Ketika Kebenaran Menjadi Negosiasi :Potret Nalar Madura Di Era Kabur Makna
Ericha Oktavia July 01, 2025 12:20 PM
Di tengah derasnya arus informasi digital, kebenaran tak lagi berdiri kokoh sebagai sesuatu yang pasti. Ia kini menjadi ruang tawar-menawar, bahkan sering kali tergelincir dalam pusaran opini, emosi, dan kepentingan. Dalam konteks ini, budaya Madura sebagai entitas yang kaya akan tradisi lisan dan struktur sosial kolektif menghadapi tantangan serius dalam mempertahankan kejernihan nalar dan kearifan lokal.
Orang Madura dikenal memiliki kekuatan dalam menjaga nilai, kehormatan, dan solidaritas sosial. Namun, ketika kebenaran tidak lagi ditentukan oleh fakta, melainkan oleh siapa yang paling berisik atau paling dipercaya secara emosional, masyarakat bisa terjebak dalam konflik naratif yang memecah. Di sinilah kita melihat bagaimana kebenaran mulai dinegosiasikan bukan berdasarkan data atau akal sehat, tetapi berdasarkan loyalitas dan perasaan.
Dalam budaya Madura, cerita (carèta) punya posisi penting sebagai media pewarisan nilai dan pengalaman. Namun, ketika cerita berubah menjadi kabar burung, fitnah, atau provokasi yang tersebar melalui media sosial, nilai-nilai tradisional bisa terkikis. Nalar kritis tergantikan oleh sikap reaktif. Bahkan, semangat bela harga diri (harga diri atau "pèsse") yang dahulu menjadi tonggak moral, bisa dimanipulasi untuk kepentingan sempit.
Masyarakat Madura sebenarnya memiliki modal sosial dan filsafat hidup yang kuat untuk menahan gelombang distorsi makna ini. Filosofi "terang-terangan tapi tegas", serta kecenderungan untuk membela keadilan dengan keberanian, bisa menjadi dasar untuk membangun budaya literasi kebenaran. Tapi keberanian itu perlu diarahkan pada upaya merawat akal sehat, bukan hanya mengikuti arus emosi.
Tugas kita hari ini bukan sekadar melestarikan budaya, tapi juga memurnikannya dari polusi naratif yang menyesatkan. Menyadari bahwa kebenaran bukan lagi barang tunggal yang dikonsumsi pasif, tetapi harus diperjuangkan secara aktif, adalah langkah awal untuk membangun kembali rasionalitas publik, termasuk di Madura.
Budaya Madura harus menjadi subjek yang sadar dalam pusaran zaman, bukan objek yang dibentuk oleh kekacauan makna. Dan itu hanya mungkin jika kita berani kembali pada prinsip dasar: berpikir jernih, bersikap adil, dan berbicara benar meski sunyi.