Mewarisi Dunia Trump, Perang Tarif, & Urgensi Kemandirian Alutsista Indonesia
Darynaufal Mulyaman July 01, 2025 05:21 PM
Naiknya Donald Trump ke tampuk kekuasaan di Amerika Serikat pada 2016 bukan sekadar babak baru dalam politik domestik Negeri Paman Sam. Dunia menyaksikan bagaimana seorang pengusaha real estat yang tak punya pengalaman birokrasi memutar balik arah globalisasi yang selama ini dijaga dengan rapi oleh konsensus liberal. Melalui slogan "America First", Trump mengguncang institusi-institusi multilateral dan memperkenalkan ulang nasionalisme ekonomi sebagai doktrin utama kebijakan luar negerinya. Salah satu manifestasi paling gamblang dari pendekatan ini adalah perang tarif yang ia lancarkan terhadap Tiongkok, Uni Eropa, dan bahkan Kanada, yang mana adalah sekutu tradisional Amerika Serikat. Pada perang ini, bukan hanya baja dan aluminium yang dipertaruhkan, melainkan reputasi globalisasi itu sendiri sebagai mekanisme kerja sama antarbangsa.
Perang tarif ini tak bisa dibaca sebagai sekadar kebijakan ekonomi. Ia adalah strategi geopolitik. Trump menyadari bahwa dominasi dalam rantai pasok global sama pentingnya dengan dominasi militer. Tanpa kemandirian dalam semikonduktor, logam tanah jarang, dan sistem manufaktur canggih, Amerika Serikat berisiko kehilangan pengaruhnya di dunia. Dan ketika perang dagang dimulai, seluruh dunia ikut merasakan getarannya. Negara-negara yang selama ini nyaman dengan posisi sebagai “pasar” harus mulai mempertanyakan: sejauh mana kita bisa bertahan dalam sistem global yang rapuh?
Dalam konteks inilah, Indonesia seharusnya mulai meninjau ulang posisi strategisnya. Kemandirian alutsista yang selama ini lebih banyak menjadi jargon politis ketimbang arah kebijakan yang serius mendapat urgensi baru. Di dunia yang makin penuh ketidakpastian, ketergantungan pada produk militer asing bukan hanya mahal, tapi juga rawan secara geopolitik. Sejarah telah mengajarkan, embargo militer yang dijatuhkan kepada Indonesia pasca-1999 akibat krisis Timor Timur membuat kita benar-benar lumpuh dalam pemeliharaan dan modernisasi alutsista. Namun sayangnya, pelajaran ini belum sepenuhnya diinternalisasi.
Jika kita menoleh ke Korea Selatan, ada banyak hal yang bisa kita pelajari. Negara yang dahulu juga mengandalkan impor persenjataan dari Amerika Serikat ini kini telah menjadi salah satu pemain utama dalam industri pertahanan global. Jet tempur KF-21 Boramae, kapal selam kelas Dosan Ahn Chang-ho, hingga sistem artileri K9 Thunder adalah bukti nyata dari keberhasilan Korea dalam membangun ekosistem industri pertahanannya. Mereka tidak membangun dari nol, tetapi dari komitmen politik, konsistensi kebijakan, dan investasi besar-besaran pada riset dan pengembangan.
Yang menarik, Korea Selatan tidak melakukannya dalam isolasi. Mereka tetap menjalin kerja sama erat dengan Amerika Serikat dan negara-negara NATO. Namun alih-alih menjadi sekutu pasif, mereka menjelma menjadi mitra yang otonom dan diperhitungkan. Strategi pertahanan mereka mencerminkan kombinasi antara realisme geopolitik dan nasionalisme teknologi. Sementara itu, di Indonesia, kerja sama serupa seperti misalnya dalam proyek KF-21 yang masih penuh dinamika dan ketidakkonsistenan. Isu komitmen pembayaran dari pihak Indonesia menunjukkan bahwa kita belum sepenuhnya siap untuk mengambil peran aktif dalam pengembangan teknologi militer jangka panjang.
