Serangan Sepihak Amerika ke Iran, Potensi Dunia Tanpa Kendali Proliferasi Nuklir
Muh Khamdan June 22, 2025 09:00 PM
Serangan Amerika Serikat terhadap tiga situs nuklir Iran, menjadi lonceng bahaya serius bagi stabilitas kawasan dan bahkan perdamaian dunia. Serangan ini bukan hanya bentuk intervensi militer sepihak, melainkan bisa menjadi pemicu eskalasi besar yang membawa dunia pada ambang Perang Dunia Ketiga.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump, dalam pernyataan pascaserangan pada Sabtu (21/6), menyampaikan bahwa pilihan Iran kini hanya dua. Pilihan itu adalah menyerah tanpa syarat atau menghadapi gelombang serangan lebih besar. Pernyataan ini menandai pergeseran dari diplomasi ke ultimatum, yang secara prinsip bertentangan dengan hukum internasional dan semangat perdamaian.
Serangan menggunakan pesawat siluman B2 dan bom penghancur bunker (MOP) terhadap situs nuklir Fordow, Natanz, dan Esfahan tidak hanya membangkitkan ketegangan regional, tetapi juga mendorong Iran untuk mempertimbangkan keluar dari Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT). Ini adalah pergeseran fundamental dalam arsitektur keamanan global yang telah menopang stabilitas nuklir sejak 1970.
Iran menegaskan bahwa berdasarkan Pasal 10 NPT, negara berhak mundur dari perjanjian jika terdapat ancaman luar biasa terhadap kepentingan nasionalnya. Serangan langsung AS terhadap fasilitas nuklir yang diawasi oleh IAEA dapat secara legal dijadikan justifikasi Iran untuk menarik diri dari rezim nonproliferasi tersebut.
Situasi ini mencerminkan ironi geopolitik. Negara-negara pemilik senjata nuklir dan anggota tetap Dewan Keamanan PBB, justru melanggar prinsip-prinsip hukum internasional demi membela kepentingannya, termasuk dalam mendukung negara seperti Israel, yang diduga memiliki senjata nuklir namun tidak pernah menjadi pihak NPT. Amerika Serikat kini secara de facto bergabung dalam konflik bersenjata antara Iran dan Israel, menandai transformasi konflik regional menjadi perang proxy terbuka. Ini adalah lonceng peringatan bahwa konstelasi kekuatan global sedang bergerak menuju garis merah yang tak kasat mata.
Meskipun Iran mengklaim tidak ada kerusakan besar di situs Fordow, dan otoritas regional seperti di Provinsi Qom menyatakan situasi aman, namun ancaman laten justru terletak pada balasan strategis Iran yang bersifat asimetris. Ini termasuk peningkatan serangan rudal ke Israel, sabotase terhadap pangkalan militer AS di Irak, Suriah, dan Teluk, hingga penggunaan jaringan proksinya di Lebanon, Yaman, dan Irak.
Hal yang lebih mengkhawatirkan, Iran telah meluncurkan 30 rudal balistik ke wilayah Israel sebagai bentuk balasan. Eskalasi ini menunjukkan bahwa Teheran tidak akan pasif, dan tekanan militer hanya akan memperkeras sikap Iran, bukan melemahkannya. Ketegangan ini sangat mungkin menjalar ke penutupan Selat Hormuz, yang bisa memicu lonjakan harga minyak global dan gejolak ekonomi internasional.
Dalam situasi ini, Amerika Serikat sebenarnya tidak solid secara internal. Serangan terhadap Iran tanpa persetujuan Kongres menuai kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk dari anggota Partai Republik sendiri. Ini memperlihatkan bahwa langkah Presiden Trump mengandung risiko politik domestik yang tinggi dan dianggap melangkahi kewenangan legislatif.
Konstitusi AS mengatur bahwa deklarasi perang atau aksi militer jangka panjang memerlukan otorisasi dari Kongres. Ketidakterlibatan Kongres dalam keputusan serangan ke Iran bisa menciptakan preseden buruk bagi tata kelola demokrasi dan supremasi hukum di AS sendiri, selain juga memperlemah legitimasi moral Amerika di mata komunitas internasional.
Potensi memburuknya situasi dapat menjadi ajang konfrontasi multipolar. Rusia dan China sebagai kekuatan tandingan AS berpotensi mengambil posisi dalam konflik ini, baik secara terbuka maupun terselubung. Dukungan mereka terhadap Iran di Dewan Keamanan PBB maupun melalui aliansi teknologi dan militer bisa memperumit skenario geopolitik global.
Keterlibatan AS secara militer dalam konflik Timur Tengah dengan kapasitas ofensif penuh, dapat menghidupkan kembali pola konflik seperti Perang Dunia II. Hanya saja, kini perang dunia dapat menjelma dalam wajah baru, seperti perang nuklir terbatas, perang cyber, dan serangan teknologi berpresisi tinggi. Namun tetap dengan korban sipil yang tidak bisa dihindarkan.
Kehancuran infrastruktur, korban jiwa, dan krisis pengungsi akan menjadi konsekuensi jangka panjang dari konflik ini. Dunia tidak boleh melupakan bahwa perang bukan hanya soal strategi militer, tetapi juga tragedi kemanusiaan. Dan dalam skala ini, perang bisa melibatkan banyak negara yang saling terikat dalam sistem aliansi global.
Diplomasi perlu dikembalikan ke jalurnya. Seruan komunitas internasional untuk melakukan dialog damai antara AS dan Iran perlu dihidupkan kembali dengan keterlibatan PBB, Uni Eropa, dan kekuatan nonblok. Upaya ini penting untuk mencegah perang besar yang bisa mengorbankan generasi mendatang.
Jika komunitas internasional gagal mengintervensi secara damai, sejarah bisa mencatat 21 Juni 2025 sebagai awal dari spiral kekerasan global yang tak terkendali. Inilah momentum kritis bagi dunia untuk bertindak sebelum api konflik ini membakar habis nilai-nilai hukum internasional dan kemanusiaan.
Konflik ini harus dibingkai bukan sebagai soal antara dua negara semata, tetapi sebagai ujian besar bagi tatanan global pasca-Perang Dingin. Kita sedang dihadapkan pada dilema besar, apakah akan membiarkan hukum rimba kembali mengatur hubungan internasional, atau membangun kembali dunia berbasis tata kelola hukum dan keadilan global.