Retorika Politik: Seni Menggugah Emosi dalam Panggung Demokrasi
Matthew Calvine Lawrence July 01, 2025 12:40 PM
Dalam dunia politik, kata-kata bukan hanya alat komunikasi, tapi juga senjata yang kuat. Politisi tidak hanya berbicara untuk menyampaikan pesan, tetapi untuk membangun citra, menggerakkan massa, dan yang paling penting memengaruhi opini publik. Seni berbicara inilah yang dikenal sebagai retorika politik, yang telah menjadi bagian penting dalam praktik demokrasi sejak zaman Yunani Kuno
Dalam Kutipan Aristoteles dalam bukunya "Rhetoric",
kutipan ini secara tegas bahwa retorika bukanlah tentang memanipulasi atau memaksakan kehendak, melainkan kemampuan untuk mengidentifikasi dan menggunakan berbagai strategi persuasif yang relevan dan efektif dalam situasi tertentu.
Retorika bukan sekadar gaya bahasa yang indah, tetapi juga strategi untuk menggugah emosi, membangun kepercayaan, dan menyusun logika argumen. Dalam politik, retorika menjadi jembatan antara ide dan tindakan, antara pemimpin dan rakyat.
Strategi Retorika dalam Dunia Politik
Dalam praktiknya, retorika politik terbagi menjadi tiga unsur utama yang diperkenalkan Aristoteles, dan masih relevan hingga kini:
Ethos (Etika & Kredibilitas) : Politisi membangun citra sebagai sosok yang kompeten, jujur, dan dapat dipercaya. Misalnya, dengan menampilkan latar belakang pendidikan, pengalaman, atau nilai moral yang dianut.
Pathos (Emosi) : Menggunakan narasi yang menyentuh hati: penderitaan rakyat, harapan masa depan, atau nasionalisme. Contohnya, saat kampanye, banyak tokoh yang menampilkan kisah rakyat kecil untuk menggugah empati.
Logos (Logika) : Argumen berbasis data, analisis, dan solusi konkret. Ini menunjukkan kemampuan berpikir dan rencana kerja yang terukur.
Contoh dalam Praktik Politik Indonesia
Perbesar
Sumber : freepik.com
Retorika politik sering terlihat dalam debat capres, kampanye, hingga unggahan media sosial. Beberapa politisi menggunakan gaya tutur yang merakyat menyelipkan guyonan khas daerah, memakai bahasa sederhana, atau menyapa massa dengan sebutan akrab seperti “saudara-saudaraku.”
Contohnya, dalam pemilu 2024 lalu, beberapa tokoh menonjolkan diri sebagai “wakil rakyat sejati” yang lahir dari kalangan biasa, sebagai bentuk ethos. Mereka membingkai janji kampanye dalam cerita-cerita yang menyentuh hati (pathos), sembari menyisipkan angka dan program unggulan (logos).
Semua ini bukan sekadar kata, tapi bagian dari strategi membentuk persepsi publik.
Retorika dan Realita : Saatnya Publik Lebih Kritis
Retorika politik bukan hal negatif. Dalam demokrasi, kemampuan berbicara memang dibutuhkan untuk menginspirasi dan menyatukan. Namun, di sisi lain, publik juga perlu lebih kritis terhadap isi pesan di balik gaya bicara.
Dalam era digital, masyarakat kerap disuguhi narasi bombastis dan slogan yang viral, namun tidak selalu diiringi bukti nyata. Karena itu, penting bagi kita sebagai warga negara untuk tidak hanya terpikat oleh gaya, tetapi juga mengkaji substansi.
Retorika Bukan Sekadar Kata, Tapi Tanggung Jawab
Dalam panggung demokrasi, retorika memang penting. Tapi lebih penting lagi adalah kesadaran publik untuk membedakan antara retorika yang membangun dan yang menyesatkan.
Retorika yang baik akan menyentuh nurani, menyatukan bangsa, dan mendorong perubahan. Tapi retorika yang kosong hanya akan menjadi gema di tengah kekecewaan.
Sudah waktunya kita sebagai pemilih menjadi lebih cerdas. Karena dalam demokrasi, kekuatan bukan hanya di tangan politisi yang bicara tapi juga di tangan rakyat yang mendengarkan, menganalisis, dan memilih dengan bijak.