Luka yang Belum Pulih: Trauma Warga Alasmalang Banyuwangi Pascabanjir Bandang 2018
GH News June 29, 2025 09:03 AM

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Di balik geliat Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, Banyuwangi, yang kini terlihat damai, tersimpan luka mendalam yang belum sepenuhnya pulih.

Banjir bandang yang menerjang wilayah Alasmalang pada 2018 silam, menyisakan trauma yang membekas di hati warga. Derasnya air saat itu bukan sekadar menggenangi rumah, namun turut merenggut rasa aman yang dulu melekat erat di benak mereka.

Banjir Setinggi Pinggang Orang Dewasa

Ketua RT 1 Dusun Garit, Desa Alasmalang, Muhammad Ariko (56), masih mengingat jelas bagaimana air setinggi di atas pinggang orang dewasa merangsek masuk ke rumahnya meski pintu dan jendela telah ditutup rapat.

“Kursi sudah mengambang, perabotan rumah ikut hanyut. Saya waktu itu di luar bersihkan kayu yang ikut terbawa air biar nggak numpuk dan makin parah,” kenang Ariko, Sabtu (28/6/2025).

Ditemui saat melihat kondisi Sungai Alasmalang yang sedang meluap pada Sabtu (28/6/2025), Ariko menceritakan hari itu, Jumat 22 Juni 2018, saat kupatan atau selametan syawalan, momen yang seharusnya dipenuhi syukur. Namun, yang hadir justru kepanikan.

Air datang tiba-tiba, membawa arus deras bercampur lumpur dan kayu gelondongan. Tanpa hujan yang turun di desa, warga sempat tak menyangka bahaya mengintai. Dalam hitungan menit, genangan berubah jadi gelombang air bah yang menyeret apa saja di depannya.

“Air menggenang di rumah sekitar satu sampai dua jam, tapi beres-beresnya sampai dua minggu. Ya perkiraan kerugian hampir Rp 1 juta saat itu,” ucap bapak dua anak itu.

Tiang Listrik Jadi Penanda Bahaya

Hal senada juga dikenang oleh Bausan (60), warga Dusun Bangunrejo, Desa Alasmalang, yang juga berjuang menyelamatkan diri bersama warga lain saat arus deras mulai menerjang permukiman mereka.

Dengan spontan, Bausan, memukul tiang listrik berkali-kali menggunakan benda seadanya, berharap suara nyaring itu jadi penanda bahaya dan meworo-woro tetangga yang belum sadar akan datangnya bencana.

“Waktu itu panik banget. Saya cuma mikir gimana caranya semua orang bisa segera lari,” kenang Bausan.

Bausan bersama warga lainnya bergegas naik ke perbukitan, mencari tempat tinggi untuk menghindari terjangan air yang membabi buta.

Setibanya di bukit, mereka hanya bisa menyaksikan dari kejauhan rumah-rumah yang ditinggalkan perlahan tertutup lumpur, pasir, batang pohon, dan bambu.

“Perabotan habis semua, hewan ternak mati, rumah penuh lumpur. Bahkan ada yang rumahnya jebol ketabrak kayu gelondongan (batang kayu utuh),” ucapnya.

Hari-hari setelahnya mereka jalani dengan serba kekurangan. Aktivitas terhenti total, dan untuk makan pun hanya mengandalkan bantuan nasi dari relawan.

“Setelah itu hidup kami berubah. Tiap hujan deras, kami waspada, takut kejadian yang sama terulang. Semoga itu yang terakhir,” tutur Bausan dengan lirih.

Luka yang Belum Pulih Warga Alasmalang

Ketakutan itu masih ada, meski waktu terus berjalan. Trauma banjir bandang 2018 bukan hanya soal kerugian materi, tapi juga tentang kehilangan rasa aman yang kini sulit dipulihkan.

Bagi warga Alasmalang, setiap rintik hujan adalah pengingat akan luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Di tengah upaya bangkit, mereka tetap berharap semoga langit tak lagi membawa duka, dan sungai kembali menjadi sahabat, bukan ancaman. (*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.