Uang bisa menjadi sebuah topik yang sensitif ketika berkaitan dengan utang piutang. Ini bisa menjadi problem tersendiri ketika orang yang berutang tidak menepati janjinya untuk membayar tepat waktu.
Tak jarang, orang yang berutang justru bersikap lebih galak saat ditagih. Alih-alih merasa bersalah, respons yang muncul bisa berupa kemarahan, penyangkalan, bahkan menyalahkan balik si penagih. Reaksi seperti ini kerap membuat penagih merasa serba salah dan enggan menindaklanjuti.
Ada banyak faktor yang mungkin memicu seseorang menjadi agresif atau defensif ketika ditagih utang. Berikut ini adalah beberapa penyebabnya:
Perencana Keuangan Financial Consulting Eko Endarto menuturkan sebagian orang menganggap pinjaman uang bukanlah hal yang harus dikembalikan. Sehingga sejak awal, mereka mungkin tidak berniat untuk mengembalikannya.
"Kita menganggap suatu pinjaman itu hal yang biasa, bukan suatu hal yang harus dikembalikan. Sehingga orang yang meminjam tadi nggak berniat mengembalikannya," katanya dikutip dari detikFinance.
Menurutnya, sebagian orang berutang untuk hal-hal yang tidak perlu. Sehingga tidak ada uang yang bisa digunakan untuk mengembalikan uang pinjaman tersebut. Hal ini membuat tidak sedikit orang merasa terancam dan kesal ketika dikejar-kejar utang.
"Kita itu terbiasa ngutang tapi untuk hal-hal yang nggak perlu sebenarnya. Sehingga habis untuk konsumtif. Untuk hal-hal yang tidak dipertimbangkan sebelumnya. Sehingga ketika berutang habis uangnya. Padahal kebutuhan udah sama," sambungnya.
Memiliki utang memiliki kaitan yang erat dengan stres tinggi. Sebuah studi di Amerika Serikat belum lama ini menemukan lebih dari satu dari tiga orang dewasa muda mengalami tekanan penagihan utang pada usia sekitar 40 tahun.
Studi ini mengonfirmasi bahwa tekanan dari penagihan utang berhubungan dengan meningkatnya gangguan psikologis, serta dampak yang lebih parah pada individu muda berpenghasilan rendah.
Dalam sebuah studi lain, orang yang memiliki utang memiliki risiko depresi, kecemasan, dan stres tiga kali lebih besar. Ini secara langsung berkaitan dengan kekhawatiran terhadap utang.
Dalam sebuah survei yang dilakukan Money and Mental Health Policy Institute, beberapa penyebab gangguan kesehatan mental akibat utang meliputi penagihan yang mengabaikan kondisi kreditur, nada komunikasi dari penagih yang mengandung ancaman, hingga frekuensi komunikasi yang berlebihan dari penagih.
Dalam sebuah studi di tahun 2021 peneliti gabungan dari University of Colorado Boulder dan Harvard Business School, disebutkan bahwa kesulitan keuangan termasuk utang dapat memicu rasa malu pada seseorang.
Menurut peneliti, rasa malu lebih berbahaya dibandingkan rasa bersalah. Rasa malu cenderung membuat seseorang menjauh dari persoalan, sedangkan rasa bersalah mendorong perbaikan melalui tindakan pro-sosial.
Ini membuktikan rasa malu akibat persoalan finansial seringkali justru membuat seseorang menghindari masalah sebagai bentuk pertahanan diri. Orang dengan tipe seperti ini memiliki kecenderungan melakukan kesalahan finansial secara berulang-ulang.