Beras Oplosan Dijual Bebas, Anggota DPRD Diduga Ikut Terlibat Lewat Pemesanan Paket Sembako
Seno Tri Sulistiyono June 30, 2025 11:32 AM

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Beras oplosan dijual secara bebas di Pasar Induk Cipinang, Jakarta Timur.

Namun, dalam menjual beras oplosan, pedagang hanya melayani sesuai permintaan konsumen.

Diketahui, pengoplosan beras setidaknya mengurangi kualitas beras dan tidak sesuai dengan standar mutu beras yang ditetapkan pemerintah.

Terbaru, hasil investigasi Kementerian Pertanian (Kementan) menemukan peredaran 212 merek beras yang diduga tidak memenuhi standar mutu, takaran, dan harga eceran tertinggi (HET). 

Akibat pelanggaran tersebut, potensi kerugian konsumen ditaksir mencapai Rp99 triliun.

Tribunnews.com mencoba memantau langsung situasi di Pasar Induk Cipinang, Jakarta Timur, pada Rabu (25/6/2025). 

Sekira pukul 11.13 WIB, di depan toko beras MB yang berlokasi di Blok L Pasar Induk Beras Cipinang Jakarta, tampak lima orang pekerja kuli angkut toko tersebut tengah mengemas puluhan kilogram lebih beras yang berbentuk gundukan ke dalam karung-karung ukuran lima kilogram.

Satu dari beberapa pekerja bertugas menjahit karung beras ukuran lima kilogram yang sudah diisi beras, sementara beberapa pekerja mengangkut karung-karung yang sudah selesai diisi dan dijahit menuju ke dalam toko untuk disimpan sebelum dikirim ke lokasi yang telah dipesan konsumen.

Pemilik toko MB, Jefry (nama disamarkan), mengatakan puluhan kilogram lebih beras tersebut merupakan pesanan dari seorang anggota DPRD DKI Jakarta yang tak dia sebutkan namanya.

Ia mengatakan, tim dari anggota dewan itu memesan 10 ton beras kepadanya, yang kemudian dikemas menjadi 2.000 karung ukuran lima kilogram. Beras-beras itu, katanya, akan didistribusikan di kawasan Pluit, Jakarta Utara dalam bentuk paket sembako berisi beras, minyak, dan gula.

Jefry mengungkapkan, beras yang digunakannya untuk pesanan ini merupakan hasil oplosan alias "mixing" sebagaimana dia menyebut proses pencampuradukan satu jenis beras dengan jenis lainnya itu.

Namun, saat ditanya komposisi jenis beras dan takar yang digunakannya dia enggan mengungkapkannya lantaran menurut Jefry, hal tersebut merupakan resep rahasia setiap pedagang beras.

Adapun pria yang saat ditemui mengenakan kaus hitam dan celana denim selutut itu hanya menyebut, gundukan beras tersebut merupakan hasil pencampuran antara beberapa jenis beras medium.

Beras itu dikemas menggunakan karung ukuran berat lima kilogram dengan merk "Sakura". 

Ia mengklaim, merk tersebut adalah merk yang tidak dipatenkan perusahaan tertentu dan merupakan buatan pedagang karung beras.

BERAS - Tumpukan beras di toko NJ, di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, Rabu (25/6/2025). Beras disimpan dalam karung-karung ukuran besar sebelum dijual kepada konsumen. (Ibriza/Tribunnews)
BERAS - Tumpukan beras di toko NJ, di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, Rabu (25/6/2025). Beras disimpan dalam karung-karung ukuran besar sebelum dijual kepada konsumen. (Ibriza/Tribunnews) (Ibriza/Tribunnews)

"Ini (beras) sudah diaduk semua, di-mix di situ beras medium dengan medium semua. Kan yang medium juga jenisnya bervariasi," kata Jefry dengan dialek Jawa saat ditemui di depan tokonya, Rabu.

Jefry yang sedang berdiri tampak bergerak menuju kursi yang berada di sisi kanannya. 

Dia segera duduk di kursi tersebut sambil menunjukkan beberapa jenis beras yang masing-masing jenisnya diletakkan terpisah di atas meja, di antaranya ada beras premium, beras medium, beras patahan atau siping (sisa samping), dan menir.

