Indonesiasentris Foundation Nilai Thayeb Gobel Layak Dijuluki Bapak Budaya Korporasi dan Teknologi
Siti Nurjannah Wulandari June 24, 2025 06:32 PM

TRIBUNNEWS.COM - Chairman Indonesiasentris Foundation, Alfi Rahmadi menilai Thayeb Mohammad Gobel layak diberikan julukan Bapak Budaya Teknologi dan Korporasi Indonesia.

Thayeb Mohammad Gobel merupakan pendiri Gobel Group yang merupakan pionir industri elektronik di Indonesia.

Thayeb Mohammad Gobel lahir di Gorontalo, 12 September 1930 dan wafat di Jakarta, 21 Juli 1984.

Thayeb Mohammad Gobel diketahui pernah mendapat penghargaan Satyalancana Pembangunan atas jasanya dalam mengembangkan industri elektronik di Indonesia. 

“Dalam kepeloporan budaya teknologi dan korporasi, kami mencatat minimal dua poin kontribusi besar Thayeb Gobel bagi bangsa Indonesia."

"Beliau bingkai semuanya dengan pengamalan lima sila beserta nilai-nilai Pancasila dalam dunia industri Indonesia modern. Beliaulah yang meletakan fondasi bagaimana penerapan Pancasila dalam kehidupan industri,” ungkap Alfi Rahmadi dalam bedah buku 'Praksis Pancasila, Pengamalan Ideologi di Perusahaan Gobel' (2024) karya Nasihin Masha, di Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Selasa (17/6/2025). 

BUKU TENTANG GOBEL - Nasihin Masha (kiri), penulis buku 'Praksis Pancasila, Pengalaman Ideologi di Perusahaan Gobel' dalam serah terima buku dengan Alfi Rahmadi, Chairman Indonesiasentris Foundation di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Selasa (17/6/2025).
BUKU TENTANG GOBEL - Nasihin Masha (kiri), penulis buku 'Praksis Pancasila, Pengalaman Ideologi di Perusahaan Gobel' dalam serah terima buku dengan Alfi Rahmadi, Chairman Indonesiasentris Foundation di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Selasa (17/6/2025). (ist)

Diketahui, Thayeb Gobel mengawali budaya teknologi dan korporasi sejak tahun 1954 saat ia mendirikan PT Transistor Radio Manufacturing di Cawang-Jakarta, untuk memproduksi merek radio “Tjawang” dan merakit Bemo, kendaraan roda tiga sebagai angkutan umum sekaligus traktor untuk mendukung mekanisasi pertanian. 

Itulah embrio Gobel Group yang kemudian dikenal produsen barang elektronik Panasonic Indonesia melalui rintisan perusahaan patungan dengan Matsushita Electric Industrial (Panasonic Corporation) asal Jepang pada 1970. 

Alfi Rahmadi mengungkapkan, jika buku karya Nasihin Masha itu diperdalam, maka studi tentang Grup Gobel dan Thayeb Gobel dapat menjadi salah satu wakil penting dari negara Asia-Afrika pascazaman dekolonialisasi.

Terutama tentang manajemen stakeholders ekonomi politik melalui pengalaman dunia industri. 

“Sejarah dunia mencatat, kekacauan politi, hukum, dan ekonomi dekolonialisasi pada era Perang Dingin disumbang dari ketidakmampuan rezim pemerintah bagaimana mendistribusikan akses dan kualitas sumber daya yang bernilai ekonomi selain disumbang dari lemahnya tata kelola SDM dan teknologi oleh internal kelembagaan industri swastanya,” papar Alfi. 

Melampaui praktik Humas, sambung Alfi, transformasi manajamen stakeholders adalah berbasis kinerja program atau proyek, manfaat teknologi, serta etika dan ekologi, yang melibatkan eksternalitas lembaga, terutama pihak yang terkena dampak proyek secara langsung. 

Ruang lingkup eksternal dan internal manajemen stakeholder—dalam dunia industri dan bisnis—merupakan integrasi minat dan harapan para karyawan, pemasok, pelanggan, dan komunitas dari adanya program atau proyek suatu lembaga bisnis.  

Lanjut Alfi, kepeloporan manajemen stakeholder Grup Gobel di jagat dunia industri Indonesia dinilai sangat nampak pada keputusan penandatanganan kerjasama bisnis PT Transistor Radio Manufacturing dan Matsushita Electric Industrial Co., Ltd pada tahun 1960. 

“Keputusan itu super progresif, karena hasilnya luar biasa dahsyat,” catat Alfi.

Rahmadi yang menjabat Tenaga Ahli SDM dan Riset Manajemen Talenta Nasional Bappenas RI 2024 itu menilai keputusan itu mencatat berbagai pencapaian.

Termasuk membantu rakyat Indonesia menikmati perhelatan Asian Games IV yang diselenggarakan di Jakarta 1962 melalui TV layar hitam-putih yang mereka produksi.

"Dan mereka menjadi pelopor produsen TV berwarna di tanah air yang produk pertamanya diberikan secara simbolik kepada Ibu Negara Fatmawati Soekarno."

