Diskursus Iddah di Banyumas: Ketika Aturan Agama, Sains, dan Gender Bertemu di Meja Perdebatan
M Zainal Arifin June 23, 2025 03:30 PM

TRIBUNJATENG.COM, PURWOKERTO - Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan meningkatnya kesadaran terhadap isu kesetaraan gender, ketentuan iddah dalam Islam kembali menjadi sorotan.

Iddah merupakan masa tunggu bagi perempuan yang bercerai atau ditinggal wafat suaminya sebelum boleh menikah lagi.

Meski aturan ini berakar dari teks agama klasik, relevansinya kini diuji oleh kemajuan sains dan tuntutan kesetaraan.

Dosen Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto, Dr. Muhammad Iqbal Juliansyahzen, mengungkapkan bahwa diskursus mengenai iddah di wilayah Banyumas mencerminkan keragaman pandangan ulama dalam merespons perkembangan zaman.

“Penelitian kami menunjukkan adanya perbedaan tajam dalam memahami dan menyikapi ketentuan iddah, terutama ketika dikaitkan dengan ilmu pengetahuan dan prinsip keadilan gender,” ujar Dr. Iqbal.

Penelitian UIN Saizu memetakan dua kelompok utama dalam menyikapi isu ini.

Kelompok pertama, yang disebut tekstualis, berpegang teguh pada ketentuan klasik.

Mereka memandang iddah sebagai syariat mutlak yang bertujuan menjaga kebersihan rahim dan menghindari kerancuan nasab.

Bagi mereka, teknologi modern tidak dapat menggantikan hikmah syariat yang sudah baku.

Dalam hal ini, iddah tetap hanya berlaku bagi perempuan.

Sebaliknya, kelompok kedua yang tergolong semi-tekstualis, bersikap lebih terbuka. 

Mereka tetap mengakui bahwa iddah adalah bagian dari syariat, namun menilai bahwa perkembangan sains dapat memperkuat tujuan hukum tersebut.

Dalam konteks gender, kelompok ini juga lebih progresif.

“Mereka mendukung kebijakan Kementerian Agama melalui Bimas Islam yang melarang perkawinan selama masa iddah."

"Kebijakan ini justru melindungi hak perempuan dari praktik poligami terselubung,” terang Dr. Iqbal.

Larangan negara terhadap pernikahan yang dilakukan pria ketika istrinya masih menjalani masa iddah menuai pujian sekaligus kritik.

Kelompok semi-tekstualis menyambut langkah ini sebagai bentuk perlindungan terhadap perempuan.

Namun kelompok tekstualis menolaknya dengan alasan pemisahan antara ranah agama dan negara.

“Bagi kelompok tekstualis, hukum agama tak bisa diintervensi negara."

"Perbedaan ini memperlihatkan kompleksitas relasi antara agama, sains, dan gender di masyarakat,” kata Dr. Iqbal.

Banyumas sebagai Cermin Masyarakat Egaliter

Banyumas dikenal sebagai daerah yang egaliter dan terbuka terhadap wacana keagamaan.

Penelitian ini mengungkap bahwa isu iddah masih menjadi ruang diskusi terbuka, terutama ketika dikaitkan dengan modernitas dan kesetaraan.

Sayangnya, menurut Dr. Iqbal, diskursus integrasi antara agama dan sains di Indonesia masih mengalami tantangan.

Banyak kalangan yang masih melihat keduanya sebagai dua entitas yang kontradiktif.

Begitu pula dalam hal gender, yang kerap dianggap sebagai wacana Barat semata.

Padahal, tegas Dr. Iqbal, Islam sejak awal justru mengusung prinsip keadilan dan anti diskriminasi.

“Islam hadir untuk menghapus segala bentuk ketidakadilan, termasuk dalam relasi gender."

"Maka penting untuk terus membangun pemahaman integratif antara agama, sains, dan nilai-nilai kesetaraan,” tegasnya.

Diskursus iddah di Banyumas bukan sekadar perdebatan hukum.

Ia mencerminkan dinamika sosial, pemikiran keislaman, dan perjuangan menuju kesetaraan dalam bingkai keadaban.

Dalam konteks ini, UIN Saizu Purwokerto hadir sebagai ruang akademik yang mendorong dialog kritis dan terbuka terhadap perkembangan zaman.

UIN Saizu Maju, UIN Saizu Unggul!!!

#UINSaizu #UINSaizuPurwokerto #Penelitian #DosenSyariah #Iddah

(Laili S/***)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.