Pria berbadan tegap itu mengatakan, harga beras premium di tokonya dijual dengan harga tertinggi Rp15 ribu, sedangkan beras medium sampai dengan harga tertinggi Rp13.600.

Dia kemudian menjelaskan bagaimana pengoplosan beras dilakukan. Jefry mengklaim, beras oplosan hanya dijual jika ada permintaan dari konsumen.

Katanya, pengoplosan beras dilakukan untuk memenuhi daya beli konsumen. Sehingga, berapapun bujet konsumen, pedagang akan mengusahakan agar permintaan konsumen dapat dikabulkan.

Misalnya, kata Jefry, ketika ada konsumen ingin memesan beras yang kualitasnya hampir sama dengan premium, namun dengan harga Rp14 ribu per kilogram. Dia menyebut, akan mengoplos beras jenis medium dengan beras patah.

"Kita menyesuaikan pesanan konsumen aja. Bisa aja (oplos) beras premium dengan medium. Tergantung permintaannya mau di-mix seperti apa. Kalau premium satu dan medium satu, ya tinggal dibagi dua," jelasnya.

Ia mengatakan, pencampuran satu jenis beras dengan jenis yang lain yang kualitasnya di bawah beras medium juga memungkinkan untuk dilakukan, menyesuaikan bujet konsumen.

Soal kemasan beras, katanya, bisa menggunakan karung umum atau karung yang desainnya tidak dipatenkan oleh perusahaan tertentu.

Ia mengatakan, praktik "mixing" seperti yang dilakukannya boleh saja dilakukan. Sebab, menurutnya, pengoplosan beras itu tidak dilakukan untuk mencari keuntungan yang banyak. Namun, untuk mencapai tingkat daya beli masyarakat agar mereka mendapatkan beras dengan harga yang mereka sanggupi.

"Kan asumsi pemerintah itu gini, ketika harga beras itu di Rp14.500, lalu kita aduk dengan yang beras sisa sampingan, akan dijual kembali Rp14.500, ya enggak mungkin laku," ujarnya.

"Kalau bujet mereka (konsumen) cuma di Rp12 ribu, sementara beras di lapangan Rp12 ribu itu tidak ada. Ya mau enggak mau kita kan menyodorkan produk, ini contohnya seperti itu dengan harga segitu," tambah Jefry.

Ia menilai, tanpa "mixing", usaha pedagang beras tak akan bisa berjalan.

Selanjutnya, Jefry merespons kasus beras oplosan yang menjerat temannya di Depok, Jawa Barat, beberapa waktu lalu, dimana pihak kepolisian menyebut pelaku mencampurkan beras untuk keluarga miskin (raskin) 200 gram dengan beras Demak 600 gram, dan beras menir 200 gram.

Selain itu, pelaku juga disebut menjual kemasan beras oplosan satu kilogram dengan harga Rp 14.500 dan mendapatkan keuntungan kurang lebih Rp 600.

"Sebenarnya pemerintah juga harus ikut tanggung jawab kalau barang itu tidak laku harus bagaimana. Karena enggak setiap konsumen itu mampu beli lima kilogram. Kalau eceran aja kan beli tiga liter, dua liter," ucapnya.

Di sisi lain, Jefry juga menyoroti beras dari pemerintah dalam program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) tidak selalu berkualitas bagus, bahkan terkadang menurutnya tak layak dikonsumsi.

Sehingga, katanya, pedagang juga harus mencampurkan beras SPHP dengan jenis beras yang lain untuk menyiasati penjualan beras dari program pemerintah itu.

Praktik pengoplosan beras tak hanya bisa dilakukan di toko milik Jefry. 

Hasil investigasi Tribunnews.com menemukan, pada dua dari tiga toko lainnya di kawasan Pasar Induk Beras Cipinang menerima orderan "mixing" beras. Di antaranya, toko beras NJ dan toko beras F.

Kedua toko tersebut mengaku menyanggupi pengoplosan beras dengan sistem yang hampir sama dengan toko milik Jefry, yakni berdasarkan request konsumen.

Sedangkan pada satu toko lainnya, yakni toko beras IJ, hanya membolehkan konsumen membeli beras "mixing" apabila jenis berasnya sama.

