DINA duduk di sebuah kafe kecil yang jarang dikunjungi siapa pun. Tempat di mana waktu serasa mengendap seperti kopi hitam yang tak pernah diaduk. Ia menatap cangkir kosong di depannya, seperti menatap dirinya sendiri. Retak, tapi tidak pecah.
Dina sedang sakit hati. Tapi apa makna sakit hati yang sebenarnya ? Apakah ia seperti virus yang menggandakan dirinya di tiap detik kenangan ? Atau seperti algoritma yang gagal membaca niat manusia ?
Patah hati tidak pernah tercatat dalam ilmu anatomi. Tapi bagi Dina, itu lebih nyata daripada detak jantung. Ia bukan hanya tentang kehilangan seseorang. Pun, tentang tersesat dalam dirinya sendiri.
Suatu hari Dina memulai eksperimen kecil. "Memori deletion project," katanya pada dirinya sendiri.
Ia membaca artikel neuroscience tentang bagaimana otak menyimpan trauma seperti komputer menyimpan file yang tak bisa dihapus. Hanya bisa ditimpa. Maka ia mulai "menimpa" apa saja yang menjadi kebiasaannya. Semisal, tidur di sisi kanan tempat tidur yang dulunya untuk dua orang. Memutar lagu yang bukan lagu favoritnya. Mengganti sabun mandi yang tak beraroma dirinya.
Namun kenyataan bekerja lebih lambat daripada logika. Luka bukan program. Ia adalah akar dari pohon liar kehidupan. Tumbuh di bawah tanah kesadaran, menembus dasar-dasar harapan.
Suatu sore, Dina membaca buku filsafat semiotika. Ia terhenti pada kalimat Umberto Eco : “Makna adalah apa yang tetap tinggal ketika semua tanda dibakar habis.” Ia menutup bukunya. Diam, lalu bertanya pada dirinya sendiri:
“Kalau semua tanda dari dia aku hanguskan, kenapa perasaannya masih tinggal ?”
Barangkali, pikirnya, luka bukan hanya tanda dari peristiwa. Luka adalah narasi yang enggan selesai. Ia bukan hanya bekas, tapi juga bahasa. Bahasa yang ditulis tubuh lewat tangis, tawa, dan heningnya malam.
Perlahan Dina mulai bangkit. Dina mulai mencatat fase-fase kebangkitannya seperti seorang ilmuwan mencatat pertumbuhan jaringan baru setelah amputasi:
Pertama fase Inersia, saat tubuh bangkit tapi jiwa masih tergeletak. Kedua fase penyangkalan modern, ketika melakukan scrolling media sosial untuk mencari bukti bahwa ia baik-baik saja—padahal tidak. Setelah itu fase radikalisasi diri melalui potong rambut, ganti gaya hidup, dan berkata pada diri sendiri “aku bisa tanpa dia” meski suara hatinya masih membisikkan namanya. Fase Integrasi: ketika berhenti melupakan dan mulai merangkul luka sebagai bagian dari pertumbuhan jiwa.
Akhirnya, Dina tersadar. Pohon tidak tumbuh dari cahaya saja. Ia juga butuh kegelapan tanah. Seperti luka yang tidak tumbuh di pelukan tawa, melainkan tumbuh di dasar kesendirian yang hening.
Dina tidak lagi ingin melupakan. Ia ingin mengingat, dengan cara yang baru. Luka itu kini ia tanam, bukan untuk dikenang, tapi untuk menjadi akar. Akar dari siapa dirinya kini. Ia bukan korban cerita, tapi pengarangnya. Dan seperti daun yang bisa melakukan fotosintesis dari cahaya luka yang paling dalam. Dina belajar mengubah sakit hati menjadi energi hidup.
Di tahun-tahun setelah itu, orang-orang melihat Dina sebagai perempuan yang tenang dan bijak. Mereka tidak tahu, bahwa di dalam dirinya tumbuh hutan dari luka yang dulu ia sembunyikan. Sebuah hutan yang tidak ingin ia tebang, melainkan dijaga.
Dan bila ada yang bertanya padanya tentang cinta yang gagal, ia hanya tersenyum dan berkata:
“Ada luka yang tumbuh menjadi akar. Ada hati yang tumbuh menjadi hutan. Aku tinggal di sana sekarang. Dan akhirnya, aku merasa damai.”
Bagi Dina, cinta yang hilang bukanlah akhir peradaban jiwa. Ia hanya pergeseran musim.
Dan...
Seperti bumi yang terus berputar. Dina pun belajar, bahwa bangkit dari sakit hati itu bukan berarti melupakan, tapi berani mengingat dan menghadapinya dengan mata terbuka. Weleh, weleh, weleh.(*)