Menteri Pariwisata Widiyanti Putri menyambut liburan sekolah dengan menyebut target zero accident di tempat wisata. Apakah mungkin?
Zero accident di tempat wisata yang disebut oleh menpar merujuk kepada pengawasan terhadap aspek keamanan dan keselamatan di destinasi yang berisiko tinggi sampai ekstrem, seperti gunung dan jembatan.
Baru-baru ini seorang turis Brasil ditemukan tewas usai melakukan pendakian di Gunung Rinjani, yang masuk dalam kategori wisata ekstrem.
Menanggapi kabar soal kecelakaan yang menimpa turis Brasil, ia menekankan bahwa keselamatan dan keamanan wisatawan menjadi prioritas utama dalam mengembangkan pariwisata nasional.
Pengawasan yang diperketat diharapkan mampu menekan kecelakaan di area wisata hingga nihil kecelakaan (zero accident).
Pakar kebijakan publik pariwisata, Profesor Azril Azahari tertawa mendengar tanggapan dari Menpar Widiyanti. Dari segi ilmu pariwisata, zero accident seharusnya bukan target tapi menjadi pra-syarat bagi semua tempat wisata sebelum diberi izin oleh pemerintah.
"Pra-syarat itu termasuk di dalamnya manajemen risiko pariwisata dan mitigasi risiko. Ini harus ada SOP-nya, tidak diomongkan saja," jawabnya pada detikTravel pada Senin (30/6).
Menjelaskan dengan lebih detail, manajemen risiko memiliki cakupan yang lebih luas seperti identifikasi, analisis, monitoring sampai evaluasi risiko, termasuk di dalamnya penanganan dan penanggulangan risiko.
"Sebelum tempat wisata dijalankan, SOP ini sudah harus ada," jelasnya.
Selanjutnya adalah mitigasi risiko yaitu penanganan terhadap kejadian yang dikategorikan menjadi dua tipe yaitu kecelakaan dan bencana alam.
"Bencana alam seperti banjir, hujan, tanah longsor dan rob, kedua adalah kecelakaan adalah karena situasi krisis atau kecelakaan. Yang menpar maksudkan yang mana?," katanya.
Lebih lanjut, bencana alam yang ditimbulkan oleh pariwisata sangat banyak, Prof Azril menyebut tempat wisata Puncak yang mengambil lahan di lerenag gunung. Sementara yang terjadi di Gunung Rinjani adalah kecelakaan akibat aktivitas pengunjung.
"Mitigasi itu perlu dilakukan di tempat-tempat petualangan ekstrem, contohnya mendaki Gunung Rinjani, panjat tebing atau surfing di Mentawai," ucapnya.
Pemerintah harusnya telah merancang mitigasi risiko terhadap semua risiko. Kecelakaan dalam situasi ekstrem harus memiliki SOP yang dipahami oleh semua kalangan, terkhusus pemandu.
"Saya nggak tahu apakah pemandu yang kemarin itu punya sertifikat atau enggak. Tapi ini jelas salah," terang akademisi itu.
Pemandu wisata gunung harus memiliki sertifikasi agar dapat memahami SOP dalam keadaan genting. Prof Azril menjelaskan bahwa meninggalkan orang sakit sendirian saja sudah melanggar SOP.
"Harusnya yang sakit itu yang dijaga bukan yang sehat yang dijaga. Kemudian kesalahan lain adalah pemandu untuk satu grup hanya satu orang, balik lagi ke kasus ini. Kalau satu orang sakit dan harus dijaga, maka yang sehat dipandu siapa?" ajarnya.
Menurut SOP, seharusnya kelompok dengan jumlah lebih dari dua orang wajib dipandu oleh dua orang. Inilah mengapa sertifikasi di tempat wisata ekstrem sangat diperlukan.
"Penanganan dari Kementerian Pariwisata harus serius. Satu jiwa sangat berharga," jelasnya.
Kementerian Pariwisata diharapkan mampu menyediakan sertifikasi bagi seluruh lapisan pelayanan jasa, sehingga tiap pemandu bisa paham tentang SOP keselamatan pengunjung. Saat ini, mitigasi keselamatan di tempat wisata dinilainya sangat lemah.
"Zero accident itu mimpi, dari peralatan saja tidak memadai. Peralatan bencana alam dengan kecelakaan itu berbeda, sertifikasi dari badan nasional sertifikasi profesi (BNSP) juga belum ada. Mohon kepada pemerintah untuk menindaklanjuti ini," pungkasnya.