TIMESINDONESIA, JAKARTA – Desa bukan hanya tempat tinggal, tetapi ruang hidup yang menyimpan potensi besar dalam perjalanan Indonesia menuju masa depan berkelanjutan.
Namun sayangnya, ketika wacana energi terbarukan semakin ramai digaungkan di forum nasional maupun global, desa-desa kita justru sering diletakkan dalam posisi pasif-sekadar objek penerima, bukan subjek yang turut menentukan arah perubahan.
Padahal, desa bisa menjadi aktor utama dalam transisi energi, bila pembangunan energi diarahkan dengan pendekatan yang berpihak dan berbasis keadilan.
Transisi energi tidak bisa hanya dilihat sebagai soal teknis mengganti bahan bakar fosil dengan energi matahari, angin, atau bioenergi.
Ia adalah pergeseran paradigma: dari ketergantungan menuju kemandirian, dari eksploitasi menuju keberlanjutan, dari dominasi keadilan semu menuju keadilan sosial yang nyata.
Dan di sinilah letak pentingnya keterlibatan masyarakat desa bukan hanya karena mereka yang paling dekat dengan sumber daya terbarukan, tetapi juga karena mereka yang selama ini paling terdampak oleh model pembangunan energi yang eksploitatif.
Fakta menunjukkan bahwa lebih dari 12.000 desa di Indonesia belum memiliki akses listrik yang layak. Sebagian besar dari mereka tersebar di wilayah timur Indonesia atau daerah terpencil yang jauh dari pusat distribusi energi nasional.
Namun ironisnya, banyak dari desa-desa ini memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi pusat energi bersih: pancaran sinar matahari yang stabil, sumber air melimpah untuk mikrohidro, hingga limbah pertanian yang dapat diolah menjadi biogas. Namun realita hari ini masih jauh dari ideal.
Ketika panel surya dan turbin angin dipamerkan di pusat-pusat kota dan seminar internasional, desa-desa masih berjuang dengan genset, lilin, atau listrik yang hanya menyala beberapa jam.
Tidak sedikit program “elektrifikasi desa” yang dijalankan tanpa konsultasi, tanpa pelibatan warga, dan tanpa pelatihan berkelanjutan. Alhasil, banyak alat rusak karena tak ada yang bisa memperbaiki, atau mati karena tak sanggup membeli suku cadang.
Transisi energi yang adil mensyaratkan keterlibatan perempuan, petani, nelayan, dan kelompok marjinal lainnya dalam setiap proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Karena tanpa suara mereka, transisi ini hanya akan menjadi reproduksi ketimpangan dalam wajah baru.
Energi bersih harus memperkuat ketahanan ekonomi perempuan, bukan malah menambah beban kerja domestik. Ia harus membuat anak-anak desa bisa belajar lebih malam, bukan sekadar jadi proyek pameran.
Pengarusutamaan gender dalam kebijakan energi belum menjadi arus utama. Padahal, data menunjukkan bahwa perempuan di desa adalah pengguna sekaligus pengelola energi domestik yang paling signifikan.
Mereka yang mengatur penggunaan kayu bakar, minyak tanah, atau tabung gas, mereka pula yang paling terdampak jika sumber energi tidak tersedia atau harga melonjak.
Sayangnya, suara mereka kerap luput dalam musyawarah pembangunan desa ataupun dalam program bantuan energi. Salah satu potensi yang masih sering diabaikan adalah konversi sampah organik menjadi energi.
Di banyak desa, sampah rumah tangga, limbah pertanian, hingga kotoran ternak sebenarnya bisa diolah menjadi biogas yang mampu mencukupi kebutuhan energi harian.
Dengan pendekatan yang tepat, penanggulangan sampah bisa berjalan berdampingan dengan transisi energi, bahkan memperkuat ketahanan ekonomi lokal.
Sampah bukan hanya persoalan lingkungan, melainkan juga sumber daya energi yang bisa dikelola jika diberi perhatian serius. Namun realitasnya, masih banyak desa yang tidak memiliki sistem pemilahan sampah, apalagi unit pengolahan.
Padahal, jika dana desa digunakan untuk membangun Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) skala kecil, bukan hanya lingkungan yang lebih bersih yang kita dapatkan, tapi juga energi alternatif yang dikelola oleh masyarakat, terutama kelompok perempuan.
Dalam konteks ini, pengarusutamaan gender menjadi penting: karena perempuanlah yang paling sering bersentuhan dengan urusan domestik, termasuk pengelolaan sampah rumah tangga. Maka melibatkan mereka bukan hanya soal partisipasi, tapi keadilan.
Persoalan tidak berhenti pada kebijakan. Pendekatan pembangunan yang masih top-down, minim partisipasi, dan berorientasi proyek sering kali membuat energi bersih hanya menjadi jargon.
Ketika bicara SDGs dan target Net Zero Emission 2060, kita kerap lupa bertanya: apakah desa menjadi bagian dari proses ini, atau hanya pelengkap di belakang?
Apakah anak-anak muda di desa diajak memahami bagaimana teknologi energi bisa mereka kelola sendiri, atau sekadar menjadi buruh teknis dalam proyek-proyek korporat?
Sudah banyak inisiatif lokal yang membuktikan bahwa hal ini bisa dilakukan. Dari komunitas petani yang mengembangkan biogas dari kotoran ternak, hingga koperasi perempuan yang memasang PLTS untuk kebutuhan produksi UMKM.
Namun semua itu perlu ekosistem yang berpihak: pelatihan berbasis komunitas, regulasi yang fleksibel namun menjamin perlindungan, serta alokasi anggaran desa yang mengakui pentingnya kedaulatan energi.
Pemerintah daerah bisa memainkan peran strategis dengan menjadi penghubung antara teknologi, kebutuhan warga, dan keberlanjutan lingkungan. Sementara kampus dan lembaga riset perlu membumikan teknologi dalam bahasa yang dipahami masyarakat.
Transisi energi yang benar bukan yang paling cepat atau paling canggih. Tapi yang paling adil. Karena energi bukan sekadar listrik yang menyala, melainkan cahaya untuk kehidupan yang setara dan berdaulat. (*)
***
*) Oleh : Raden Siska Marini, Aktivis Pengarustamaan Gender dan Pembangunan Pedesaan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.