TRIBUNNEWS.COM - Bagi Israel, program nuklir Iran adalah ancaman nyata bagi eksistensi negara mereka.
Alasan itu pula, Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu memerintahkan serangan udara ke tiga situs nuklir Iran di tiga wilayah, yakni Natanz, Fordow, dan Isfahan.
Israel tak percaya narasi yang dibangun Iran bahwa fasilitas nuklir mereka bersifat damai demi kepentingan sipil.
Iran juga tegas menolak untuk menghentikan program nuklirnya atas dasar kecurigaan belaka.
Perang tak terhindarkan setelah serangan Israel melalui operasi "Rising Lion" dilancarkan ke tiga situs tersebut secara bertahap, dimulai sejak 13 Juni 2025.
Iran sebagai negara berdaulat membalas serangan dengan rudal dan pesawat tempur tanpa awak. Kota-kota di Israel jadi target, termasuk Tel Aviv dan Haifa.
Jauh sebelum menjadi ancaman strategis dan titik fokus konfrontasi bagi Israel, nuklir Iran sebetulnya lahir dari aliansi dengan Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat lainnya, di bawah naungan Shah yang memerintah negara itu, sebelum Revolusi Islam terjadi tahun 1979 di bawah bimbingan Ayatollah Khomeini.
Pada tahun 1960-an dan 1970-an, Iran ketika Shah berkuasa, dianggap sebagai sekutu dekat Barat. Bahkan termasuk Israel.
Iran menerima bantuan Amerika dan teknologi Prancis dan Jerman untuk membangun reaktor nuklir sipil, dan juga bercita-cita untuk memiliki senjata nuklir.
"Kami memberi Iran peralatan awalnya," kata Robert Einhorn, mantan pejabat pengawasan senjata yang bekerja untuk AS dalam negosiasi dengan Iran untuk membatasi program nuklirnya, seperti dikutip The New York Times.
Pada tahun 1975, Shah menandatangani perjanjian dengan anak perusahaan konglomerat Jerman Siemens. Ia membuat kemajuan besar di bidang ini.
Perusahaan Kraftwerk Union, menurut kontrak, seharusnya membangun dua reaktor tenaga nuklir di Bushehr yang masing-masing berkapasitas 1.300 megawatt.
Setahun setelah penandatanganan kontrak, pekerjaan konstruksi pada kedua reaktor sudah berlangsung.
Pekerjaan terus berlanjut tanpa henti sampai terjadi Revolusi Islam tahun 1979 sekaligus berakhirnya kekuasaan Shah di Iran, dan pecahnya Perang Iran-Irak di tahun berikutnya.
Ayatollah Khomeini, yang menjadi Pemimpin Tertinggi setelah revolusi, sebetulnya tidak menyukai rencana nuklir Shah.
"Atom adalah hasil karya iblis," kata Khomeini, sesaat sebelum berkuasa, seperti dikutip dari Ynet News.
Sementara, dalam artikel terbarunya untuk Foreign Policy berjudul "When the Ayatollah Said No to Nukes", Gareth Porter, penulis buku Manufactured Crisis: The Untold Story of the Iran Nuclear Scare (Just World Book, 2014), menegaskan sikap Khomeini berkait senjata nuklir.
Khomeini menentang pengembangan senjata tersebut. Bahkan ditegaskannya bahwa produksi senjata semacam itu haram.
Tak pelak, program bom Iran, yang dianggap sebagai ambisi nuklir Shah, dihentikan atas perintah Khomeini.
Prancis dan Jerman tidak menekan Iran untuk melanjutkan proyek tersebut.
Sedangkan, AS menekan pemerintahnya agar tidak bekerja sama dengan fundamentalis Muslim yang merebut kekuasaan di Iran.
Situasi berubah
Artikel lengkap oleh Ron Ben-Yishai, yang diterbitkan November 1991 di Yedioth Ahronoth tentang sejarah program nuklir Iran, menyebut situasi berubah pada tahun 1985.
Edisi internasional surat kabar Iran Kayhan di bulan November tahun 1985, menerbitkan iklan yang menyerukan para ilmuwan nuklir Iran di luar negeri untuk kembali ke Iran dan berpartisipasi dalam konferensi ilmiah tentang nuklir.
Konferensi tersebut dijadwalkan berlangsung di Bushehr pada bulan Maret 1986.
Rupanya, Irak memantau pengumuman tersebut.
Presiden Irak Saddam Hussein memerintahkan angkatan bersenjatanya menyerang reaktor Bushehr beberapa kali.
Kala itu reaktor Bushehr sedang tahap pembangunan.
Ahli yang diundang pemerintah Iran untuk menilai kerusakan reaktor tidak lain adalah Dr. Abd al-Qadeer Khan, otoritas nuklir tertinggi Pakistan yang dikenal sebagai "bapak bom Pakistan."
Situasi tersebut membuat juru bicara parlemen Iran saat itu, yakni Akbar Hashemi Rafsanjani, berusaha mempengaruhi Khomeini agar menghentikan penentangannya terhadap program senjata nuklir, untuk mengimbangi kekuatan militer Irak yang tidak konvensional.
Akhirnya, program nuklir Iran secara mengejutkan mendapat "persetujuan" dari otoritas tertinggi di Republik Islam.
Presiden Iran saat itu, Ali Khamenei--sekarang menjadi Pemimpin Tertinggi--menyampaikan pidato di The Atomic Energy Organization of Iran (AEOI), bahwa Iran memperoleh momentum untuk mengembangkan senjata nuklir.
Awalnya, Iran menerima bantuan dari Tiongkok, Pakistan, dan Argentina. Belakangan, bantuan juga datang dari Korea Utara.
Runtuhnya Uni Soviet menghadirkan peluang emas bagi Iran di bawah Rafsanjani untuk memperoleh apa yang sebelumnya ditolaknya.
Iran dengan cepat menyadari potensi ribuan ilmuwan nuklir Soviet yang menganggur yang menawarkan pekerjaan untuk jasa mereka.
Tahun 1991, artikel berjudul “Iran on the Path to the Bomb” mengatakan para ilmuan dari Israel memperkirakan bahwa dengan bantuan Pakistan dan Argentina, dalam tujuh atau delapan tahun ke depan, Iran akan memiliki bom atom seperti yang pernah dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki. Bahkan yang lebih canggih dari itu.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu telah mengikuti perkembangan program nuklir Iran sejak tahun-tahun itu.
Februari 1993, saat masih menjadi anggota Knesset, ia menulis opini di Yedioth Ahronoth berjudul "The Great Danger".
"Ancaman paling berbahaya bagi keberadaan Israel saat ini tidak datang dari negara-negara Arab tetapi dari Iran," tulis Netanyahu.
Para penguasa Iran, kata Netanyahu, berulang kali menyatakan bahwa itu akan menjadi bom dan target pertamanya, Israel.
Ia memperkirakan, berdasarkan para ilmuan saat itu, bahwa Iran akan memiliki bom pada tahun 1999.
Seiring waktu, Irak bukan lagi ancaman bagi Iran.
Intervensi AS berhasil menggulingkan Saddam Hussein pada 2003.
Saddam ditangkap dan diadili pada tahun 2003. Ia dinyatakan bersalah dan divonis hukuman mati pada 5 November 2006.
Eksekusi Saddam dilakukan pada 30 Desember 2006.