MK Beri Jeda 2 Tahun Pemilu Nasional dan Daerah, Mahfud MD: DPRD Tak Bisa Diperpanjang
Muhammad Zulfikar June 28, 2025 03:32 PM

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Mahfud MD, soroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah mulai 2029.

Mahfud MD menilai jeda waktu maksimal 2 tahun 6 bulan antara pemilu nasional dan daerah jadi polemik. Hal itu dikarenakan DPRD tidak bisa diganti menjadi Penjabat (Pj) seperti kepala daerah.

Atas hal itu kata Mahfud MD harus ada Undang-Undang baru untuk mengatur itu.

"Nanti ada penjabat lagi itu, artinya gini, jabatan yang sudah melekat pada kepala daerah sekarang harus habis sampai 2029. Nah 2029 sampai 2031 atau 2032 itu penjabat lagi untuk pemilu yang kemudian ini, itu saja secara teknis," kata Mahfud MD kepada Tribunnews ditemui di Jakarta Selatan, Sabtu (28/6/2025).

Sementara itu untuk DPRD, kata Mahfud MD harus ada Undang-undang baru untuk mengatur itu.

"Nah itu lagi, DPRD-nya dan sebagainya itu harus ada Undang-Undang baru tuh, perubahannya tidak bisa kayak kemarin, harus Undang-undang baru. Kan nggak bisa DPRD diperpanjang," jelasnya.

Ia menilai soal DPRD tersebut menjadi masalah.

"Jadi masalah betul. Kita nggak tau solusinya apa, saya belum baca putusan MK, kalau bupati, gubernur bisa penjabat kan 2,5 tahun atau 2 tahun. Tapi kalau DPRD nggak boleh Penjabat, itu pilihan rakyat, melekat pada suara dan periode," jelasnya.

Diketahui Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah tidak lagi digelar secara serentak dalam waktu yang bersamaan. 

Pemilu akan dibagi menjadi dua tahap, pemilu nasional dan pemilu lokal dengan jeda maksimal dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan.

Putusan itu dibacakan dalam sidang perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Gedung MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).

Secara teknis, pemilu nasional akan mencakup pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, dan DPD RI. 

Sementara itu, pemilu lokal akan mencakup pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota, serta anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota.

MK menyatakan bahwa pelaksanaan serentak dalam satu waktu untuk seluruh jenis pemilu menimbulkan banyak persoalan, seperti beban berat penyelenggara pemilu, penurunan kualitas tahapan, serta kerumitan logistik dan teknis.

“Terutama berkaitan dengan kemampuan untuk mempersiapkan kader partai politik dalam kontestasi pemilihan umum,” kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat.

MK menilai ketentuan dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu, serta Pasal 3 ayat (1) UU Pilkada, bertentangan dengan UUD 1945 jika dimaknai sebagai kewajiban melaksanakan seluruh pemilu pada waktu yang sama.

Karena itu, MK memberi penafsiran baru bahwa pemungutan suara dilakukan dalam dua tahap: pertama untuk pemilu nasional, lalu beberapa waktu setelahnya untuk pemilu lokal.

Norma-norma lain terkait teknis pelaksanaan pemilu juga wajib disesuaikan dengan penafsiran baru MK tersebut.

 

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.