"Kalau di-mix biasanya di sini (beras) premium dengan premium lagi. Kalau mengaduk beras dengan yang jelek, enggak bisa lah, apa adanya, kan kita enggak boleh mengoplos," kata seorang karyawati di toko IJ, Rika (nama disamarkan).

Rika mengatakan, toko IJ hanya membolehkan konsumen untuk membeli beras jenis premium dan medium.

Namun, ada kejanggalan ketika Rika tidak mengizinkan konsumen untuk membeli beberapa produk beras yang diletakkan pada rak-rak di toko tempatnya bekerja.

Terdapat lebih dari tujuh karung beras kemasan lima kilogram dengan merk yang berbeda-beda di rak tersebut. 

Rika mengungkapkan, beras-beras tersebut tak boleh dibeli pelanggan karena berisi beras utuh yang sudah dicampur beras jenis lain.

"Kalau yang ini semua enggak boleh dibeli karena isinya campur menir. Memang dilarang dijual kalau yang seperti ini. Ini hanya untuk memperlihatkan desain-desain karung yang bisa digunakan pembeli. Kalau pun mau beli, itu harus jumlah banyak, misalnya minimal 50 kilogram," jelas perempuan berkerudung krem dengan paduan gamis warna hitam itu.

Denda Rp2 Miliar

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Niti Emiliana sangat menyesalkan adanya temuan Kementerian Pertanian mengenai kecurangan penjualan beras, karena hal ini menunjukan pengabaian hak-hak konsumen secara terang benderang. 

Niti meminta pemerintah menindak tegas pelaku usaha perberasan yang nyata-nyata membuat kerugian terhadap masyarakat konsumen hingga hampir 100 triliun pertahun. 

"Ancaman pidana menanti apabila beras yang diproduksi tidak sesuai dengan standar, pelaku usaha terancam melanggar pasal 8 UU No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dengan ancaman pidana 5 tahun dan denda 2 miliar rupiah," kata Niti Emiliana, dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Sabtu (28/6/2025).

Menurutnya, perbuatan oknum penjual beras yang tidak sesuai dengan standar akan menurunkan kepercayaan konsumen terhadap kualitas beras dipasaran.

Oleh karena itu, katanya, pemerintah harus dapat menjelaskan pada masyarakat konsumen terhadap kualitas dan kuantitas atas komoditi beras yang dijual di pasaran.

Niti menilai, sudah waktunya bagi pemerintah, khususnya Kementerian Perdagangan untuk melakukan revisi UU Perlindungan Konsumen No 8/1999 atau melengkapinya dengan aturan hukum dengan sanksi yang ketat terhadap komoditi esensial atau komoditi penting bagi kehidupan bangsa kita termasuk diantaranya bahan pangan.

Pemerintah, lanjutnya, harus berpihak kepada konsumen berkaitan dengan komoditas esensial. 

"Pemerintah harus menjamin perlindungan bagi konsumen dari penggelembungan harga yang melebihi HET, kualitas dan kuantitas yang tidak sesuai standar, terakhir dari proses distribusi yang macet yang mengakibatkan kelangkaan barang di pasar," jelasnya.

Kemudian, Niti meminta pemerintah mengawasi dengan ketat peredaran beras di pasaran agar sesuai, baik secara kualitas maupun kuantitas dan tidak segan-segan memberikan sanksi kepada pelaku usaha untuk me-recall beras yang tidak sesuai dengan standar. 

Ia menegaskan, tidak ada posisi tawar bagi oknum penjual beras yang tidak sesuai standar yang dilakukan secara berulang mendulang keuntungan yang tinggi, terhadap pelaku seperti ini pemerintah seharusnya tidak berpikir dua kali tuk menjatuhkan sanksi yang tegas.

Lebih lanjut, katanya, bagi masyarakat konsumen yang merasa dirugikan oleh praktik-praktik kecurangan ini dapat menggunakan haknya untuk mengadu dan mendapatkan ganti rugi yang sepadan. 

Niti meminta pemerintah membuka posko pengaduan konsumen terkait produk beras yang tidak sesuai dengan standar, selain itu YLKI juga membuka ruang pengaduan bagi konsumen mengenai permasalahan beras di pasaran. 

Pengaduan-pengaduan yang masuk, kata Niti, akan menjadi bahan evaluasi yang akan di serahkan kepada pemangku kepentingan. (Tim Liputan Khusus Tribunnews)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.