Ketika dunia menyaksikan transformasi industri militer Korea, Indonesia justru masih terjebak pada pola lama: belanja besar-besaran pada produk jadi dari luar negeri, dengan iming-iming transfer teknologi yang kerap tidak berjalan maksimal. PT PAL, PT Pindad, dan PT Dirgantara Indonesia memang punya sejarah dan potensi, tetapi tanpa dukungan politik yang kuat, arah strategis yang jelas,dan perlindungan dari kompetisi tak sehat, perusahaan-perusahaan ini tak ubahnya perahu yang diombang-ambingkan ombak.
Kemandirian bukan semata-mata soal produksi fisik. Ia adalah tentang kemampuan untuk menentukan nasib sendiri. Pada hal ini, kemampuan membuat sistem pertahanan secara mandiri sangat berkaitan erat dengan pembangunan ekosistem teknologi nasional. Korea Selatan mengalokasikan lebih dari 4% dari Produk Domestik Bruto (PDB)-nya untuk riset dan pengembangan. Bandingkan dengan Indonesia yang hanya berada di angka 0,2%. Kesenjangan ini mencerminkan bagaimana kita memandang ilmu pengetahuan: sebagai pelengkap, bukan tulang punggung.
Trump mungkin telah meninggalkan Gedung Putih dan kembali lagi, tetapi efeknya masih terasa segar. Dunia ala Trump adalah dunia yang lebih penuh dengan curiga, lebih tertutup, dan lebih siap menekan negara-negara berkembang untuk tunduk pada agenda kekuatan besar. Pada dunia seperti ini, kemandirian bukanlah pilihan ideologis, melainkan kebutuhan strategis. Pertahanan, khususnya alutsista, menjadi indikator utama apakah sebuah negara siap menjaga kedaulatannya atau tidak. Tanpa kemampuan membuat, memelihara, dan mengembangkan senjatanya sendiri, sebuah negara hanya akan menjadi pion dalam catur besar geopolitik.
Indonesia punya kesempatan emas untuk mengambil jalan yang ditempuh Korea Selatan dalam hal kemandirian alutsista. Program Defense Reform 2020, Korea Selatan menetapkan roadmap yang jelas untuk mengurangi ketergantungan terhadap teknologi asing, serta memindahkan titik berat pertahanan berbasis manusia ke teknologi. Indonesia dapat melakukan hal yang sama namun bukan dengan menyalin mentah-mentah, tetapi dengan memahami bahwa jalan menuju kemandirian menuntut sinergi antara negara, industri, universitas, dan masyarakat. Hasil sinergi antar elemen tersebut diyakini dapat membentuk suatu ekosistem kemandirian yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan Indonesia.
Penguatan regulasi agar tidak tumpang tindih serta regulasi yang mendorong hasil riset dapat dimanfaatkan secara nyata oleh BUMN yang bergerak di bidang pertahanan untuk berkembang tanpa beban birokrasi yang tidak profesional, serta menjadikan riset pertahanan sebagai prioritas nasional. Pengembangan alutsista seperti drone, UAV (Unmanned Aerial Vehicle), mobil lapis baja hingga senjata yang telah dikembangkan amat disayangkan apabila kita tidak dapat berkomitmen pada kemandirian industri pertahanan. Dalam jangka panjang, ini bukan hanya soal kekuatan militer, tapi juga mengembangkan industri yang berdampak pada kedaulatan ekonomi, kestabilan politik, dan daya tawar diplomatik.
Di era disrupsi global, Indonesia tidak bisa hanya menjadi penonton. Di tengah persaingan teknologi, perang tarif, dan ancaman siber, kita perlu mengambil sikap tegas: menjadi bangsa yang belajar, bukan hanya bangsa yang membeli. Kemudian, seperti Korea Selatan, kita bisa memulainya dengan satu langkah sederhana namun krusial dan berani percaya pada kemampuan sendiri.
*ditulis bersama Aryo Bimo Prasetyo (G8 Strategics/CEO Research)
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.