PMI Manufaktur RI Juni Jeblok, Terendah Kedua Sejak 2021
GH News July 01, 2025 03:04 PM

Sektor manufaktur Indonesia kembali mengalami tekanan berat. Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur RI yang dirilis S&P Global mencatat kontraksi di level 46,9 pada Juni 2025, turun dari 47,4 pada bulan sebelumnya. Ini merupakan level terendah kedua sejak Agustus 2021, menandakan kinerja industri terus melemah di tengah tekanan global dan domestik.

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyoroti sejumlah faktor eksternal yang ikut menyeret kinerja sektor ini, mulai dari ketegangan geopolitik Iran-Israel, lonjakan harga energi, hingga gangguan rantai pasok global. Ketidakpastian akibat perang dagang Amerika Serikat dan China juga memperburuk prospek ekspor dan melemahkan kepercayaan bisnis.

"Kombinasi risiko global ini membebani daya beli konsumen dan menghambat aktivitas industri. Gangguan pasokan energi dan serbuan produk impor juga menjadi pukulan telak bagi manufaktur dalam negeri," kata Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arief dalam keterangan tertulis, Selasa (1/7/2025).

Pelemahan PMI dipicu oleh merosotnya permintaan atas barang produksi dalam negeri. Permintaan baru tercatat anjlok selama tiga bulan berturut-turut, dengan kontraksi terdalam sejak Agustus 2021. Banyak perusahaan melaporkan minimnya aktivitas pasar dan klien yang menahan pemesanan.

Laporan S&P Global menunjukkan pesanan ekspor baru stagnan setelah dua bulan berturut-turut turun. Tekanan pada permintaan turut menyeret output manufaktur yang kembali menurun pada Juni.

"Ekspor manufaktur hanya berkontribusi sekitar 20% terhadap PDB industri. Maka dari itu, pasar domestik harus dijaga agar industri kita tetap bertahan," tegas Febri.

Menurutnya, stimulus fiskal dan nonfiskal yang tepat sasaran sangat dibutuhkan untuk mengungkit kembali produksi. Kemenperin juga mendorong kebijakan pengendalian impor dan regulasi perlindungan industri lokal, seperti revisi Permendag Nomor 8/2024 yang baru diumumkan pemerintah.

Febri menambahkan, tekanan daya beli sangat terasa, terutama di luar pusat-pusat ekonomi utama. Banyak pengusaha di daerah bergantung pada belanja pemerintah, sementara konsumsi masyarakat melemah akibat prioritas pengeluaran, termasuk untuk pendidikan anak.

"Ketidakmampuan mendongkrak penjualan membuat perusahaan memangkas kapasitas produksi. Pemutusan hubungan kerja (PHK) juga terjadi dua kali dalam tiga bulan terakhir, dengan laju tercepat dalam hampir empat tahun," jelas Febri.

Indeks Kepercayaan Industri (IKI) juga mencatat penurunan permintaan untuk produk konsumsi seperti makanan, pakaian, dan elektronik. Hal ini mencerminkan lemahnya daya beli masyarakat yang menahan belanja.

Ekonom S&P Global Market Intelligence Usamah Bhatti menyebut penurunan kondisi manufaktur Indonesia semakin dalam di pertengahan 2025. Lemahnya permintaan menyebabkan perusahaan mengurangi produksi, penjualan, bahkan merevisi turun proyeksi bisnis.

"Perusahaan mengurangi pembelian dan tenaga kerja. Kepercayaan bisnis juga turun ke titik terendah dalam delapan bulan terakhir," kata Usamah.

Kondisi serupa juga dialami sejumlah negara manufaktur lain di ASEAN seperti Vietnam (48,9), Malaysia (49,3), dan Myanmar (49,0), serta negara industri besar lainnya seperti Inggris (47,7), Prancis (47,8), Korea Selatan (48,7), dan Jerman (49,0).

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.