Ka'bah Lambang Tauhid dan Kesatuan
GH News June 29, 2025 02:03 AM

TIMESINDONESIA, MALANG – Kalau dilihat secara sekilas, Ka'bah hanyalah tumpukan batu-batu yang berbentuk segi empat kubus, yang terletak di tengah-tengah Masjidil Haram. Sebelumnya ka'bah ini merupakan tempat yang gersang yang berada ditengah-tengah, kemudian dibangunlah masjid, masjid sendiri adalah berasal dari bahasa arab yang berarti tempat bersujud.

Ka'bah pada hakikatnya tidak memiliki kekuatan yang dapat memberi manfaat atau madharat. Ka'bah yang dijadikan pusat peribadatan haji itu tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan sisa-sisa penyembahan berhala di kalangan bangsa Arab jahiliyah, Ka'bah hanya menjadi lambang untuk pusat peribadatan haji, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah sebagai lambang ketaatan akan perintah-Nya.

Manusia sebagai makhluk bersimbul tidak dibenarkan membuat sendiri simbul-simbul untuk mencerminkan keyakinan dan sikap tunduk serta ketaatannya kepada Allah. Untuk melambangkan tauhid, beribadah hanya tertuju kepada Allah, dan menanamkan rasa kesatuan dan persaudaraan kemanusiaan, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim a.s membangun Ka'bah bersama-sama dengan puteranya, Ismail a.s. Kisah Nabi Ibrahim a.s bersama puteranya, Ismail a.s.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Manusia adalah makhluk bersimbol, oelh karenanya tak sedikit terjadi sebuah perselisihan, pertengkaran, bahkan peperangan akibat dari perbedaan-perbedaan simbol ini, seperti berbeda bendera dalam kebangsaan, padahal hanya kain semata, bahkan yang sempat heboh di negeri ini dengan pembakaran bendera dan dianggap penodaan dan menginjak-injak martabat dari suatu negara, partai, organisasi atau lain-nya.

Oleh karenanya dalam hal ibadah ini, Allah telah memerintahkan manusia untuk bersujud kepada-Nya dengan dihadapkan kepada Baitullah Ka'bah ini, yang merupakan bangunan yang Allah ciptakan dimuka bumi ini sebagai bangunan yang pertama. Kemudian bangunan ini sempat menghilang, karena pernah terjadi banjir yang sangat besar, dan kemudian Allah tunjukkan kepada nabiyullah Ibrahim beserta putranya untuk mebangun Ka'bah ini lagi, hal ini diabadikan dan disebutkan di dalam Al Qur'an surah Al Baqarah: 127

وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ                                                          

Artinya: Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan Kami terimalah daripada Kami (amalan kami), Sesungguhnya Eng-kaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui".

Setelah Ka'bah selesai dibangun, Allah memerintahkan kepada Nabi Ibrahim dan Ismail Alaihimassalam untuk memelihara kesucian dan kebersihannya dari kotoran-kotoran lahir dan batin, bersih dari najis dan kemusyrikan, dan disediakan bagi orang-orang yang thawaf, i'tikaf dan ruku' sujud.

Ka'bah inilah tempat ibadah yang mula-mula dibangun di muka bumi ini dan menjadi tempat bertemunya umat manusia serta merupakan tempat yang aman. Pada salah satu sudut Ka'bah terdapat hajar Aswad (batu hitam) sebagai tanda untuk memulai thawaf dan mengakhirinya.

Hajar Aswad sunnah dicium bagi orang laki-laki. Mencium Hajar Aswad itu mengikuti amaliah yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim as., dan juga oleh Nabi Muhammad SAW. Nilai yang menonjol dalam mencium Hajar Aswad adalah nilai kepatuhan mengikuti sunnah Rasul. Dalam hubungan ini sahabat Umar ra. Ketika mencium Hajar Aswad mengatakan:

إِنِّي أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ وَلَوْ لَمْ أَرَ حَبِيبِي صَلَّي اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبَّلك وَاسْتَلَمَكَ مَا اسْتَلَمْتُكَ وَلَا قَبَّلْتُكَ (رواه أحمد)

Artinya: "Sungguh aku mengetahui engkau hanyalah batu, sekiranya aku tidak melihat kekasihku SAW terdapat menciummu dan mengusapmu, niscaya aku tidak akan mengusapmu dan menciummu" (HR. Ahmad dari Ibnu Abbas)

dalam riwayat lain yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Abu Daud dari Umar Ra, bahwa Umar menghampiri Hajar Aswad, ke-mudian menciumnya seraya mengatakan:

إِنِّي أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْ لَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ

Artinya: "Sungguh aku mengetahui bahwa engkau hanyalah batu, kamu tidak mampu memberi mudharat maupun manfaat; sekiranya aku tidak melihat Rasulullah SAW menciummu niscaya aku tidak akan menciummu".

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Rasulullah SAW dalam memberikan tuntunan dalam bersikap terhadap Hajar Aswad sangat bijaksana. Jika mungkin, orang thawaf supaya mencium Hajar Aswad. Jika tidak mungkin cukup menyentuhnya dengan tangan, kemudian mencium tangannya yang telah menyentuh Hajar Aswad. Jika tidak mungkin, bisa dengan tongkat yang dibawan-ya atau cukup berisyarat dengan tangan dari jarak jauh mengingat area sekitar ka'bah ini sangatlah ramai dan penuh dengan desak-desakan pengunjungnya kemudian menciumnya. Dalam beberapa riwayat yang lain dijelaskan, bahwa batu hajar aswad ini akan memiliki mata dan mulut di akhirat kelak, bagi barang siapa yang melihat dan menciumnya di dunia semata-mata hanya mengharap ridho Allah, kelak di akhirat dia akan melihatnya lagi di Syurga-Nya Allah Swt.,

Dengan demikian mencium Hajar Aswad itu mencerminkan sikap kepatuhan seorang muslim mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Sedang thawaf mengelilingi Ka'bah tujuh kali, mencerminkan sikap kepatuhan kepada Allah, yang dilakukakn oleh rasulullah Saw. dalam seminggu ada 7 hari, terdapat 7 langit dan 7 bumi, diibaratkan manusia mengelilingi ka'bah sebagai gambaran mengelilingi alam semesta, dan dalam 7 hari manusia harus terus bergerak, tidak putus asa, senantiasa mengharap Rahmat dan ampunan-Nya.

Setelah itu kemudian dilakukan Shalat sunat dua raka'at setelah thawaf di belakang Maqam Ibrahim a.s (tempat pijakan berdiri Nabi Ibrahim ketika membangun Ka'bah), pada rakaat pertama setelah alfaatehah membaca surat alkafirun dan yang kedua membaca surat al-ikhlash. Semua perbuatan yang dilakukan dalam thawaf untuk mengukuhkan keimanan dan ketauhidan kaum mukminin serta memantapkan ke-Islamannya. 

Sumber: Buku “Amaliyah ala Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah” UNISMA

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.