzna tahun ini menggunakan mekanisme pengelompokkan kafilah. Satu kafilah terdiri dari beberapa pecahan jemaah berbagai KBIH dan Kloter.
Proses pengumuman dan pembentukan kafilah pun terbilang sangat mepet dengan waktu pelaksanaan, hanya H-2 dari pelaksanaan Armuzna. Sehingga rata-rata proses pengenalan dan koordinasi sesama jemaah di internal kafilah hanya berlangsung sekali.
Apalagi, ketua dan pengurus kafilah yang ditunjuk benar-benar diacak. Sangat asing bagi para jemaah yang di dalam kafilah. Tidak saling kenal sebelumnya. Sementara, jemaah yang diorganisir dalam satu kafilah berjumlah ratusan orang.
Dengan latar belakang tingkat literasi yang beragam. Tentu, dari sini saja, sudah dapat dibayangkan bagaimana tantangan yang akan dihadapi jemaah haji Indonesia saat Armuzna.
Terbukti di lapangan, pelaksanaannya menghadapi beberapa amburadul. Sejak keberangkatan saja, sudah mengundang kegelisahan bagi jemaah. Di Kafilah kami, pengelompokkan pemberangkatan diputuskan ketua dan pengurus kafilah berdasarkan abjad nama.
Sudah barang tentu, hal itu akan mengakibatkan segregasi jemaah. Pasangan suami-istri akan terpisah. Pun lansia, difabel, akan berbeda pemberangkatan dengan pendampingnya.
Padahal, agregat data yang terpisah kafilah saja banyak, seperti yang dialami seorang nenek dalam contoh di atas. Eh, yang sesama kafilah pun, akhirnya banyak yang harus terpisah juga karena ketidaksiapan pengorganisasiaan.
Sulit untuk menyalahkan siapa pun, termasuk para ketua dan pengurus kafilah. Karena memang pembentukannya serba mendadak dan tak terduga sebelumnya. Sementara, para ketua dan pengurus kafilah tersebut tentu akan sangat berat dan terus memikirkan nasib jemaah KBIH dan Kloter organik mereka berasal.
Saya sendiri, bersama beberapa jemaah kafilah, baru keluar dari Arofah pukul 2 dinihari waktu setempat. Moror dari jadwal seharusnya. Terpaksa harus murur, tidak mabit di Muzdalifah. Terpencar dari rombongan besar kafilah. Ya karena tentu tidak mudah mengorganisir jemaah sebanyak itu di dalam kafilah yang baru terbentuk dua hari sebelum berangkat ke Arofah.
Sehingga dari sini pun, mudah dipahami mengapa banyak jemaah yang terlantar saat mabit di Muzdalifah. Tidak mendapatkan transportasi sehingga harus jalan kaki Mina. Yang lebih miris lagi, banyak jemaah yang tidak mendapatkan tenda saat di Mina. Yang harus berjam-jam mondar-mandir dengan segala barang bawaannya mencari tenda, tidak peduli kemudian itu tenda kafilah mana. Bahkan banyak yang akhirnya mengungsi di masjid terdekat.
Belum perihal konsumsi. Distribusinya hanya terkonsentrasi di blok-blok tenda tertentu. Tidak merata. Sehingga ada tenda-tenda yang telat terdistribusi konsumsinya, atau bahkan sama sekali tidak mendapatkan sesuai dijadwalkan. Sekali lagi, ini merupakan implikasi dari penerapan kafilah yang dipaksakan, sehingga menyulitkan koordinasi dan pengorganisasian.
Prinsipnya, bagaimana haji berlangsung nyaman. Sehingga jemaah bisa memanfaatkannya untuk beribadah. Bagi yang muda, atau pasangan suami dan istri yang masih muda, kondisi yang terjadi pada puncak haji tahun ini, mungkin bukan menjadi persoalan yang berarti.
Mereka relatif segmen yang melek digital, dengan tingkat literasi yang representatif. Sehingga segmen ini bisa dibilang merupakan jemaah dengan profil mandiri, mampu beradaptasi dengan kondisi.
Tapi yang jadi soal, mayoritas jemaah haji Indonesia adalah bapak, ibu, atau mereka yang sudah berusia 50 tahun, bahkan para lansia. Berapa kali saya saat pulang dari Masjidil Haram, harus membersamai jemaah lansia yang kebingungan dengan arah atau akses pulang ke hotel. Di hotel pun, banyak jemaah yang untuk naik-turun lift saja masih kesulitan, kesasar lantainya. Ya begitulah realitanya.
Karena itu, pengelompokkan dan pengorganisasian jemaah per KBIH dan Kloter yang terbentuk sejak di tanah air, hendaknya tidak diacak-acak ketika sampai di Makkah. Padahal, jemaah sudah bersama, saling mengenal, bahkan pembimbing sudah mengukur dan memitigasi tingkat resiko sejak manasik di KBIH, melalui struktur ketua rombongan (Karom) dan ketua regu (Karu).
Ini yang jadi pertanyaan, apa motivasi tatanan ini kemudian diecer? Apa tidak bisa kita menggunakan sistem multi syarikah tapi tetap mempertahankan agregasi KBIH dan Kloter?
Maka setelah puncak haji tahun ini, penting untuk dipikirkan kembali, bagaimana seharusnya sistem multi syarikah dapat berlaku efektif untuk selanjutnya. Sistem multi syarikah tentu sangat baik, karena ibaratnya, menopang beban dengan mekanisme penyediaan layanan yang kompetitif. Hanya yang perlu dipahami, syarikah tetaplah syarikah. Ia hanya penyedia, organizer.
Tapi bagaimana membangun keterikatan, hubungan emosional, dan persaudaraan sesama jemaah biarlah tetap ada pada struktur KBIH dan Kloter. Perangkat jejaring ini, struktur terkecil yang akan sangat memudahkan pengorganisasian jemaah. Sehingga haji semakin berlangsung nyaman, aman, dan tertib sebagaimana yang diharapkan.
***
*) Oleh : Faiz Abdalla, Tenaga Ahli Bupati Gresik, Ketua Karang Taruna Kab Gresik dan Jemaah Haji 2025 KBIH Semen Indonesia Gresik.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.