Sinau Sejarah: Ajak Generasi Muda Mencintai Sejarah
Hari Susmayanti June 30, 2025 02:30 PM

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA  - Yogya Kembali adalah peristiwa hengkangnya pasukan Belanda dari Yogyakarta yang saat itu menjadi ibu kota Indonesia. Peristiwa bersejarah tersebut diperingati setiap 29 Juni.

Kepala Bidang Urusan Kebudayaan Paniradya Kaistimewan DIY, Nugroho Wahyu Winarna mengatakan, sejarah merupakan proses rangkaian kehidupan. 

Setiap daerah juga memiliki sejarah lokal, sehingga penting untuk mensosialisasikan agar generasi berikutnya dapat mengerti sejarah, baik lokal maupun nasional.

Pembinaan dan pengembangan kesejarahan menjadi salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengenalkan dan mensosialisasikan sejarah kepada seluruh elemen masyarakat.

“Kedua, ada upaya peringatan hari-hari bersejarah. Ada empat hari bersejarah yang kemudian menjadi kesepakatan untuk diperingati setiap tahunnya, termasuk peringatan Yogya Kembali. Ada event-event dengan lawatan sejarah, mengunjungi situs sejarah untuk melihat jerih payah memperjuangkan kemerdekaan,” katanya dalam Sinau Sejarah.

“Kerja sama dengan komunitas sejarah, sehingga bisa mendapatkan masukan bagaimana ke depan, program apa yang memungkinkan melalui Danais. Lalu juga ada kompetisi kesejarahan, melibatkan anak sekolah dan masyarakat umum. Ini juga untuk memancing agar semakin mencintai sejarah,” sambungnya.

Paniradya Kaistimewan DIY juga memiliki banyak program, salah satunya dengan penyebarluasan informasi melalui program Sinau Sejarah. Pihaknya juga telah melahirkan 25 buku yang berkaitan dengan sejarah, termasuk Yogya Kembali.

“Kami selalu berupaya untuk menciptakan program-program kegiatan baru, aktivitas-aktivitas baru yang lebih menarik dan lebih disukai generasi muda. Ini tanggung jawab kita bersama, sehingga perlu ada kolaborasi,” lanjutnya.

Pemerhati Budaya, Bambang Wisnu Handoyo mengungkapkan generasi muda harus lebih dilibatkan dalam kegiatan kesejarahan. Menurut dia, generasi muda memiliki beragam cara kreatif untuk mempelajari sejarah.

“Program-program yang dilakukan Paniradya itu sudah banyak sekali. Tetapi bagaimana kemudian generasi muda itu mengekspresikan pemahaman sejarah itu menjadi sebuah karya, Paniradya memfasilitasi bersama sejarawan dan lain-lain, bagaimana menulis sejarah, mengolah fakta sejarah, melacak penanda-penanda itu,” ungkapnya.

“Kalau nggak begitu, mungkin anak-anak bisa bosen kalau mendengarkan sejarah. Anak muda diberikan ruang ekspresi untuk menulis sejarah. Terkadang memang sulit mencari literatur sejarah, coba anak muda yang suruh bikin. Pasti anak-anak akan lebih greget,” terangnya.

Sejarawan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Julianto Ibrahim menyebut selama ini generasi muda hanya sebagai objek dengan materi dan bahan bacaan. Menurut dia, hal itu menyebabkan keterlibatan dan rasa memiliki dari generasi muda kurang. 

Berbeda ketika generasi muda menjadi subjek, dengan menulis walaupun perlu pendampingan. Ia menilai ketika generasi muda terlibat, maka akan menumbuhkan rasa memiliki.

“Agresi atau Serangan Umum 1 Maret atau Yogya Kembali ini kesannya masih bersifat lokal. Padahal ini adalah sejarah nasional, bicara mengenai kembalinya kedaulatan bangsa Indonesia. Seharusnya yang merayakan seluruh Indonesia. Karena selama ini masih elitis, ditulis oleh dosen-dosennya, bukan generasi mudanya, maka kemudian terkungkung di situ,” paparnya.

“Beda kalau generasi muda menulis (sejarah), tidak dibatasi Jogja saja, bisa di seluruh Indonesia, dan mereka bisa memahami dan tersebar. Tentunya Paniradya mengadakan tidak hanya menulis saja, mereka (generasi muda) bisa buat podcast, penelusuran situs sejarah. Maka kemudian sejarah Yogya yang punya kontribusi terhadap Indonesia, bisa dipahami dan dirayakan seluruh Indonesia,” ujarnya.

Ia menambahkan sejarah masih terkungkung pada rezim. Ketika rezim berganti, maka cerita sejarah bisa berbeda. 

Pada peristiwa Serangan Umum 1 Maret dan Yogya Kembali ceritanya berbeda saat Orde Baru, cerita soal peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX tidak pernah ada.

“Karena masyarakat Yogya tahu (peristiwa Serangan Umum 1 Maret dan Yogya Kembali), maka itu berkembang. Kalau generasi muda menulis, generasi muda merasa memiliki, hal-hal yang muncul dari elitis seperti itu bisa didobrak,” pungkasnya. (maw)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.