Mujiburrahman
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin
“APA jenis film yang paling disukai anak muda saat ini?” tanyaku pada para mahasiswa. Mereka sepakat menjawab, “film horor”, cerita-cerita menakutkan tentang hantu, jin, setan dan sejenisnya. Menurut para mahasiswa itu, film horor dapat membangkitkan adrenalin. Adrenalin adalah hormon yang mendorong tubuh untuk meningkatkan energi dan fokus serta bereaksi cepat dalam menghadapi ancaman, bahaya atau situasi darurat. Konon, adrenalin bisa membantu melepaskan stres, tetapi jika berlebihan bisa berbahaya bagi kesehatan.
Bagi saya, kegemaran orang pada film horor itu terasa aneh. Buat apa kita cari-cari alasan untuk menakut-nakuti diri sendiri? Apalagi kalau nanti sampai terbawa-bawa ke dalam mimpi. Bagi orang yang berpikir rasional-ilmiah dan sekuler, cerita-cerita horor tak lebih dari takhyul alias khayalan yang tak ada dalam kenyataan. Saat anak kami usia taman kanak-kanak dan sekolah di Belanda, kami pernah mencoba menakut-nakutinya dengan cerita “hantu”. Anak saya itu malah tak takut. “Kata guru saya, hantu itu tak ada,” katanya. Saya dan isteri akhirnya tertawa.
Sebagai seorang Muslim, saya tentu percaya pada yang gaib, yang tak kasat mata, seperti jin, setan, iblis, malaikat, surga, dan neraka. Namun, apakah gambaran tentang hantu dan sejenisnya dalam film horor bisa dianggap sama dengan wujud-wujud gaib itu? Saya tidak yakin karena film adalah hasil kreativitas imajinasi manusia belaka. Yang gaib pada hakikatnya tidak bisa dikonkretkan. Misalnya, kesadaran. Bagaimana bentuk kesadaran itu, dari mana asalnya, dan kemana perginya setelah kita mati? Kita takkan bisa menjelaskan secara fisik-konkret karena ia memang bukan fisik.
Bagi saya, film jenis drama lebih bermakna dibanding horor. Film drama biasanya menggambarkan kehidupan manusia yang kompleks dan penuh warna, suka-duka, gagal-berhasil, idealisme dan kenyataan, kepentingan pribadi versus keluarga dan/atau orang banyak. Kisah drama yang baik biasanya berbasis pada pengalaman nyata sehingga dapat membuat kita lebih mampu menghargai hidup. Namun, ada pula film drama yang buruk, biasanya serial, yang melebih-lebihkan derita atau bahagia manusia, sebagai strategi mengikat emosi penonton agar kecanduan menontonnya.
Yang lebih saya sukai adalah film laga, karena biasanya jagoannya sebagai tokoh baik (protagonis) akhirnya akan menang. Semua ketegangan dalam pertempuran antara yang baik dan buruk akan berakhir dengan kemenangan kebaikan. Ini tentu sangat menghibur. Setiap manusia normal, saya kira, memiliki pembawaan alamiah, menyukai apapun yang baik, benar, adil, dan indah. Orang Islam menyebutnya “fitrah”, kecenderungan alamiah yang dibawa sejak lahir. Ada pula istilah lain yang disebut “hati nurani”. Kata nûrânî artinya terang-bercahaya. Lawannya zhulmânî artinya gelap.
Namun, sekali lagi, apapun jenisnya, film adalah hasil kreativitas imajinasi manusia. Film itu berwajah ganda, campuran antara fakta dan fiksi, kenyataan dan khayalan. Manusia hidup dalam dua dunia ini. Para filsuf sudah lama berdiskusi, apakah pikiran yang mendahului kenyataan atau sebaliknya? Kalau kita mau bikin kursi, maka terlebih dahulu ada rencana di pikiran kita seperti apa bentuk kursi itu nantinya. Ini berarti pikiran mendahului kenyataan. Namun, kita tak bisa membuat rancangan kursi itu tanpa melihat bahan-bahan yang tersedia. Ini berarti, kenyataan juga menentukan pikiran kita.
