5 Studi Kasus PPG 2025 untuk Kelas 5 SD Sebanyak 500 Kata
Tiara Shelavie June 27, 2025 01:32 PM

TRIBUNNEWS.COM - Simak 5 studi kasus PPG 2025 untuk kelas 5 SD sebanyak 500 kata sebagai referensi.

Contoh studi kasus PPG 2025 untuk kelas 5 SD diperuntukkan bagi bapak/ibu guru yang akan mengikuti Uji Kompetensi Peserta Pendidikan Profesi Guru (UKPPPG).

Saat UKPPG, guru diminta membuat studi kasus PPG 2025 untuk kelas 5 SD maksimal 500 kata berdasarkan pengalaman nyata dengan bantuan 4 pertanyaan pemantik.

Ketentuan 500 kata dalam studi kasus PPG untuk menjawab keseluruhan pertanyaan.

Bagi bapak/ibu guru yang kesulitan dapat menggunakan contoh studi kasus PPG 2025 untuk SD kelas 5 di bawah ini sebagai referensi.

Berikut contoh 5 studi kasus PPG 2025 untuk kelas 5 SD sebanyak 500 kata sebagai referensi, dirangkum dari berbagai sumber:

"Anda sebagai seorang guru pasti pernah mengalami permasalahan dalam pembelajaran. Tuliskan pengalaman riil (nyata) Anda maksimal 500 kata, terkait:

  • Permasalahan apa yang pernah Anda hadapi?
  • Bagaimana upaya Anda untuk menyelesaikannya?
  • Apa hasil dari Upaya Anda tersebut?
  • Pengalaman berharga apa yang bisa Anda petik ketika menyelesaikan permasalahan tersebut?"

1. Studi Kasus PPG 2025 untuk Kelas 5 SD: Siswa Kurang Fokus pada Materi IPAS

  • Permasalahan apa yang pernah Anda hadapi?

Permasalahan yang pernah saya hadapi adalah hasil belajar pada materi IPAS Sifat-Sifat Cahaya siswa kelas 5 masih rendah. Sebab siswa kurang fokus ketika guru menyampaikan materi.

Guru juga belum sepenuhnya menggunakan pembelajaran yang bervariasi untuk mengembangan kegiatan belajar yang mendukung keterlibatan siswa untuk membantu penerapan konsep-konsep IPA sehingga siswa menjadi pasif dan merasa cepat bosan.

  • Bagaimana upaya Anda untuk menyelesaikannya?

Untuk memperbaiki proses hasil belajar siswa melalui model pembelajaran yang inovatif, menjadikan peserta didik aktif dalam pembelajaran IPAS dan memberikan pengalaman bermakna pada siswa dapat menggunakan model pembelajaran Experiental Learning.

Experiental learning adalah belajar sebagai proses membangun pemahaman melalui transformasi pengalaman. Artinya, dalam proses belajar tersebut peserta didik aktif dalam mengelolah pengalaman mereka untuk memperoleh pemahaman yang lebih
dalam.

Terdapat empat tahap dalam melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan model Experiental Learning, yaitu:

  1. Concrete experience: Pada tahap ini, guru memberikan pertanyaan stimulasi kepada siswa. Melalui tanya jawab tersebut, guru menggali pengetahuan awal peserta didik dengan pertanyaan stimulasi yang memungkinkan siswa menemukan pengalamannya masing-masing. Siswa juga melakukan pengamatan secara langsung yang ada di lingkungan mengenai cahaya dan sifatnya.
  2. Observasi refleksi: siswa merefleksikan hasil pengamatan pengamatan yang telah dilakukan berdasarkan pengetahuan yang siswa miliki. Siswa berdiskusi dengan anggotanya masing-masing mengenai apa yang telah ditemukan dalam pengamatan tersebut.
  3. Abstrak conceptualization: Siswa mengonseptualisasikan apa yang telah diamati dari yang konkret menjadi abstrak. Tahap ini sebagai tahap penyimpulan sementara siswa. Pada tahap ini, guru memberikan penjelasan mengenai sifat cahaya.
  4. Eksperimen aktif: Siswa melakukan percobaan aktif yaitu secara berkelompok melakukan percobaan untuk membuktikan bahwa sifat-sifat cahaya yaitu merambat lurus, menembus benda bening, dapat dipantulkan, dapat dibiaskan, dan dapat diuraikan dengan penggunaan media sederhana.
  • Apa hasil dari Upaya Anda tersebut?

Hasil dari upaya tersebut adalah dalam proses pembelajaran menggunakan model Experiental Learning, sikap siswa sudah melaksanakan kerja sama yang baik dalam melakukan kerja kelompok. 

Hal tersebut dapat dibuktikan siswa aktif dalam tahap pertama yaitu pengalaman konkret. Setiap anggota kelompok saling berdiskusi dan berinteraksi dalam melakukan pengamatan mengenai sifat cahaya di sekitar lingkungan. 