“Sejarah Indonesia modern mencatat, Asian Games 1962 merupakan setruman proyek Ganefo dan Connefo, sebagai bentuk perlawanan Bung Karno terhadap A.S dan Inggris sebagai pemimpin Blok Barat yang ditandai keluarnya Indonesia dari keanggotan PBB,” papar Alfi. 

Dari berbagai peristiwa politik hukum dan ekonomi politik dekade 1960-1970an di tanah air, sambung Alfi, terasa Thayeb Gobel telah pasang ‘kuda-kuda’ sejak awal untuk merespon peristiwa bisnis penting atau potensi kritis.

“Beliau seolah menyediakan Grup Gobel sebagai tempat konfirmasi atas situasi karut-marut ekonomi politik zaman Bung Karno dan pemerintahan awal Soeharto, bahwa manajemen stakeholder dunia industri dalam relasi kuasa mesti berpijak justru dari nilai-nilai Pancasila sebagaimana diamalkan Thayeb Gobel dan diterapkan kali pertama di Gobel Group,” ujar Alfi. 

Kepeloporan Thayeb Gobel dalam budaya teknologi dan korporasi, sebut Alfi Rahmadi, sangat tampak pada keberlanjutan kemandirian dan kesejahteraan dalam ekosistem industri generasi pertama di Indonesia.  

Beberapa studi budaya korporasi di dunia Barat dekade 1980-2000an menunjukan, bahwa kesuksesan berkelanjutan beberapa perusahaan nasional dan transnasional yang bertahan dari badai krisis dan kompetisi bisnis ternyata tidak didominasi dari kualitas secara angka-angka (numerikal) bisnis atau aspek profitabilitas, tetapi budaya organisasi. 

Alfi mencontohkan, Southwest Airlines, Wal-Mart, Tyson Foods, Circuit City, dan Plenum 3 Publishing, bukan pemimpin utama dalam pangsa pasar masing-masing sektor, tetapi mereka mengungguli semua perusahaan yang ada dalam persaingan pasar sektoralnya. Bahkan tanpa keunggulan kompetitif apa pun. 

“Pembeda utama mereka dengan perusahaan lain yang bangkrut atau diakuisisi sebagai keunggulan komparatif mereka adalah budaya organisasinya,” papar Alfi.

Budaya organisasi tersebut seringkali tercipta dari pendiri perusahaan yang mencerminkan ketajaman visi yang diusung dam kemudian dikembangkan secara sadar dan sistematis.

“Ini adalah proses untuk memulai perubahan budaya seperti cakrawala berpikir, mental dan karakter, yang digunakan dalam intervensi pengembangan organisasi,” papar Alfi.  

"Thayeb Gobel mentransmisi nilai-nilai Pancasila pada mega proyek tersebut dalam manajemen internalnya; pada gilirannya kelak mempengaruhi sistem ketahanan nasional, yang dia mulai dari lingkungan keluarga besar Grup Gobel,” sambung Alfi. 

Sementara itu, ia juga mengatakan putra Thayeb Gobel, Rachmat Gobel dalam paparannya saat buku ini dibedah di Universitas Muhammadiyah Jakarta pada 24 Oktober tahun lalu, menyebut sang ayah menolak tawaran Bung Karno untuk menjadi jenderal militer usai Revolusi Indonesia. 

Thayeb Gobel disebut lebih memilih menjadi ‘jenderal bisnis', suatu pilihan yang tak banyak diputuskan bagi kaum Revolusi Indonesia zaman itu. 

Dengan menempatkan SDM karyawan sebagai aset, mendukung penuh adanya Sarikat Pekerja Grup Gobel dekade 1980-an atau kali pertama penerapannya di tanah air secara modern, sistem gaji dan bonus berdasarkan keadilan distributif dan resoratif.

Selain itu, penerapan upacara bendara kali pertama bagi industri di Indonesia, dan sebagainya, menunjukan keberanian menerapkan hal-hal demikian berdampak besar bagi kesejahteraan berkelanjutan bagi pimpinan dan karyawan Grup Gobel. 

“Dari karya tulis Nasihin dalam buku ini membuat kita tahu bahwa Thayeb Gobel sangat memperhatikan akses, kualitas dan relevansi SDM bagi pembangunan nasional melalui sistem rekrutmen serta peningkatan kapasitas dan apresiasi karyawan yang digarap oleh manajemen modern serta tidak mlulu berorientasi pada laba tetapi edukasi dan transfer teknologi. Intinya investasi SDM dunia industri,” papar Alfi.

Sementara itu pada kesempatan yang sama, Rachmat Gobel mengatakan membangun pabrik tidak hanya mementingkan untung-rugi. 

Berbeda dengan membangun industri, harus membangun ekosistem, memikirkan keberlanjutan industri, dan yang paling penting adalah berinvestasi di bidang SDM.

“Kunci transfer teknologi itu pada pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia, sehingga membangun industri juga bukan sekadar menyediakan lapangan kerja, tapi harus ada transfer teknologinya,” papar Rachmat Gobel.

(Tribunnews.com)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.