TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun, menilai aneh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah mulai 2029.
Padahal, menurut Refly Harun, sepuluh tahun lalu, lembaga yang sama menyatakan pelaksanaan Pemilu serentak adalah konstitusional.
"Agak aneh memang ketika tahun 2019 MK mengatakan yang konstitusional itu serentak lima kotak, sekarang yang konstitusional yang terpisah," kata Refly Harun kepada Tribunnews.com, Minggu (29/6/2025).
Refly Harun berpandangan, perubahan arah putusan MK ini menunjukkan dua hal penting.
Pertama, paradigma baru di tubuh MK.
Kedua, melemahnya fungsi DPR RI sebagai pembentuk undang-undang.
Dia menegaskan, pembentukan norma atau penyusunan sistem Pemilu dan pelaksanaannya merupakan ranah DPR, bukan lembaga yudikatif.
Namun, MK kini mengambil alih peran tersebut lantaran DPR dinilai tidak menjalankan fungsinya menyerap aspirasi publik secara memadai.
"Jadi sekali lagi, MK mengambil peran DPR dalam menyerap aspirasi masyarakat. Secara teori bernegara, ini enggak benar. Harusnya yang mengambil aspirasi masyarakat itu DPR. MK bicara tentang sebuah norma konstitusional atau tidaknya," jelas Refly.
Refly menjelaskan, wacana pemilu terpisah antara nasional dan daerah sebenarnya bukan hal baru.
Usulan tersebut, menurut dia, berasal dari para pegiat kepemiluan.
Namun, DPR disebut enggan merealisasikannya karena dianggap merugikan kepentingan partai politik.
"Tetapi, DPR tidak kunjung mau membuat Pemilu yang terpisah lokal-nasional. Ini kenapa? Karena akan merugikan mereka. Merugikan partai-partai politik, elit-elit politik, yang kalau misalnya dia pisah dengan pemilihan anggota DPRD, mereka enggak punya kaki," tegas Refly.
Mahkamah Konstitusi (MK) mengungkap alasan memutus menghapus keserentakan pelaksanaan pemilihan umum atau Pemilu nasional dengan Pilkada dalam rentang waktu yang sama.
MK memutus gelaran Pilkada dijeda selama 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun dihitung setelah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, dan DPD RI.
Dalam pertimbangan hukum untuk perkara nomor 135/PUU-XXII/2024, keserentakan semua jenis pemilihan membuat terjadi tumpukan beban kerja penyelenggara Pemilu yang juga berpengaruh pada kualitas penyelenggaraan.
MK berkaca pada Pemilu 2019 dan 2024.
Keserentakan dipandang berimplikasi pada partai politik dalam menyiapkan kadernya.
Dalam waktu bersamaan Parpol harus menyiapkan ribuan kader untuk semua jenjang kontestasi pemilihan umum di tingkat nasional maupun daerah.
Kondisi itu membuat Parpol tidak berdaya berhadapan dengan realitas politik dan kepentingan politik praktis.
Parpol terpaksa merekrut calon yang populer demi elektoral.
Hal ini berakibat pada perekrutan pejabat politik bersifat transaksional.
Alasan lainnya, keserentakan membuat masalah pembangunan daerah cenderung tenggelam di tengah isu nasional.
Keserentakan juga dianggap telah membuat pemilih jenuh, karena mereka harus mencoblos dan menentukan pilihan dari banyaknya calon pada pemilihan legislatif nasional dan legislatif daerah, serta presiden dan wakil presiden.
Banyaknya calon dalam kertas suara dan terbatasnya waktu di bilik suara juga membuat fokus pemilih terpecah.
Kondisi ini disadari atau tidak, berdampak pada turunnya kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Putusan menjeda 2 tahun antara pemilihan tingkat nasional dan tingkat daerah diputuskan karena setelah 5 tahun dari berlakunya Putusan MK Nomor 55 tahun 2019, pemerintah dan DPR belum melakukan perubahan atas UU 7/2017.