TRIBUNNEWS.COM – Meski kesepakatan gencatan senjata antara Iran dan Israel telah resmi ditekan, namun hal tersebut tak lantas membuat Teheran bisa bernapas lega. Justru pemerintah tetap memberlakukan status siaga satu.
Dalam keterangan resmi media pemerintah Iran, Panglima Militer, Mayor Jenderal Abdolrahim Mousavi, menegaskan bahwa militer Iran tetap dalam posisi siaga penuh untuk menghadapi kemungkinan pelanggaran dari pihak Israel.
Sikap ini diambil lantaran Iran hingga kini masih mempertanyakan komitmen Israel terkait gencatan senjata yang disepakati baru-baru ini menyusul pertempuran selama 12 hari,.
Mengingat Israel memiliki rekam jejak melanggar gencatan senjata, baik dengan kelompok-kelompok di wilayah Palestina maupun dalam konflik tidak langsung dengan Iran.
Oleh karena itu, Iran menolak untuk bersikap lengah atau sepenuhnya mempercayai bahwa Israel akan menepati kesepakatan kali ini.
Militer Iran menganggap bahwa kondisi damai saat ini bisa sewaktu-waktu berubah jika Israel melakukan pelanggaran serius.
Alasan tersebut yang kemudian mendorong mereka untuk tetap siaga guna merespons secara cepat bila konflik kembali pecah.
“Musuh tidak bisa dipercaya sepenuhnya. Kami meragukan itikad mereka dalam menghormati gencatan senjata,” ujar Mousavi, dilansir dari The Times of Israel, Senin (30/6/2025).
“Saat ini kami siap untuk menanggapi dengan kekuatan penuh jika diserang lagi, tambahnya.
Lebih lanjut, dengan menjaga militer dalam posisi siaga, Iran juga mengirim pesan politik ke dalam negeri dan dunia internasional bahwa mereka tidak tunduk pada tekanan eksternal.
Serta tetap mampu membela diri jika sewaktu-waktu terjadi pelanggaran.
Ketegangan antara Iran dan Israel kembali memuncak pada pertengahan Juni 2025, memicu serangkaian serangan udara, rudal balistik, hingga ancaman perang skala penuh terjadi di kawasan Timur Tengah.
Konflik dimulai ketika Israel melancarkan serangan udara ke fasilitas militer Iran, termasuk pangkalan yang dicurigai terkait program nuklir di wilayah Isfahan dan Natanz.
Israel mengklaim serangan ini sebagai respons atas peningkatan aktivitas pengayaan uranium Iran yang mencapai hingga 60 persen, jumlah yang dinilai berisiko mengancam keamanan Israel.
Sebagai balasan, Iran meluncurkan puluhan rudal balistik ke beberapa kota di Israel selatan, termasuk Be’er Sheva dan Ashkelon.
Serangan tersebut menewaskan sejumlah warga sipil dan memicu respons darurat dari pemerintah Israel. Militer Israel menyebut ini sebagai “serangan langsung paling serius sejak 2006.”
Konflik meluas ke wilayah udara Lebanon dan Suriah. Milisi pro-Iran seperti Hizbullah juga dilaporkan meluncurkan roket ke Israel utara.
Israel membalas dengan menggempur wilayah perbatasan Suriah dan menargetkan depot senjata Iran.
Puncaknya Amerika Serikat secara terbuka terlibat dan melancarkan serangan militer terhadap Iran.
Keterlibatan langsung AS memperbesar eskalasi dan meningkatkan kekhawatiran global terhadap pecahnya perang regional yang lebih luas di Timur Tengah.
Namun tak lama setelah itu, Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa Iran dan Israel sepakat untuk gencatan senjata sementara, dimulai pada malam tanggal 24 Juni 2025.
Ia menyebut kesepakatan dicapai melalui negosiasi tertutup yang melibatkan beberapa negara Teluk.
Adapun kesepakatan ini ditekan sebagai cara untuk menghindari kehancuran lebih luas, sembari menjaga kapasitas pertahanan dalam negeri.
Iran memahami bahwa perang langsung dengan Israel dan AS bukan strategi jangka panjang yang menguntungkan.
Oleh karena itu, gencatan senjata dianggap sebagai bentuk “jeda taktis” untuk mengevaluasi kekuatan, memperkuat aliansi, dan menyusun strategi baru jika konflik kembali meletus.
Dengan menyetujui gencatan senjata, Iran juga berupaya menunjukkan diri sebagai negara yang rasional dan terbuka pada solusi diplomatik, bukan sekadar agresor.
Langkah ini dapat memperkuat posisi Iran di mata negara-negara Muslim dan menepis tudingan internasional yang menyebut Iran sebagai pemicu konflik.
(Namira)