TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) meminta Komisi XI DPR RI agar mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membatalkan Surat Edaran (SEOJK) Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan.
Dalam SEOJK tersebut, terdapat skema co-payment yang mengatur pembagian risiko pembiayaan layanan kesehatan antara perusahaan asuransi dan nasabah.
Melalui skema co-payment atau pembagian risiko, pemegang polis diwajibkan menanggung 10 persen dari total klaim, dengan batas maksimal Rp 300.000 untuk rawat jalan dan Rp 3.000.000 untuk rawat inap.
Adapun skema co-payment mulai berlaku pada 1 Januari 2026.
Namun, ketentuan tersebut tidak berlaku untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan BPJS Kesehatan.
Ketua FKBI Tulus Abadi mengungkap bahwa Komisi XI DPR RI telah meminta OJK untuk menangguhkan SEOJK Nomor 7 Tahun 2025. Permintaan ini pun disepakati OJK.
Tulus memandang rekomendasi tersebut ambigu karena sifatnya hanya menangguhkan atau menunda.
"Dengan kata lain, Komisi XI DPR tidak serius menyerap aspirasi publik, bahkan hanya setengah hati saja. Sebab, kalau hanya menunda atau menangguhkan, maka suatu saat OJK akan memberlakukan SE tersebut," kata Tulus dalam keterangan tertulis, dikutip Selasa (1/7/2025).
Menurut Tulus, rekomendasi Komisi XI justru akan makin menguatkan SE tersebut dan ditingkatkan menjadi produk hukum yang lebih kuat, yakni Peraturan OJK.
"Seharusnya rekomendasi Komisi XI DPR adalah meminta OJK untuk membatalkan SE JK Nomor 7 Tahun 2025 tersebut dan meminta untuk tidak mengulanginya lagi dengan membuat SEOJK/POJK serupa," ujarnya.
Tulus menilai SEOJK Nomor 7 Tahun 2025 harus dibatalkan karena mengandung sesat pikir.
SEOJK Nomor 7 Tahun 2025 dinilai akan sangat melemahkan dan menjadikan konsumen asuransi produk kesehatan sebagai kambing hitam.
Alasan Terbit SEOJK Nomor 7 Tahun 2025
SEOJK Nomor 7 Tahun 2025 disebut disahkan dengan alasan untuk mengurangi praktik fraud yang dilakukan konsumen, over utilitas, dan tingginya inflasi di sektor kesehatan.
Ketiga alasan itu, kata Tulus, sangat tidak adil. Ia mencontohkan dugaan praktik fraud di sektor kesehatan itu tidak hanya dari konsumen, tetapi juga dari pemangku kepentingan lainnnya.
"Tetapi, kenapa konsumen yang hanya dijadikan tertuduh dan kemudian dibebani co-payment sebesar 10 persen?" tanya Tulus.
Menurut Tulus, dugaan over utilitas oleh konsumen juga bisa dimitigasi dengan membuat prasyarat yang lebih ketat.
Contohnya, data riwayat kesehatan harus disertakan secara detail melalui hasil medical check up, sehingga nantinya tak akan terjadi over utilitas oleh konsumen.
"Jadi, over utilitas bisa karena terlalu longgarnya aturan saat konsumen akan menjadi peserta asuransi kesehatan," ucap Tulus.
Kemudian, terkait dengan tingginya inflasi di sektor kesehatan yang disebut mencapai 12,5 persen, Tulus menilai itu adalah tugas dan tanggung jawab regulator serta pemerintah untuk mengintervensi.
Tulus mengatakan, konsumen jangan dijadikan tameng untuk menurunkan tingginya inflasi tersebut.
"Pemerintah dan OJK harus mengulik dari sisi hulu hingga hilir agar tingginya inflasi di sektor kesehatan bisa diturunkan, sebagaimana inflasi secara keseluruhan," kata Tulus.
Penjelasan OJK
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono mengatakan, co-payment dari pemegang polis bertujuan untuk mendorong pemanfaatan layanan medis dan layanan obat yang lebih berkualitas.
Kemudian, aturan ini akan mendorong premi asuransi kesehatan yang affordable atau lebih terjangkau karena peningkatan premi dapat dimitigasi dengan lebih baik.
Sehingga, kata Ogi, co-payment tidak menaikkan premi dari pemegang polis asuransi kesehatan, justru dapat menurunkan premi atau setidaknya menahan laju kenaikan premi yang tinggi akibat beberapa faktor misalnya inflasi kesehatan.
"Pada 2024 itu, premi naik hampir 40 persen. Kenapa? Karena klaimnya tertalu tinggi. Adanya co-payment bisa menurunkan premi atau menahan kenaikan yang tinggi," ucap Ogi yang dikutip Jumat (13/6/2025).
Adapun faktor yang sangat mempengaruhi premi asuransi yakni inflasi kesehatan. Tercatat, inflasi kesehatan Indonesia pada 2024 sebesar 10,1 persen dan 2025 di level 13,6 persen.
Ogi pun memberikan contoh salah satu premi produk kesehatan yang sudah menggunakan co-payment di salah satu perusahaan asuransi.
Asuransi tanpa co-payment memiliki nilai premi Rp4.279.000 per tahun dan gunakan co-payment hanya Rp3.3881 juta per tahun.
"Sample produk asuransi kesehatan di Indonesia yang menggunakan fitur co-payment menunjukkan premi yang lebih affordable dibandingkan dengan produk asuransi kesehatan tanpa fitur co-payment, sehingga SEOJK 7/2025 diharapkan dapat menekan kenaikan premi signifikan yang sebelumnya terjadi," tuturnya.
Di sisi lain, skema co-payment ini bisa membantu meminimalisir potensi penyalahgunaan atau fraud saat pengajuan klaim. Potensi fraud ini bisa berasal dari berbagai pihak termasuk perusahaan asuransi hingga pihak rumah sakit.
"Kami monitor di negara-negara lain itu 5-10 persen dari klaim untuk asuransi kesehatan itu adalah fraud. Indonesia kami perkirakan itu 5 persen, artinya dia tidak terjadi tindakan itu atau dia menggunakan dokumen palsu," paparnya.
Respons AAJI
Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) menyambut baik terbitnya SEOJK Nomor 7 Tahun 2025.
Ketua Dewan Pengurus AAJI Budi Tampubolon mengatakan adanya SEOJK itu sebagai langkah strategis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam memperkuat tata kelola dan keberlanjutan ekosistem asuransi kesehatan di Indonesia.
"Regulasi itu hadir sebagai jawaban atas tantangan industri, khususnya yang terkait dengan pengendalian biaya klaim, transparansi manfaat, serta perlindungan hak masyarakat," ungkapnya dalam konferensi pers AAJI, Rabu (4/6/2025).
Lebih lanjut, Budi memandang aturan itu sebagai peluang untuk membangun sistem asuransi kesehatan yang lebih adil dan efisien.
Oleh karena itu, Budi mengatakan AAJI secara aktif berkoordinasi dengan OJK agar implementasi regulasi yang tertuang dalam SEOJK 7 Tahun 2025 tetap selaras dengan dinamika industri, sekaligus menjaga keseimbangan antara kemampuan perusahaan dan pelindungan yang optimal bagi masyarakat.