Dalam melakukan percobaan tentang sifat cahaya secara sederhana, setiap anggota kelompok dapat bekerjasama dengan melakukan tugas sesuai kesepakatan, saling berkolaborasi dalam menyelesaikan tugas dan saling menghargai teman. Hasil belajar siswa juga meningkat.

  • Pengalaman berharga apa yang bisa Anda petik ketika menyelesaikan permasalahan tersebut?

Pengalaman berharga yang bisa saya petik adalah ternyata sebagai guru juga harus terus meng-upgrade pengetahuan tentang proses pembelajaran. Model pembelajaran bukan hanya PjBL atau PBL. Kita bisa menerapkan Model Experiental Learning khususnya untuk mata pelajaran IPAS. 

Melalui model pembelajaran ini, membuat pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan peserta didik pada mata pelajaran IPAS meningkat dengan baik. Selama proses pembelajaran dimulai, peserta didik menjadi lebih efektif, aktif, kreatif dan bertanggung jawab dalam pembelajaran.

2. Studi Kasus PPG 2025 untuk Kelas 5 SD: Mengatasi Kurangnya Keterampilan Kolaborasi dalam Kerja Kelompok

  • Permasalahan apa yang pernah Anda hadapi?

Di kelas 5, saya sering memberikan tugas kelompok untuk melatih kerja sama. Namun, saya menemukan masalah klasik: ada siswa yang terlalu dominan, ada yang pasif dan tidak berkontribusi, dan ada yang suka berdebat sehingga tugas tidak selesai tepat waktu. Kondisi ini membuat beberapa siswa enggan kerja kelompok dan menyebabkan hasil proyek tidak maksimal.

  • Bagaimana upaya Anda untuk menyelesaikannya?
  1. Pembagian Peran Jelas: Saya tidak lagi membiarkan siswa memilih peran sendiri. Sebelum tugas dimulai, saya membagi peran dalam kelompok secara jelas (misalnya: Ketua, Notulen, Juru Bicara, Pencari Data, Desainer). Setiap peran memiliki deskripsi tugas spesifik. Ini mengurangi dominasi dan memastikan semua berkontribusi.
  2. Penerapan Rubrik Penilaian Kelompok dan Individu: Saya membuat rubrik penilaian yang tidak hanya menilai hasil akhir, tetapi juga proses kolaborasi. Ada poin untuk kontribusi individu, kerja sama, dan komunikasi efektif. Ini mendorong siswa yang pasif untuk aktif dan meredam dominasi.
  3. Sesi "Diskusi Emas": Di awal pertemuan kelompok, saya melatih siswa untuk mendengarkan, menghargai pendapat, dan berbicara secara bergantian. Saya mengajarkan frasa seperti "Bagaimana pendapatmu, Budi?" atau "Saya setuju dengan ide Ani." Ini membangun keterampilan sosial dan empati.
  4. Fasilitasi Aktif: Selama kerja kelompok, saya berkeliling untuk mengamati dinamika, bukan hanya memberikan jawaban. Saya mengajukan pertanyaan pemicu, seperti "Apa peranmu di sini?" atau "Bagaimana kalian mengatasi perbedaan pendapat ini?", yang berfungsi sebagai Tut Wuri Handayani dari belakang.
  5. Refleksi Kelompok: Setelah tugas selesai, setiap kelompok wajib melakukan refleksi singkat tentang proses kerja sama mereka: apa yang berjalan baik dan apa yang perlu diperbaiki.
  • Apa hasil dari Upaya Anda tersebut?

Keterampilan kolaborasi siswa meningkat pesat. Mereka menjadi lebih teratur dalam kerja kelompok dan mulai menghargai peran masing-masing. Proyek kelompok menjadi lebih inklusif dan berkualitas. Siswa yang awalnya pasif mulai berani bersuara karena perannya jelas, dan yang dominan belajar untuk mendengarkan.

  • Pengalaman berharga apa yang bisa Anda petik ketika menyelesaikan permasalahan tersebut?

Kolaborasi bukanlah keterampilan yang datang secara alami; ia harus diajarkan dan dilatih secara terstruktur. Guru harus menjadi fasilitator aktif yang mengelola dinamika kelompok, bukan sekadar pengawas. Penilaian proses sama pentingnya dengan penilaian hasil untuk menanamkan nilai-nilai kerja sama.

3. Studi Kasus PPG 2025 untuk Kelas 5 SD: Mengatasi Ketidakdisiplinan dalam Mengikuti Instruksi

  • Permasalahan apa yang pernah Anda hadapi?

Beberapa siswa sering tidak menyelesaikan pekerjaan rumah (PR), datang terlambat, atau tidak membawa buku pelajaran. Mereka cenderung menganggapnya sepele, menunjukkan kurangnya tanggung jawab.

  • Bagaimana upaya Anda untuk menyelesaikannya?

Saya Menerapkan UbD dan TaRL dalam penanaman disiplin.

