Jejak Kaki Nina
Odemus Bei Witono July 01, 2025 04:20 PM
Matahari pagi mengintip malu-malu dari balik awan saat deretan murid SMA Mentari Dharma memasuki gerbang sekolah dengan semangat yang hampir seragam, yakni ceria, berisik, dan hidup. Suara tawa, gumam obrolan, serta langkah kaki yang ritmis membentuk harmoni khas pagi hari di sekolah itu.
Akan tetapi, di antara riuhnya dunia remaja itu, ada satu sosok yang tampak berjalan pelan dan sepi, yaitu Nina. Matanya kosong menatap tanah, bibirnya tak menyunggingkan senyum, dan bahunya sedikit merunduk seakan memikul beban tak kasat mata. Ia seperti lukisan suram yang terselip dalam kanvas penuh warna-warni kehidupan remaja.
Nina dikenal sebagai murid pendiam dan nyaris tak pernah terlibat dalam percakapan hangat teman-temannya. Ia duduk di kelas XI Newton, selalu di pojok ruangan, seperti menghindari cahaya dan keramaian. Meski perilaku dan sikap dirinya tenang dan tak pernah membuat masalah, namun keberadaannya nyaris tak terasa.
Nilainya baik, rapi, dan nyaris sempurna di atas kertas, tetapi dalam kehidupan nyata sekolah yang menekankan partisipasi aktif dan kerja sama, Nina seperti tak pernah benar-benar hadir. Padahal di SMA Mentari Dharma, menjadi baik saja ternyata tidak cukup—setiap murid didorong untuk menjadi dinamis, kreatif, dan punya semangat membangun bersama.
Alex, si ketua kelas ramah dan penuh inisiatif, pernah mengajaknya ikut rapat OSIS. John dan Sally, yang dikenal aktif di klub teater, mencoba membujuknya untuk tampil di panggung sebagai pengisi suara latar.
Bahkan Susan, teman masa kecil yang kini juga teman sekelasnya, dengan sabar menawarkan berbagai kegiatan menarik seperti jurnalistik, desain poster, atau sekadar jadi sukarelawan di perpustakaan.
Namun, semua usaha mereka berakhir di tembok sunyi. Kadang Nina tersenyum kecil sebagai bentuk penolakan, kadang hanya menggeleng, dan sering kali hanya diam tanpa jawaban. Bukan karena ia sombong atau tak peduli—tapi karena ada sesuatu dalam dirinya yang belum tuntas.
Suatu pagi, setelah bel masuk berbunyi dan murid lain bergegas menuju kelas masing-masing, nama Nina terdengar dipanggil lewat pengeras suara untuk menghadap ke ruang kedisiplinan. Jantungnya berdebar. Ia tidak merasa berbuat salah, tapi tetap saja perasaan cemas menyelimutinya.
Di ruangan itu, duduk menunggu Frater Vincent—Sub-Moderator sekolah—yang dikenal sebagai sosok tenang namun penuh wibawa. Dengan berpakaian batik sederhana, Frater Vincent menatap Nina dengan tajam namun tidak menghakimi. “Nina, duduklah,” ucapnya lembut tapi mantap. Nina menunduk dan menurut.
Setelah sejenak hening, Frater Vincent berbicara dengan nada yang membuat udara terasa lebih berat. “Nina, kalau kamu tidak mau aktif, lebih baik kamu keluar saja dari sekolah ini.” Kalimat itu jatuh seperti petir di siang bolong. Mata Nina membelalak. Tak pernah ia bayangkan akan mendengar kalimat seperti itu dari seorang religius yang selama ini ia kagumi karena kelembutannya.
Suasana menjadi tegang. Nafas Nina tercekat. Ia belum bisa berkata-kata. Frater Vincent melanjutkan dengan suara lebih pelan namun tetap tegas, “Kamu memang anak baik, Nina. Tapi sekolah ini ingin kamu jadi lebih baik. Kami ingin saat kamu lulus, kamu menjadi yang terbaik, minimal bagi dirimu sendiri.”
