TIMESINDONESIA, PAMEKASAN – Negara telah berkomitmen untuk menjaga lingkungan hidup dari kerusakan dan pencemaran. Di samping dituangkan di dalam UUD 1945, komitmen tersebut ditindaklanjuti dengan dibuatnya undang-undang yang mengatur lingkungan hidup secara umum (lex generalis), dan juga undang-undang yang secara khusus (lex specialis) mengatur sektor bidang lingkungan hidup, seperti sumber daya alam (SDA), kehutanan, perkebunan, tata ruang, dan lain sebagainya.
Perlindungan negara terhadap lingkungan hidup sebagai aspek yang sangat krusial dan menyangkut hak asasi manusia (HAM) di Indonesia telah dituangkan di dalam konstitusi, yakni Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan."
Perlindungan lingkungan hidup sebagaimana yang dituangkan dalam norma UUD 1945 tersebut menunjukkan betapa lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah kewajiban (mandatory) yang harus terus dilakukan dan dijaga oleh negara.
Problematika Kerusakan dan Pencemaran
Kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup merupakan problematika serius yang telah memantik diskursus dan perhatian semua kalangan. Diskursus tersebut tidak hanya muncul dalam forum-forum domestik, tetapi juga menjadi hal urgen dalam forum-forum ilmiah internasional.
Baik diprakarsai oleh pemerintah melalui kementerian dan lembaga-lembaga negara yang memiliki kewenangan, kalangan ahli/akademisi di perguruan tinggi, praktisi di lembaga bantuan hukum (LBH), maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang fokus pada kajian lingkungan hidup, semuanya mendiskusikan problematika lingkungan hidup yang secara kuantitas dan kualitas kerusakan serta pencemarannya semakin meningkat.
Takdir Rahmadi (2016) menyatakan beberapa aktivitas yang merusak lingkungan hidup, seperti penggundulan hutan, lahan kritis, menipisnya lapisan ozon, pemanasan global (global warming), tumpahan minyak di laut, ikan mati di anak sungai akibat zat-zat kimia, dan punahnya spesies tertentu adalah beberapa contoh riil dari problem lingkungan hidup yang dijumpai secara kasat mata.
Dalam sejumlah literatur, masalah-masalah lingkungan dapat digolongkan ke dalam tiga bentuk, yakni pencemaran lingkungan (pollution), pemanfaatan lahan secara salah (land misuse), dan pengurasan atau habisnya sumber daya alam (natural resource depletion).
Namun, jika dipandang dalam perspektif hukum yang berlaku di Indonesia, masalah-masalah lingkungan hanya dikelompokkan ke dalam dua bentuk, yakni pencemaran lingkungan (environmental pollution) dan perusakan lingkungan (environmental damage).
Muhammad Amin Hamid, dalam artikelnya yang berjudul Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Hidup dalam Menanggulangi Kerugian Negara (2016), menyatakan bahwa kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup di Indonesia yang semakin memprihatinkan dan bahkan telah membahayakan hidup dan kehidupan seluruh makhluk hidup-tidak lepas dari pandangan manusia yang mengabaikan hakikat lingkungan hidup sebagai kehidupan yang melingkupi tata dan nilai-nilai kehidupan yang ada di dalamnya, serta yang menjaga keberlanjutan lingkungan hidup dan SDA, maupun keadilan sosial bagi seluruh manusia, berkaitan dengan hak atas lingkungan hidup pada saat ini maupun bagi generasi yang akan datang.
Demikian pula, hal yang perlu dipertegas adalah bahwa lingkungan hidup harus dipandang dan diperlakukan sebagai subjek, dikelola untuk kehidupan berkelanjutan, dan tidak semata-mata untuk aspek pertumbuhan pembangunan.
Dalam kacamata pandang penulis, problematika lingkungan hidup yang meliputi kerusakan dan pencemaran sampai saat ini belum menemukan penyelesaian atau solusi konkret. Realitas empiris telah menunjukkan bahwa kompleksitas penyebab dari kerusakan dan pencemaran tersebut tidak hanya pada faktor perilaku hidup manusia dalam ruang lingkup sosial, melainkan juga munculnya hasrat pemanfaatan SDA untuk kepentingan ekonomi dan bisnis yang melampaui batas kewajaran.
Di sisi lain, lemahnya aturan hukum (norma sanksi) bagi pelaku kejahatan lingkungan hidup, baik personal maupun korporasi, telah menunjukkan bahwa secara tidak langsung lingkungan hidup dengan segala SDA yang dimiliki telah dibajak secara terang-terangan tanpa penegakan sanksi yang seimbang. Oleh karenanya, konsep kedaulatan lingkungan hidup sebagaimana yang dituangkan di dalam norma UUD 1945 hanyalah wacana di atas kertas yang tak bertaring ketika dihadapkan pada realitas.
Jimly Asshiddiqie (2016) menyatakan bahwa kekalahan kepentingan lingkungan hidup dalam kompetisi yang tidak seimbang melawan kepentingan-kepentingan lain tidak hanya terjadi di forum-forum teknis eksekutif, melainkan juga di forum-forum politik di lingkungan lembaga legislatif.
Oleh sebab itu, di samping adanya undang-undang lingkungan hidup yang berorientasi pada keberpihakan perlindungan lingkungan hidup, di sisi lain ada banyak pula produk undang-undang di bidang lainnya yang justru pada faktanya tidak ramah terhadap lingkungan hidup.
Kenyataan tersebut harus kita terima sebagai sebuah keniscayaan yang terjadi dalam lingkungan lembaga perwakilan rakyat yang menjadi muara dari semua jenis kepentingan yang hidup dan saling bertarung dalam masyarakat.
Memperkuat Piranti Hukum
Komitmen mengembalikan kedaulatan lingkungan hidup, mau tidak mau, harus segera dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan seluruh elemen masyarakat. Komitmen tersebut, paling tidak, dapat dimulai dari upaya memperkuat piranti hukum, seperti pembaruan terhadap semua undang-undang di bidang lingkungan hidup, instansi penegak hukum berikut sumber daya manusia (SDM), proses hukum, serta membangun kesadaran hukum di dalam masyarakat terhadap pelindungan dan kelestarian lingkungan hidup.
Keberadaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), yang menjadi lex generalis (payung hukum umum) dalam pencegahan dan penindakan delik lingkungan hidup, secara konseptual masih menyisakan beberapa persoalan.
Terutama terkait asas yang dianut di dalamnya, karena cenderung longgar terhadap pelaku kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang selama ini sangat meresahkan terhadap masa depan kelestarian dan keberlanjutan lingkungan hidup.
Dengan demikian, perlu kiranya dilakukan evaluasi terhadap UU PPLH maupun undang-undang di bidang lingkungan hidup lainnya untuk dilakukan revisi yang lebih baik dan lebih ketat (strict) bagi pelaku delik lingkungan hidup, terutama dari segi asas dan norma kepidanaan maupun keperdataan, yang berorientasi terhadap hak asasi lingkungan hidup bagi manusia maupun makhluk hidup lainnya, sebagaimana amanah yang telah tertuang di dalam UUD 1945.(*)
***
*) Oleh : Ribut Baidi, Pengacara dan Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Madura (UIM), Pengurus Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
__________
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.