  1. Tujuan Jelas (UbD): Saya menetapkan tujuan: "Siswa bertanggung jawab atas tugas dan kewajiban mereka."
  2. Konsekuensi Logis: Saya menerapkan sistem konsekuensi yang logis, bukan hukuman. Jika PR tidak dikerjakan, mereka menyelesaikannya saat istirahat.
  3. Sistem "Tanggung Jawab" (TaRL): Saya memberikan tanggung jawab kecil yang bisa mereka penuhi sesuai kemampuan, seperti menjadi "pemimpin barisan" atau "pengingat tugas".
  4. Apresiasi Konsisten: Saya memberikan pujian dan apresiasi yang sangat besar kepada siswa yang menunjukkan ketekunan dan tanggung jawab.
  • Apa hasil dari Upaya Anda tersebut?

Tingkat penyelesaian PR dan kedisiplinan meningkat pesat. Siswa menjadi lebih sadar akan tanggung jawab mereka sendiri. Konsekuensi logis lebih efektif daripada hukuman. Mereka mulai menunjukkan inisiatif dan tanggung jawab tanpa perlu terus diingatkan.

  • Pengalaman berharga apa yang bisa Anda petik ketika menyelesaikan permasalahan tersebut?

Disiplin dan tanggung jawab harus diajarkan dan dilatih. Konsekuensi yang logis dan konsisten lebih efektif. Memberikan tanggung jawab adalah cara terbaik untuk menumbuhkan rasa kepemilikan dan menumbuhkan kesadaran diri pada siswa.

4. Studi Kasus PPG 2025 untuk Kelas 5 SD: Siswa Kesulitan Memahami Materi Perubahan Wujud Benda (IPAS)

  • Permasalahan apa yang pernah Anda hadapi?

Saat mengajarkan materi “Perubahan Wujud Benda”, sebagian besar siswa tampak kebingungan membedakan antara mencair, membeku, dan menyublim. Hasil asesmen formatif menunjukkan hanya 40 persen siswa yang mencapai KKM. Banyak siswa tidak bisa menjelaskan konsep tersebut secara ilmiah, hanya menghafal tanpa pemahaman.

  • Bagaimana upaya Anda untuk menyelesaikannya?

Saya menerapkan prinsip Understanding by Design (UbD). Pertama, saya menetapkan tujuan akhir pembelajaran: siswa mampu menjelaskan perubahan wujud benda melalui pengamatan.

Lalu, saya merancang kegiatan berbasis eksperimen sederhana, seperti melelehkan es batu, mendidihkan air, dan mengamati kapur barus. Aktivitas ini dilakukan berkelompok untuk menumbuhkan rasa ingin tahu dan berpikir kritis.

Saya juga memberikan lembar kerja yang membimbing siswa menghubungkan konsep dengan fenomena nyata.

  • Apa hasil dari Upaya Anda tersebut?

Siswa menjadi lebih memahami konsep perubahan wujud. Setelah evaluasi ulang, 85 persen siswa mencapai KKM. Mereka juga lebih aktif berdiskusi dan mampu memberikan penjelasan ilmiah yang sederhana namun tepat.

  • Pengalaman berharga apa yang bisa Anda petik ketika menyelesaikan permasalahan tersebut?

Saya menyadari bahwa pembelajaran bermakna tidak hanya soal hafalan, tetapi bagaimana kita membawa siswa pada pemahaman mendalam melalui tahapan yang sistematis dan berorientasi pada hasil belajar yang jelas.

5. Studi Kasus PPG 2025 untuk Kelas 5 SD: Kurangnya Keterlibatan Siswa dalam Diskusi Kelas

  • Permasalahan apa yang pernah Anda hadapi?

Saat berdiskusi topik tentang keragaman budaya Indonesia, hanya sebagian kecil siswa yang aktif. Sebagian besar siswa dari latar belakang suku minoritas tampak diam dan ragu mengungkapkan pendapat.

  • Bagaimana upaya Anda untuk menyelesaikannya?

Saya menerapkan pendekatan Culturally Responsive Teaching (CRT). Saya membuka pelajaran dengan cerita pribadi dari beberapa daerah dan mengundang siswa menceritakan budaya asalnya. 

Saya juga menyusun tugas kelompok yang meminta siswa membandingkan adat istiadat masing-masing secara setara, bukan satu budaya yang dominan. Dalam evaluasi, saya menggunakan format lisan dan gambar, bukan hanya tulisan.

  • Apa hasil dari Upaya Anda tersebut?

Siswa lebih percaya diri, terutama mereka yang sebelumnya pasif. Mereka merasa dihargai dan berani berbicara tentang budayanya. Kelas menjadi lebih inklusif dan saling menghargai keberagaman.

  • Pengalaman berharga apa yang bisa Anda petik ketika menyelesaikan permasalahan tersebut?

Saya memahami pentingnya mengakomodasi keberagaman budaya dalam pembelajaran. Ketika siswa merasa identitasnya diterima, mereka akan lebih aktif dan termotivasi.

Beberapa studi kasus PPG 2025 merupakan hasil olah AI, sehingga bapak/ibu guru perlu melakukan modifikasi.

(Sri Juliati)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.