TRIBUNNEWS.COM - Seorang perawat relawan anak dari Inggris, Hannah Grace Pan mengungkapkan, tidak ada obat pereda nyeri untuk mengobati anak-anak Gaza, Palestina, yang terluka akibat serangan Israel.
Rumah sakit di Gaza juga tidak mempunyai tempat tidur yang cukup untuk pasien, hingga mereka tergeletak di lantai rumah sakit.
Bahkan, tidak ada cukup staf untuk merawat para pasien.
"Rumah sakit di Gaza benar-benar kewalahan; tidak ada cukup tempat tidur; tidak ada cukup staf untuk merawat mereka; pasien tergeletak di lantai", kata Grace Pan, dikutip dari Al Jazeera, Senin (30/6/2035).
Padahal, banyak pasien dan anak kecil dirawat karena mereka mengalami luka berat.
"Cedera hebat dan luka bakar tanpa obat pereda nyeri sama sekali karena tidak tersedia," ungkap Grace Pan.
Minggu lalu, kata Grace Pan, ada seorang anak berusia tiga tahun yang dibawa ke rumah sakit.
Dia adalah satu-satunya yang selamat setelah seluruh keluarganya tewas dalam serangan udara.
Sayangnya tidak ada dokter spesialis luka bakar yang merawatnya di rumah sakit.
Dengan cairan yang tidak mencukupi serta tidak ada makanan, lukanya membutuhkan waktu lebih lama untuk sembuh.
Grace Pan juga menceritakan salah satu kasus paling mengejutkan yang disaksikannya adalah seorang wanita hamil berusia 30 minggu terkena pecahan peluru dari serangan Israel di tendanya.
Peluru tersebut menembus dadanya dan memotong perutnya.
"Ketika staf medis mengeluarkan bayi itu dari perutnya, mereka mendapati bayi itu telah terbunuh oleh logam yang beterbangan," kata Grace Pan.
Di tengah krisis kemanusiaan yang semakin parah, Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) kembali mengirim dua tim Emergency Medical Team (EMT) ke Gaza, untuk membantu mengisi kekosongan layanan medis di wilayah konflik.
Kedua tim akan bertugas di Rumah Sakit Al-Nasr, Khan Younis, satu dari sedikit fasilitas kesehatan yang masih beroperasi di Gaza Selatan.
Setelah itu, tim ketiga dijadwalkan akan berangkat pada 8 Juli 2025 mendatang dan akan disusul oleh tim keempat pada 22 Juli.
Mereka akan bertugas secara bergantian hingga pertengahan Agustus.
Kedua tim akan dipimpin oleh Dr. Jamaludin, spesialis mata senior yang memiliki keahlian dalam operasi katarak dan retina.
Dia akan ditemani oleh lima dokter spesialis lainnya dari berbagai bidang, antara lain ortopedi, kandungan, penyakit kulit, dan bedah umum.
“Secara keseluruhan, tim ini terdiri dari enam dokter ahli yang akan bekerja efektif selama 14 hari di RS Al-Nasr,” kata Prof. Basuki Supartono, Ketua Majelis Permusyawaratan Anggota BSMI dalam konferensi pers pelepasan tim di Jakarta, Jumat (27/6/2025).
Menurut Basuki, Rumah Sakit Al-Nasr kini menjadi harapan terakhir warga Gaza Selatan setelah runtuhnya sejumlah fasilitas utama seperti RS Syifa di Gaza City dan RS Eropa.
Adapun, Al-Nasr disebut setara dengan rumah sakit pendidikan tipe A di Indonesia.
“Kondisi di Gaza telah bergeser dari green zone menjadi red zone. Banyak tenaga medis swasta sudah meninggalkan rumah sakit, sementara tenaga PNS belum menerima gaji selama tiga bulan,” ujarnya.
Kehadiran EMT dari BSMI diharapkan mampu mengambil alih sejumlah tugas medis yang kosong akibat minimnya tenaga kesehatan di lapangan. “Kehadiran tim ini untuk menggantikan peran medis yang saat ini sangat terbatas,” jelas Basuki.
Proses perizinan keberangkatan disebut sudah dilakukan sejak dua pekan lalu.
Dengan ini, pihak BSMI berharap tidak ada hambatan berarti dalam pengiriman tim kali ini.
“Masyarakat Indonesia kami mohon doanya agar semua proses berjalan lancar dan tim dapat menjalankan misi kemanusiaan ini dengan aman,” kata Basuki.
(Rifqah/Erik)