Soekarno dan Naturalisasi Tim Nasional
M Nurul Fajri July 01, 2025 07:20 PM
Apabila berandai-andai, barangkali Presiden Soekarno tidak akan mengizinkan program naturalisasi diaspora untuk mengisi skuat tim nasional sepakbola Indonesia. Apalagi kalau agenda naturalisasi ini dijalankan di akhir tahun 1950-an. Penolakan Soekarno mungkin akan lebih keras daripada lantangnya nyanyian dukungan ultras di stadion.
Periode 1950-an merupakan periode sulit dalam mempertahankan kemerdekaan. Setelah melewati agresi militer pada awal-awal kemerdekaan, 1950-an Indonesia tengah berupaya mencari stabilitas politik sembari menegaskan diri di atas “panggung” internasional sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
Pembebasan Irian Barat merupakan salah satu upaya tersebut. Meskipun ada friksi dari dalam, khususnya dari Moh. Hatta yang mempertanyakan urgensi “merebut” Irian Barat dari Belanda. Soekarno tetap yakin. Meskipun keyakinan tersebut menyulut kemarahan besar dirinya atas apapun yang menurutnya identik dengan Belanda.
Pada tahun 1957, diplomasi Soekarno dalam upaya mengambil alih Irian Barat dari Belanda di PBB gagal. Pada 29 November 1957 PBB tak mengeluarkan resolusi terkait dengan Irian Barat. PBB gagal mengeluarkan resolusi yang menyerukan Belanda untuk merundingkan penyelesaian masalah Irian; Sukarno telah memperingatkan bahwa Indonesia akan mengambil langkah-langkah yang akan mengejutkan dunia jika resolusi tersebut gagal Ricklefs (2001:316).
Pada masa ini menurut Ricklefs (2001:312) adalah masa kepemimpinan yang amat tergantung kepada personalitas Soekarno. Wajar apabila kemarahan Soekarno menjadi kemarahan warga negara Indonesia. Apalagi sejak 1949 Belanda resmi mengakui kemerdekaan Indonesia, Belanda tak kunjung pergi dari Irian Barat. Hal ini berujung pada buruh-buruh sayap kiri melumpuhkan perusahaan-perusahaan Belanda; pabrik-pabrik dan perkebunan-perkebunan milik Belanda diduduki; kapal-kapal milik KPM ditahan; izin mendarat pesawat KLM dicabut; koran-koran berbahasa Belanda hilang dari peredaran (Janssen, 2016:156).
Pada tanggal 5 Desember 1957, Kementerian Kehakiman memerintahkan pengusiran sekitar 46.000 warga negara Belanda di Indonesia (Ricklefs, 2001:317). Sejak kegagalan di PBB, radikalisme anti Belanda menguat. Peristiwa ini disebut sebagai peristiwa Sinterklas Hitam (Zwarte Sinterklaas). Hari yang pada 5 Desember sebelum tahun 1957 diperingati sebagai hari sinterklas oleh anak-anak sebagai ajang bertukar kado. Kemudian berganti sebagai hari memperingati keterusiran.
Masa itu tak ada sepakbola tim nasional, apalagi naturalisasi. Sebab semua sedang berupaya menyulut dan menggelorakan apa yang disebut sebagai nasionalisme atas nama identitas. Lebih dari 65 tahun kemudian, semua sudah bicara hak yang sama sebagai warga negara Indonesia.
Dua orang blijvers juga turut membela Indonesia. Mereka adalah Maarten Paes dan Ole Romeny yang saat ini mengisi skuat tim nasional sepak bola Indonesia untuk lolos piala dunia 2026. Blijvers merupakan sebutan untuk orang keturunan Belanda yang lahir dan hidup di wilayah koloni Hindia-Belanda (sebelum Indonesia). Keduanya sama sekali tidak memiliki darah Indonesia. Akan tetapi nenek Marteen Paes maupun Ole Romeny sama-sama lahir di Indonesia. Gelombang naturalisasi ini dimungkinkan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan dan Statuta FIFA.
Beberapa waktu lalu Simon Tahamata yang cukup fenomenal di Belanda khususnya Ajax Amsterdam “kembali” ke Indonesia. Ia menerima tugas sebagai head of talent scout agar sepak bola Indonesia tidak bergantung pada naturalisasi, tapi pembinaan sepak bola lokal. Proyek ini diseriusi oleh “Om Simon”. Ia menjelaskan datang bukan untuk politik dengan Bahasa Indonesia yang patah-patah namun masih kental intonasi Indonesia timur.
Boleh disebut, mereka yang dulu terpaksa pergi hari ini diminta kembali karena dibutuhkan. Sebab narasi nasionalisme akan selalu menemukan "jalan politiknya". Sementara kemanusiaan akan selalu menemukan jalan alamiahnya sebagai hak asasi.
Sepak bola dan politik adalah soal rivalitas. Yang mengubah sejarah keduanya hanya soal waktu. Naturalisasi tidak bisa dibayangkan akan terjadi kala zaman Soekarno. Sekalipun euforianya sama tingginya sama hari ini. Namun naturalisasi menjadi marak ketika Joko Widodo. Yang notabene punya kesamaan akar ideologi politik yang sama.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.