Ruangan itu kembali senyap. Pikiran Nina berkecamuk. Kata-kata itu menusuknya dalam-dalam, bukan karena kasar, tapi karena benar. Ia selama ini hanya ingin tidak mengganggu siapa-siapa, tidak membuat masalah, tidak menuntut perhatian.
Tapi ternyata itu saja tidak cukup. Sekolah menginginkan murid dinamis, bukan sekadar hadir. Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, Nina mengangkat kepala dan dengan suara hampir berbisik ia berkata, “Frater… saya dibimbing ya… supaya bisa aktif.” Frater Vincent menatapnya lama, lalu tersenyum tipis. Ada harapan di sana.
Frater kemudian bertanya, “Apakah kamu punya persoalan di rumah?” Pertanyaan itu menghantam lebih dalam dari yang Nina kira. Ia terdiam cukup lama sebelum akhirnya mengangguk pelan.
“Sejak kecil saya sering dimarahi, Frater. Apa pun yang dilakukan selalu salah di mata orang tua. Sampai akhirnya saya takut berbuat salah. Saya pikir… kalau saya diam saja, tidak akan menyusahkan siapa-siapa.” Suaranya bergetar, seperti membuka pintu lama berdebu. Itu adalah pengakuan pertama yang keluar dari mulutnya tentang luka batin yang selama ini disimpan rapat-rapat.
Frater mengangguk penuh pengertian. “Diam bukan selalu berarti aman, Nina. Kadang, justru diam membunuh harapanmu sendiri.” Kalimat itu menjadi seperti lentera yang mulai menyalakan ruang gelap dalam hati Nina.
Ia menyadari bahwa ketakutan selama ini telah merampas banyak hal dari dirinya, yakni keceriaan, potensi, bahkan kesempatan menemukan dirinya sendiri. Dan saat itulah, benih keberanian pertama tumbuh perlahan dalam dirinya. Tidak lagi ingin bersembunyi, tidak lagi ingin sekadar “tidak salah,” tapi ingin mulai mencoba, meski takut.
Hari-hari setelah percakapan itu menjadi awal dari perubahan. Dengan bimbingan Frater Vincent dan dorongan lembut dari teman-temannya yang kini mulai didekati dengan sedikit senyum, Nina perlahan membuka diri.
Ia bersedia menjadi panitia acara sekolah, meski hanya membantu di belakang layar. Ia berani membacakan puisi saat pelajaran bahasa, meski suaranya masih gemetar. Nina bahkan menulis satu artikel kecil untuk majalah dinding tentang pentingnya mendengarkan, dan itu dibaca banyak murid. Tidak semuanya berjalan mulus. Kadang masih gugup, masih ragu, tapi ia mulai melangkah. Dan itu sudah cukup.
Langkah Nina memang lambat, namun tiap langkahnya bermakna. Ia tahu dirinya belum menjadi seperti Alex yang supel atau Sally yang karismatik. Tapi ia juga tahu bahwa dirinya tak lagi sama seperti dulu.
Ia mulai memahami bahwa menjadi aktif bukan berarti harus sempurna, melainkan berani mencoba, meski tak pasti. Dan dari proses itu, ia mulai menemukan suara sendiri, menemukan keberanian, dan pelan-pelan membangun kepercayaan diri yang selama ini hancur oleh ketakutan masa kecil.
Di akhir tahun ajaran, nama Nina disebut dalam penghargaan “Murid dengan Perkembangan Terbaik.” Ia berdiri di panggung kecil, menerima piagam dengan tangan gemetar namun mata berbinar.
Semua orang memberi tepuk tangan, termasuk Alex, John, Sally, Susan, dan tentu saja Frater Vincent yang tersenyum penuh bangga di sudut ruangan. Bukan karena nilainya yang paling tinggi, bukan karena prestasi mencolok, tapi karena ia telah berani keluar dari bayang-bayang masa lalu dan memilih untuk tidak hanya menjadi baik, tapi menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.