TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua DPP Partai Golkar yang juga Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Lamhot Sinaga, menegaskan bahwa DPR akan segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan penyelenggaraan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah.
Lamhot menegaskan revisi Undang-Undang Pemilu menjadi kewajiban konstitusional DPR setelah keluarnya putusan MK tersebut.
“Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat (final and binding). Oleh karena itu, DPR memiliki kewajiban konstitusional untuk segera melakukan revisi terhadap Undang-Undang Pemilu guna menyesuaikan dengan putusan tersebut,” kata Lamhot dalam keterangannya, Jumat (27/6/2025).
Putusan MK menyatakan Pemilu DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota akan digelar bersamaan dengan Pilkada, sedangkan Pemilu Presiden, DPR RI, dan DPD RI tetap dilakukan lebih dulu sesuai jadwal nasional.
Lamhot menilai kebijakan baru ini akan berdampak pada perpanjangan masa jabatan anggota DPRD secara sementara hingga Pilkada berikutnya digelar. Oleh karena itu, perlu pengaturan hukum khusus agar tidak terjadi kekosongan pemerintahan di daerah.
Selain memperbaiki tata kelola politik daerah, pemisahan pemilu juga dianggap dapat meringankan beban pemilih. Sebab, kata Lamhot, pemilih tidak lagi akan menerima lima surat suara sekaligus, melainkan dibagi dalam dua momentum terpisah.
“Pemisahan pemilu akan mengurangi kompleksitas pencoblosan. Pemilih bisa lebih mengenali figur calon legislatif maupun kepala daerah. Ini akan meningkatkan kualitas partisipasi dan kedekatan antara rakyat dengan wakil-wakilnya,” jelasnya.
Golkar, lanjut Lamhot, menyambut baik dan menghormati keputusan MK. Ia memastikan partainya siap terlibat aktif dalam proses revisi undang-undang guna mengawal transisi kebijakan tanpa mengganggu stabilitas politik nasional maupun daerah.
“Kami siap memastikan transisi ini berjalan baik,” pungkasnya.
Sebelumnya, majelis hakim MK dalam memutuskan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah tidak lagi digelar secara serentak. Ke depan, pemilu akan dibagi menjadi dua tahap, dengan jeda maksimal dua tahun hingga dua tahun enam bulan sejak pelantikan.
Pemilu nasional meliputi pemilihan presiden-wakil presiden, DPR RI, dan DPD RI. Sementara pemilu lokal mencakup pemilihan gubernur, bupati, wali kota, dan anggota DPRD di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Putusan itu dibacakan dalam sidang perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Gedung MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).
MK menilai pemilu serentak menimbulkan beban berat bagi penyelenggara, menurunkan kualitas tahapan, serta menyulitkan secara teknis dan logistik.
“Terutama berkaitan dengan kemampuan untuk mempersiapkan kader partai politik dalam kontestasi pemilihan umum,” ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
MK menyatakan beberapa pasal dalam UU Pemilu dan UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 bila mengharuskan seluruh pemilu digelar bersamaan, dan memberikan penafsiran baru agar dilakukan dalam dua tahap.