Wacana abstrak di atas menjadi serius ketika kita menyaksikan berita-berita tentang krisis Timur Tengah saat ini. Kemarin, Ahad, 22 Juni 2025, Amerika Serikat (AS) telah membombardir tiga situs nuklir Iran, yakni Natanz, Isfahan, dan Fordow, dengan pesawat tempur canggih, B-2. Ini berarti, AS dan Israel bersepakat untuk menghabisi proyek nuklir Iran, yang konon dianggap sebagai ancaman bagi perdamaian di Timur Tengah. Presiden AS, Donald Trump, dan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menilai bahwa hanya dengan cara itu perdamaian bisa diraih.
Ini bukan fiksi film laga, tapi aksi politik dunia nyata; bukan khalayan, tapi kenyataan. Jika dalam Mission Impossible (2025) berjudul “Final Reckoning”, Ethan Hunt, sang protagonis, berkulit putih asal AS, berhasil menyelamatkan dunia dari kiamat yang diancam senjata AI buatan Rusia bernama “Entity”, maka dalam kenyataan perang di Timur Tengah saat ini, salah-salah AS justru bisa menjadi penyebab perang dunia ketiga! Kita juga sangat khawatir, jangan-jangan radioaktif akibat pemboman atas situs-situs nuklir itu akan menyebar dan membahayakan hidup banyak umat manusia.
Kalau dipikir-pikir lagi, film horor, drama dan laga, barangkali lebih bermakna. Ketika kita menonton film, ada keterlibatan jiwa kemanusiaan kita dengan cerita yang kita saksikan. Ketika menonton film, kita memusatkan perhatian, kepedulian, dan empati, pada kisah-kisah manusia yang ditampilkan. Sekarang, genosida yang dilakukan Israel di Gaza, saling serang Israel-Iran hingga serangan AS ke Iran, apakah semua ini membangkitkan kepedulian dan empati kita pada sesama? Atau sebaliknya, kita justru hanya menganggap diri kita, kelompok kita, sebagai manusia, sementara yang lain bukan?
Filsuf Inggris, Bertrand Russel, pernah meragukan pernyataan Aristoteles bahwa manusia adalah makhluk yang berakal (rasional). Menurutnya, dalam banyak kasus sepanjang sejarah, emosi, ambisi, dan arogansi di satu sisi, takhyul dan utopia di sisi lain, tak jarang justru lebih menentukan ketimbang akal sehat dan hati nurani. Di sisi lain, kita tak boleh pesimistis. Sejak semula, dunia ini diciptakan Tuhan dalam keseimbangan. Ada siang ada malam, ada panas ada dingin. AS, Israel dan sekutunya bukanlah satu-satunya kekuatan nuklir dunia. Masih ada Rusia, Cina, Korea Utara, dan lain-lain.
Apakah negara-negara yang memiliki senjata nuklir itu akan bereaksi keras, lalu membantu Iran membalas? Apakah harapan kaum ekstremis agama tertentu bahwa kiamat bisa dipercepat akan terjadi? Kita tak pernah tahu dengan pasti, apa yang akan terjadi. Kita hanya penonton. Para penentu bukanlah kita. Yang penting, kita tetap menjadi manusia, yang tak kehilangan kemanusiaannya. Kita tetap waras, tidak gila! Sebagai umat beragama, kita juga berdoa semoga para penentu perang-damai di dunia saat ini tetap peduli pada keselamatan umat manusia. (*)
Apakah negara-negara yang memiliki senjata nuklir itu akan bereaksi keras, lalu membantu Iran membalas? Apakah harapan kaum ekstremis agama tertentu bahwa kiamat bisa dipercepat akan terjadi? Kita tak pernah tahu dengan pasti, apa yang akan terjadi. Kita hanya penonton. Para penentu bukanlah kita. Yang penting, kita tetap menjadi manusia, yang tak kehilangan kemanusiaannya.****