3 Fakta soal Berobat Pakai Asuransi Bayar 10% Ditunda!
GH News July 01, 2025 08:03 AM

Rencana Otoritas Jasa Keuagan (OJK) menerapkan kebijakan co-payment asuransi akhirnya ditunda. Sebagai informasi, kebijakan tersebut mewajibkan para nasabah asuransi kesehatan wajib membayar 10% dari total pengajuan klaim biaya berobat.

Aturan co-payment sendiri merupakan salah satu produk aturan yang keluar berdasarkan Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan. Seharusnya, kebijakan ini mulai berlaku pada 1 Januari 2026.

Dalam skema co-payment ditetapkan batas maksimum yang harus dibayar peserta sebesar Rp 300 ribu per pengajuan klaim untuk rawat jalan dan Rp 3 juta untuk rawat inap per pengajuan klaim. Perusahaan asuransi bisa menetapkan nilai lebih tinggi jika disepakati dalam polis.

Namun, setelah rapat DPR dengan OJK, kebijakan tersebut ditunda. Berikut fakta-faktanya

1. Dibahas di DPR

Komisi XI DPR RI memanggil jajaran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk membahas skema pembagian risiko atau co-payment tersebut. Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, mengatakan kebijakan yang rencananya akan berlaku di tahun 2026 tersebut ramai dipertanyakan oleh masyarakat.

"Kita perlu mendengarkan penjelasan dari Otoritas Jasa Keuangan, karena ini sedang menjadi masalah yang ramai di media dan banyak pertanyaan tidak hanya disampaikan ke saya, tapi ditujukan hampir ke semua anggota Komisi XI," kata Misbakhun saat membuka Rapat Kerja (Raker) di Senayan, Jakarta, Senin (30/6/2025).

Kepala Eksekutif Pengawasan Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun (PPDP) OJK, Ogi Prastomiyono, menjelaskan bahwa kebijakan itu berlaku per 1 Januari 2026 untuk para pemegang polis baru. Sedangkan untuk pemegang polis yang sudah berjalan diberikan waktu hingga 31 Desember 2026.

"Jadi tidak otomatis itu diubah, tapi tetap karena perjanjian sudah dibuat dan berakhir ketentuan itu pada saat pertanggungan itu berakhir dengan catatan maksimum 31 Desember 2026," kata Ogi, dalam sesi pemaparannya.

Ogi mengatakan, kebijakan co-payment ini berlaku hanya untuk asuransi kesehatan komersial dan tidak berlaku untuk BPJS Kesehatan. Kebijakan seperti ini disebut telah diterapkan di beberapa negara untuk menekan premi agar lebih terjangkau.

"Kami sudah meminta untuk perusahaan asuransi melakukan simulasi bagaimana premi sebelum atau tanpa co-payment dengan setelah co-payment. Jadi secara analytical, itu untuk premi yang dengan co-payment itu lebih murah," ujarnya.

2. Ditunda

Namun demikian, setelah diskusi panjang, akhirnya kesimpulan Raker menyepakati bahwa implementasi kebijakan co-payment asuransi ditunda. Penundaan dilakukan setidaknya hingga Peraturan OJK (POJK) terkait kebijakan itu diteken.

"Dalam rangka penyusunan POJK sebagaimana yang dimaksud dalam poin dua atau kesimpulan ini, OJK menunda pelaksanaan SE OJK Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan sampai diberlakukannya POJK," ungkap Misbakhun, di gedung Parlemen RI, di Jakarta, Senin, (30/6/2025).

Dengan demikian, OJK perlu menyelesaikan pembentukan POJK terlebih dulu untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut. Misbakhun juga memastikan, pihaknya akan melaksanakan meaningful participation dalam rangka menyerap aspirasi dari pihak yang berkepentingan tentang aturan tersebut.

Merespons hal tersebut, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan, pihaknya dapat memahami dan menerima kesimpulan tersebut. "Kami dapat menyepakati dengan pemahaman tadi," kata Mahendra di tengah rapat.

3. DPR Protes OJK

Misbakhun juga menyinggung tentang keterlibatan DPR RI dalam proses penyusunan SE. Dalam hal ini, OJK justru lebih banyak berkonsultasi dengan pihak eksternal, di mana kajian awal SE ini dilakukan bersama dengan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB Universitas Indonesia (UI).

"Kita ini kan tidak pernah punya masalah dalam hubungan dengan OJK ini, kita terakhir banyak melakukan konsinyering, tapi Bapak tidak pernah menyampaikan ini ke kita. Tiba-tiba keluar yang seperti ini, bahwa proses penyusunan ini tentang penyelenggaraan dilaksanakan bersama lembaga ini," ujarnya.

Selain itu, ketimbang menerbitkan SE terlebih dulu, Misbakhun menilai bahwa sebaiknya OJK menerbitkan Peraturan OJK (POJK) dalam rangka memberikan penguatan ke depannya. Apalagi bila berkaca pada urgensi penerapan kebijakan ini, sehingga diperlukan peraturan yang lebih struktural.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.